Vonis Lembong: Mens Rea, Tafsir Hukum, dan Ekonomi Pancasila

Jogjanetwork.id 23 Juli 2025 Mahfud MD dan para ahli hukum menilai vonis Tom Lembong tak memenuhi unsur niat jahat (mens rea). Apakah kebijakan publik bisa dipidana?

Jakarta, 23 Juli 2025 – Perdebatan mengenai vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, terus menjadi sorotan publik dan dunia akademik. Kasus yang menyeret nama besar Tom Lembong ke meja hijau karena dugaan tindak pidana korupsi dalam importasi gula, kini justru membuka diskusi serius tentang cara memahami hukum, niat jahat (mens rea), dan batas antara kebijakan publik serta tindak pidana.

Baca juga: Jelang Putusan Tom Lembong, Mantan Ketua Komisi Yudisial Harap Hakim Menegakkan Integritasnya

Dalam sebuah pernyataan yang menyejukkan sekaligus mencerahkan, Prof. Mahfud MD — seorang tokoh hukum yang dihormati dan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan — menegaskan penegakan hukum tidak boleh lepas dari asas-asas moral dan keadilan. Menurut Mahfud, hukum pidana korupsi tidak boleh diterapkan hanya karena ada kerugian negara secara administratif semata, melainkan harus dibuktikan pula adanya niat jahat dari pelaku.

Tom Lembong mencatat serius selama sidang kasus importasi gula di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, tampak serius mencatat selama mengikuti sidang kasus dugaan korupsi importasi gula di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat.

Kalau kerugian negara semata tanpa mens rea, itu belum tentu korupsi. Bisa jadi hanya kesalahan administratif. Hukum tidak boleh dipakai untuk menghukum orang hanya karena salah urus kebijakan,” tegas Mahfud MD.

Mens Rea Penting Dalam Pidana

Pandangan Mahfud ini kemudian mendapat penguatan dari Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana. Dalam komentarnya, Hikmahanto menekankan bahwa unsur niat jahat adalah syarat mutlak untuk menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Baca juga: Prof. Mudzakir: Menakar Keadilan dalam Penegakan Hukum Korupsi

“Unsur adanya niat jahat sangat penting dan harus ada dari pelaku yang dijerat dengan pasal 2 UU Tipikor,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa pasal tersebut bersifat delik materiil, yang berarti mensyaratkan adanya akibat berupa kerugian keuangan negara, namun tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasar hukum pidana: tidak ada pidana tanpa kesalahan.

READ  Nadiem, dari Pionir Digital ke Jerat Korupsi Chromebook

Hikmahanto bahkan membandingkannya dengan Pasal 359 KUHP yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan kematian. Menurutnya, konteks delik dalam pasal 359 berbeda karena tidak mempersyaratkan adanya niat jahat. Sementara dalam kasus korupsi, apalagi jika menyangkut kebijakan publik seperti impor komoditas strategis, maka pembuktian mens rea harus menjadi titik krusial dalam persidangan.

Dalam kasus Tom Lembong, salah satu tuduhan yang dilayangkan adalah bahwa kebijakannya saat menjadi Menteri Perdagangan menyebabkan kerugian negara karena melakukan importasi gula di luar kuota yang telah ditetapkan. Namun, di sinilah letak problematika hukum yang menjadi sorotan para ahli. Apakah sebuah keputusan kebijakan, yang mungkin saja salah secara administratif, dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi?

Baca juga: Jelang Putusan Tom Lembong, Mantan Ketua Komisi Yudisial Harap Hakim Menegakkan Integritasnya

Hakim Tidak Terkontaminasi

Menjawab hal ini, Ahli Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menyatakan bahwa Tom seharusnya tidak dijatuhi pidana, karena tidak memiliki niat jahat sebagaimana dimaksud dalam hukum pidana.

“Karena tidak memiliki mens rea sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat 1 KUHAP,” kata Chairul saat dihubungi pada Ahad, 20 Juli 2025. Chairul menyarankan agar kasus Tom dilihat sebagai bagian dari perdebatan kebijakan yang lebih tepat diselesaikan dalam ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana.

“Kalau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat 2 KUHAP, artinya perbuatan Tom Lembong terbukti tetapi bukan tindak pidana,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pasal 191 KUHAP memberikan dua kemungkinan dalam amar putusan bebas: pertama, jika terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, dan kedua, jika perbuatannya terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana.

Namun dalam fakta persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tetap menjatuhkan hukuman kepada Tom. Dalam pembelaannya, pihak pengadilan melalui juru bicaranya, Andi Saputra, menegaskan bahwa putusan diambil secara independen, berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Tidak ada intervensi, tekanan, maupun upaya menggali kebenaran di luar proses hukum yang formal.

READ  Dari Ojol ke Alphard: Misteri 4 HP di Plafon Rumah Dinas

“Majelis Hakim tidak terkontaminasi. Putusan diambil murni dari fakta hukum yang diajukan dan diperiksa dalam sidang,” kata Andi Saputra.

Pertimbangan Ekonomi Kapitalis

Yang menarik adalah argumen dalam pertimbangan majelis hakim yang menyebut bahwa sebagai Menteri Perdagangan, Tom Lembong seharusnya menjaga stabilitas harga gula demi kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan itu, majelis menyatakan bahwa Tom lebih mengedepankan pendekatan ekonomi kapitalis ketimbang semangat demokrasi ekonomi yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila.

Pernyataan itu mengundang reaksi dari banyak kalangan. Ada yang menilai bahwa hakim telah memasuki wilayah tafsir ideologis yang tidak semestinya menjadi bagian dari yurisprudensi. Sebab bagaimana pun, perdebatan tentang model ekonomi—antara kapitalisme, sosialisme, atau demokrasi ekonomi ala Pancasila—bukanlah objek hukum pidana, melainkan bagian dari diskursus kebijakan publik dan pertanggungjawaban politik.

Dalam konteks ini, perdebatan seolah bergeser: bukan lagi semata soal hukum, tetapi menyentuh ranah ideologi negara, sistem ekonomi, dan batas tanggung jawab pejabat publik. Apakah keputusan yang diambil oleh seorang menteri dalam rangka menjaga pasokan dan harga bahan pokok bisa dianggap sebagai bentuk kejahatan, ataukah justru itu adalah risiko dalam penyelenggaraan negara yang seharusnya mendapat perlindungan hukum?

Apalagi, seperti ditegaskan oleh para ahli, jika tidak ada niat jahat, maka memidanakan seseorang hanya karena ada kerugian keuangan negara bisa berbahaya. Bisa menjadi preseden buruk yang membuat para pejabat publik akhirnya lebih memilih untuk tidak mengambil keputusan penting—karena takut dikriminalisasi—dan ini bisa membuat pemerintahan berjalan stagnan.

Pandangan para ahli ini tentu penting untuk menjadi bahan evaluasi bersama, terutama dalam menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebijakan publik. Sebab hukum yang adil bukan hanya menghukum, tetapi juga memberi rasa aman bagi para pengambil keputusan yang bertindak jujur demi kepentingan rakyat.

READ  Mantan Menteri China Dihukum Mati atas Korupsi 600 Miliar

Dalam suasana kebangsaan yang sedang mencari arah keadilan sejati, kisah Tom Lembong bisa menjadi cermin: bahwa dalam menegakkan hukum, kita tidak hanya butuh pasal dan bukti, tapi juga kearifan dan akhlak. Karena seperti yang sering diajarkan oleh para ulama dan guru bangsa: hukum tanpa rasa keadilan adalah kekuasaan yang membatu, dan kekuasaan tanpa hikmah akan berakhir pada kezhaliman.

Tom Lembong ajukan banding: https://www.youtube.com/embed/NYxMly-x5ZM?si=BIr0FFQ-tcuXSu25

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *