Di balik jeruji besi, harapan tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu ruang untuk tumbuh. Hari ini, ruang itu hadir lewat peluncuran Program Bina Karya Warga Lapas, sebuah inisiatif penuh nurani yang menyatukan hati, ilmu, dan harapan. Program ini bukan sekadar pelatihan, tapi ikhtiar nyata menyalakan kembali lentera kehidupan—dengan racikan jamu sebagai simbol pemulihan, penyembuhan, dan pemberdayaan.
Program ini lahir dari kolaborasi bermakna antara Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Yayasan Bangsa Warga Indonesia, yang percaya bahwa setiap manusia, tak peduli masa lalunya, memiliki hak untuk memperbaiki, bangkit, dan berkarya.
Sebagai langkah awal, Pelatihan Penyehatan Tradisional dan Kewirausahaan Jamu digelar di Rutan Perempuan Kelas I Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ruang pelatihan berubah menjadi ruang pembebasan batin—bukan dengan membebaskan tubuh, tapi dengan membebaskan jiwa dari keterpurukan.
Pembukaan acara dipimpin oleh Dr. dr. Adhayani Lubis, Sp.KJ., sosok yang tak hanya membawa keahlian medis, tapi juga ketulusan hati. Ia disambut hangat oleh jajaran Kanwil Lapas, menandai dimulainya perjalanan baru bagi para peserta.
Ada 53 peserta yang mengikuti pelatihan ini. Terdiri dari 23 petugas pemasyarakatan dan 30 warga binaan, mereka duduk bersama, belajar bersama, dan bermimpi bersama. Antusiasme terpancar dari wajah-wajah yang mulai percaya bahwa masa depan tak ditentukan oleh masa lalu, melainkan oleh keberanian untuk berubah hari ini.

Antara Keterpurukan dan Kemandirian
Dalam sesi pelatihan, dr. Rianti Maharani MSi, AIFO-K hadir sebagai pemateri. Dokter Rianti yang alumni UII dan juga Ketua Bidang Kesehatan, Sosial, dan Pengabdian Masyarakat DPP IKA UII, tidak hanya membagikan pengetahuan tentang khasiat tanaman herbal dan peluang usaha jamu, tetapi juga menyalakan semangat untuk percaya pada diri sendiri. “Saya sangat terkesan dengan semangat mereka. Meski hidup dalam keterbatasan, mata mereka bercahaya. Mereka mencatat dengan serius, bertanya dengan rasa ingin tahu, dan saling menyemangati. Suasananya sungguh hangat dan penuh harapan,” ujarnya.
Baca juga: Dokter Rianti Maharani Ingin Jadikan Jamu Tradisional Mendunia
Pelatihan ini bukan sekadar teori. Para peserta dibagi dalam lima kelompok, masing-masing diberi tantangan kreatif untuk: menentukan jenis jamu—baik yang tradisional maupun kekinian, memilih bahan herbal yang tepat dan berkhasiat, meracik komposisi dengan takaran pas, menyajikannya dengan estetika, memberi nama unik pada jamu mereka, dan akhirnya mempresentasikan hasil karya mereka.

Kegiatan ini tidak hanya mengajarkan keterampilan praktis. Ia juga menyemai rasa percaya diri yang lama hilang, menumbuhkan semangat gotong royong, dan memberi ruang untuk ekspresi diri yang sehat dan membangun. Bahkan, Kepala Rutan Pondok Bambu ikut turun tangan menjadi juri rasa—mencicipi hasil kreasi warga binaan, dan menambahkan nuansa keakraban dalam suasana kompetitif yang bersahabat.
Tak ada hadiah mewah, tapi ada penghargaan yang jauh lebih mendalam dari perasaan dihargai. Dan bagi banyak warga binaan, ini adalah perasaan yang telah lama mereka rindukan.
Lebih dari sekadar pelatihan, program ini merupakan jembatan antara keterpurukan dan kemandirian, antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang terang. Kegiatan yang digagas oleh IKA UII ini mengajarkan bahwa menjadi manusia bukan tentang tak pernah salah, tapi tentang keberanian untuk memperbaiki kesalahan.
Slogan “Meracik Harapan, Meramu Masa Depan” menjadi sebuah ikrar. Bahwa di balik jeruji, ketika tubuh dan mimpi dibatasi, ada yang peduli memberi pupuk harapan dan jaminan masa depan.
Program ini tak berhenti di Pondok Bambu, melainkan akan menjelajah ke berbagai Lapas Perempuan di seluruh Indonesia, membawa semangat yang sama: membangkitkan, membina, dan memberdayakan.
Untuk para warga binaan, pelatihan ini bisa jadi titik balik. Mungkin mereka masuk dengan luka, tetapi takdir baru sedang diracik bersama jamu-jamu yang sederhana namun sarat makna. Di tiap tumbuhan, ada obat; di tiap keterampilan, ada peluang; dan di tiap manusia, selalu ada potensi.
Semoga kelak, saat mereka kembali ke tengah masyarakat, mereka tak hanya pulang dengan bekal keterampilan, tetapi juga dengan tekad kuat untuk menebus masa lalu dengan karya nyata.
Karena setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua. Dan hari itu, kesempatan itu sedang diramu—seteguk demi seteguk—di gelas-gelas jamu yang menghangatkan, menyembuhkan, dan menguatkan.