Ironi Negeri Demokrasi: Ketika Oposisi Terancam Bui

jogjanetwork 19 Juli 2025


Ketika Oposisi Diancam Bui

Hukum Tak Lagi Berdiri di Atas Keadilan, Melainkan Dibelokkan oleh Kepentingan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi adalah elemen penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Mereka yang berani bersuara berbeda bukanlah musuh negara, melainkan bagian dari mekanisme kontrol agar roda pemerintahan tetap lurus dan berpihak pada rakyat. Namun sayangnya, hari ini kita menyaksikan sebuah ironi: mereka yang bersuara berbeda justru menjadi target kriminalisasi.

Kasus demi kasus menimpa tokoh-tokoh oposisi, dan setiap kali publik bertanya: apakah hukum sedang digunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis?

Sulit memang untuk menunjukkan bukti langsung adanya intervensi dari mereka yang sedang berkuasa. Tapi bukan berarti campur tangan itu tidak ada. Kekuasaan yang sesungguhnya tak selalu tampil di podium, tak selalu duduk di kursi kementerian, atau menandatangani surat keputusan. Kadang, kekuasaan itu tak terlihat—namun sangat terasa. Mereka adalah aktor-aktor yang berada di balik layar, tak memiliki jabatan formal, tetapi mampu mengendalikan arah keputusan, memengaruhi institusi, bahkan “mengoperasikan” alat negara sesuai kepentingan mereka.

Inilah wajah kekuasaan dalam bentuknya yang paling berbahaya: tidak terlihat, tetapi sangat menentukan.

Mereka mengendalikan hukum, bukan lewat produk hukum yang adil, tetapi dengan tafsir dan tekanan. Mereka bisa mengatur siapa yang diperiksa, siapa yang dibebaskan, siapa yang diproses, dan siapa yang dibiarkan bebas meski terang benderang bersalah.

Ketika oposisi mulai dibidik bukan karena kesalahan nyata, melainkan karena keberanian bersuara—maka yang sejatinya sedang digugat hak setiap warga negara untuk berpikir dan bersuara tanpa rasa takut. Ketika pasal-pasal digunakan untuk membungkam, bukan melindungi, maka hukum bukan lagi penuntun keadilan, tetapi menjadi alat kekuasaan.

READ  Suparman Marzuki: Abolisi Momentum Membenahi Peradilan

Baca juga Mata Hati untuk Keadilan: Harapan Ketua KY 2013-2015 atas Banding Tom Lembong

Dan rakyat tahu. Nalar sehat masyarakat tahu. Kita mungkin tak punya bukti sahih di atas meja, tapi kita punya kepekaan. Kita bisa merasakan aroma ketidakberesan itu, aroma yang menyengat, namun diselimuti oleh formalitas prosedural.

Hari-hari ini, hukum seolah hanya tajam kepada mereka yang tidak punya kuasa, tidak punya akses, dan tidak punya pelindung politik. Sementara mereka yang terhubung pada lingkar kekuasaan—baik secara formal maupun informal—dapat melenggang bebas, bahkan ketika jelas-jelas melakukan pelanggaran.

Ini bukan tentang nama. Ini tentang sistem yang pincang.
Tentang institusi yang tak lagi berdiri di atas moral hukum, tetapi di atas tekanan kekuasaan.
Tentang demokrasi yang hanya menjadi hiasan prosedural, sementara substansinya menguap.

Oposisi yang dikriminalisasi hari ini adalah sinyal buruk bagi kita semua. Bukan hanya bagi dunia politik, tapi bagi masa depan kebebasan berpendapat. Ketika satu suara dibungkam, maka sesungguhnya kita sedang membungkam kemungkinan lahirnya perubahan. Dan ketika hukum dipakai untuk membungkam, maka kita sedang menyaksikan kematian akal sehat yang dilegalkan.

Sejarah telah membuktikan: kekuasaan yang menindas selalu jatuh oleh suaranya sendiri. Kebenaran yang ditekan justru akan bangkit lebih kuat. Mereka yang dipenjara karena loyalitas kepada rakyat, seringkali justru dikenang sebagai pahlawan keadilan.


Ketika hukum tak lagi bisa dipercaya, maka suara nurani rakyatlah satu-satunya benteng terakhir keadilan.


Satu tanggapan untuk “Ironi Negeri Demokrasi: Ketika Oposisi Terancam Bui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *