Mata Hati untuk Keadilan: Harapan Ketua KY 2013-2015 atas Banding Tom Lembong

Jogja Network

Di tengah derasnya arus opini publik dan kekecewaan masyarakat atas wajah hukum di negeri ini, suara bening dan penuh empati datang dari akademisi dan mantan Ketua Komisi Yudisial, Dr. Suparman Marzuki. Ia angkat bicara mengenai pengajuan banding oleh Thomas Trikasih Lembong—mantan Menteri Perdagangan yang divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus impor gula.

Baca juga: Bukan Koruptor, Tapi Dipenjara: Hati Siapa yang Tak Tersayat?

Menurut Dr. Suparman, pengajuan banding yang diajukan Tom Lembong adalah langkah hukum yang sah dan bermartabat. “Itu hak konstitusional setiap warga negara. Dan saya setuju banding diajukan, karena alasan hukumnya cukup mendasar dan beralasan,” ujar beliau. “Hak itu bukan cuma prosedur, tapi adalah harapan untuk menegakkan keadilan substantif.”

Sebagai seorang dosen hukum di Universitas Islam Indonesia, Dr. Suparman menekankan tugas hakim bukan hanya menafsir teks hukum, melainkan membaca peristiwa secara utuh. “Hukum memang teks, tapi teks harus ditakar dengan konteks. Hakim tidak boleh pakai kacamata kuda,” tegasnya, menyoroti pendekatan sempit hakim tingkat pertama dalam memutus perkara.

Baca juga: Jelang Putusan Tom Lembong, Mantan Ketua Komisi Yudisial Harap Hakim Menegakkan Integritasnya

Baginya, pengadilan banding memegang tanggung jawab besar untuk mengembalikan wibawa hukum. Ia berharap para hakim banding sungguh-sungguh menjalankan tugas mulia: memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan penuh nurani dan kebijaksanaan.

“Hakim harus benar-benar menyatakan kebenaran. Kebenaran yang lahir dari bukti, tapi juga dari pemahaman yang utuh terhadap peristiwa. Kalau memang Tom Lembong tidak layak dipidana, maka katakan itu. Jangan paksakan putusan hanya karena tekanan atau kehendak penguasa tak bernama,” ucapnya lirih, namun tajam.

READ  Dokter Rianti Maharani Ingin Jadikan Jamu Tradisional Mendunia

Lebih lanjut, ia menyoroti rasa sakit hati rakyat—suatu suara sunyi yang jarang didengar. “Ada orang yang lebih layak dipidana, tapi malah melenggang jadi pejabat. Ini membuat rakyat sakit hati. Sakit hati itu tidak direkam media, tapi ia menyala dalam diam. Ia bisa jadi bahan bakar yang membakar. Dan jika terus dibiarkan, republik ini bisa tercabik-cabik,” ujarnya.

Dr. Suparman mengajak para hakim tinggi untuk memberikan harapan kepada rakyat, bahwa hukum masih bisa menjadi sandaran. “Berilah sedikit alasan bagi rakyat untuk bangga menjadi warga negara Indonesia. Jangan biarkan kami terus dihinakan oleh negara lain karena hukum kita kehilangan wibawa.”

Ia mengakhiri pernyataannya dengan harapan yang dalam: “Kalau nanti perkara ini naik ke kasasi, semoga Mahkamah Agung juga bisa menjadi pengadilan yang menentramkan publik. Putusan yang adil, yang benar, bukan hanya menyelamatkan seorang Tom Lembong, tapi menyelamatkan harapan kami pada republik ini.”

Pernyataan Dr. Suparman bukan sekadar analisis hukum, melainkan suara nurani—cermin dari kegelisahan rakyat yang merindukan keadilan, bukan sekadar prosedur. Suara seorang guru bangsa yang ingin memastikan bahwa keadilan masih punya tempat di negeri yang penuh luka ini.

Lihat juga: https://www.youtube.com/embed/m3LCUsGn_3Y?si=NbjIMiRP2qIqNuAk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *