jogjanetwork.id 21 Juli 2025
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) resmi menggelar kongres nasional di Solo, 19–20 Juli 2025, dan sukses menyedot perhatian publik. Bukan karena gebrakan politik yang mengejutkan, tapi karena fenomena menarik: partai yang katanya milik anak muda ini justru makin erat dipeluk oleh keluarga orang tua paling berkuasa—keluarga mantan Presiden Joko Widodo.
Baca juga: IKA UII Jawab ‘Tantangan’ Mendagri Ciptakan Pilkada Berdaulat
Kongres digelar megah di dua lokasi yang penuh simbol: Graha Saba Buana (gedung milik keluarga Jokowi), dan Edutorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dengan slogan anyar “Partai Super Terbuka,” PSI tampak membuka pintu selebar-lebarnya. Tapi, entah kenapa yang masuk kok ya itu-itu juga.
Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, kembali terpilih sebagai Ketua Umum PSI dengan perolehan suara 65,28% lewat sistem e-voting yang transparan—transparan sekali sampai semua orang bisa menebak hasilnya sejak sebelum kongres dimulai.
Turut hadir dalam perhelatan ini Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan tentu saja sang mantan presiden sekaligus ayah kandung dua tokoh di atas, Joko Widodo. Panggung terasa meriah, tapi juga familiar. Seperti nonton season keempat dari sinetron politik keluarga yang belum tamat-tamat.
Gen Z: Melek Teknologi, Tapi Kok Buram?
Fenomena ini menarik, mengingat PSI sejak awal mengklaim sebagai partainya anak muda, pengusung nilai-nilai progresif, kritis terhadap status quo, dan tentu saja anti-dinasti. Tapi rupanya, yang penting bukan siapa ayahmu, tapi seberapa viral ayahmu.
Gen Z, yang katanya paling peka terhadap isu ketimpangan dan abuse of power, tiba-tiba jadi maklum dan menerima penuh keberadaan dua bersaudara Kaesang-Gibran di dua posisi strategis: satu pegang partai, satunya pegang negara. Apalagi yang dibutuhkan?
Mungkin ini bentuk self healing kolektif, ya? Anak muda udah capek lihat wajah-wajah lama, jadi akhirnya mereka memilih wajah-wajah baru yang… kebetulan anak dari wajah lama. Dan sikap itu jelas bukan tanda kemunduran demokrasi, tapi “evolusi pragmatis anak muda yang tahu siapa yang harus difollow biar cepat naik algoritma.”
Dari Mawar ke Gajah
PSI memperkenalkan logo baru: gajah. Katanya sih melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan daya ingat. Dan ternyata itu benar, gajah justru mengingatkan bahwa rakyat tidak lupa pernyataan simpatik “anak saya tidak tertarik pada politik.”
Slogan baru mereka, “Partai Super Terbuka,” juga menuai berbagai interpretasi. Di platform X (dulu Twitter), netizen ramai-ramai mengartikan ulang slogan itu sebagai: “Super Terbuka buat keluarga Jokowi.” “Partai Solo Istimewa.” “Partai Super IStimewa.”
Alih-alih dianggap partai inklusif, PSI kini dianggap seperti kafe tematik: hanya terbuka untuk kalangan internal, tapi tetap menjual kopi dengan label “untuk semua.”
PSI Menuju 2029 dan 2034: Keluarga Besar dalam Visi Jangka Panjang
Kongres ini menunjukkan PSI sedang memanaskan mesin menuju Pemilu 2029 dan bahkan 2034. Kaesang terus memperkuat struktur partai, sementara Gibran disebut-sebut siap maju capres. Kalau semua lancar, skenario 2034-nya: Gibran presiden, Kaesang wakil presiden. Luar biasa. Bukan partai dinasti, tapi sudah seperti start-up keluarga dengan roadmap lima tahunan.
Soal potensi duet dua bersaudara ini, tentu tak bisa disebut dinasti, melainkan ekosistem. Kayak iOS… yang cuma bisa dipakai sama sistem (keluarga) nya sendiri.
Fenomena PSI dan Gen Z menjadi potret lucu tapi nyata dari politik Indonesia. Sebenarnya ada partai lain yang juga mengusung keluarga, tapi tidak semoncer ini. Di satu sisi, kita punya generasi muda yang canggih, kritis, dan cerewet soal perubahan. Tapi di sisi lain, mereka juga yang paling cepat luluh saat perubahan itu dibungkus dengan gaya casual, jaket denim, dan caption motivasional di TikTok.
Yang lebih lucu lagi, banyak dari mereka yang sebelumnya rajin orasi soal nepotisme, kini malah ngefans dengan dinasti asal bisa bikin konten “Daily Routine Politician” di Reels.
Maka, PSI hari ini bukan sekadar partai politik, tetapi refleksi bahwa di tengah skeptisisme dan idealisme, anak muda Indonesia juga manusia: bisa kagum, bisa nyaman, dan ternyata… bisa lupa.
Simak juga: https://www.youtube.com/embed/p9b1X5TsMO8?si=eQskc6_5cLKYR9bL
3 tanggapan untuk “Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman”