Di bawah langit Jawa yang biru, di hamparan hijau ladang tebu, petani tebu mengayunkan cangkul dengan wajah penuh keringat dan keputusasaan. Mereka bukan sekadar menanam tebu; mereka menanam harapan, yang sayangnya, selalu dipanen prematur oleh kebijakan pemerintah yang datang bagai badai di musim kemarau.
Betapa manisnya janji-janji pembangunan, tapi pahitnya kenyataan yang harus ditelan petani! Dan yang lebih menyedihkan, para pembela hak yang dulu bersuara lantang, kini seolah kehilangan megafon mereka. Lembaga bantuan hukum, yang dahulu jadi ksatria berbaju toga, kini lebih sibuk dengan seminar zoom dan kopi kekinian ketimbang turun ke sawah berlumpur.
Baca juga: Dokter Rianti Maharani Ingin Jadikan Jamu Tradisional Mendunia
Skandal Mafia Gula: Abdul Muis dan Kebenaran yang Menggigit
Sejarah, seperti tebu yang diproses jadi gula, punya cerita yang manis di mulut tapi pahit di hati. Pada tahun 1921, seorang aktivis, penulis, dan jurnalis bernama Abdul Muis menyalakan obor kebenaran melalui tulisan-tulisannya yang tajam bak parang. Lewat media, ia menguak skandal mafia gula yang membuat petani lokal hanya bisa menggigit jari—atau mungkin tangkai tebu yang tak laku dijual. Abdul Muis membeberkan bagaimana segelintir elit, dengan kostum rapi dan senyum licik, mempermainkan kuota impor gula, menumpuk stok di gudang-gudang rahasia, dan memanipulasi harga demi keuntungan bisnis mereka sendiri. Sementara petani lokal, yang keringatnya membasahi ladang tebu dari pagi hingga petang, hanya mendapat remah-remah dari meja para bangsawan gula ini. Gula impor membanjiri pasar, harga tebu lokal anjlok, dan petani? Mereka cuma jadi penutup cerita tragis dalam buku besar kolonial. Abdul Muis, dengan pena sebagai senjatanya, berteriak lantang, tapi suaranya tenggelam di antara tawa elit yang sibuk menghitung kepingan emas.
Kebijakan: Musuh Tak Terlihat Petani Tebu
Bayangkan, petani tebu di Pemalang, Jawa Tengah, yang sudah bertahun-tahun hidup dari hasil tebu, tiba-tiba mendapati lahan mereka diincar untuk proyek strategis nasional. “Infrastruktur untuk rakyat,” kata pejabat dengan senyum lebar di layar televisi. Tapi, rakyat yang dimaksud sepertinya bukan petani, melainkan korporasi raksasa yang entah dari mana datangnya. Di Pemalang, petani tebu di Desa Blendung dan sekitarnya pernah menghadapi ancaman penggusuran lahan untuk proyek tol yang katanya akan “mensejahterakan.” Aktivis seperti Antripilantono, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Kesehatan dan Sosial DPP IKA UII, sempat turun tangan untuk membela petani ini, mengorganisir diskusi dan mencoba menekan pemerintah agar mendengar suara petani. Namun, lahan mereka tetap diratakan, dan ganti rugi? Oh, itu cuma janji manis seperti gula sintetis—murah dan tak memuaskan. Petani dibiarkan menatap sisa-sisa tanaman tebu mereka yang kini bercampur debu proyek, tanpa kejelasan masa depan.

Baca juga: IKA UII Pelatihan Meracik Jamu di Lapas Perempuan
Bukan cuma di Pemalang. Di Pati, Jawa Tengah, petani tebu di Desa Pundenrejo bersitegang dengan PT Laju Perdana Indah, sebuah perusahaan gula yang menguasai lahan mereka. Petani yang sudah puluhan tahun menggarap lahan tiba-tiba dianggap “penyerobot” oleh dokumen-dokumen HGU yang entah bagaimana caranya selalu berpihak pada perusahaan. Mereka berunjuk rasa, mendatangi kantor ATR/BPN, bahkan mengirim surat ke Presiden. Antripilantono, dengan semangat aktivismenya, ikut mendampingi petani Pati dalam beberapa aksi, berupaya menyoroti ketimpangan ini di forum-forum sosial. Tapi hasilnya? Surat-surat itu mungkin tersesat di meja birokrat, atau jadi alas cangkir kopi pejabat.
Lembaga Bantuan Hukum: Dari Pahlawan Menjadi Penonton
Dulu, lembaga bantuan hukum seperti LBH Semarang adalah harapan terakhir petani. Mereka datang dengan buku hukum tebal, semangat membara, dan janji untuk memperjuangkan keadilan. Aktivis seperti Antripilantono pernah bekerja sama dengan LBH untuk memperjuangkan hak petani, tapi kini? LBH seolah-olah sudah pindah profesi jadi penutup laporan tahunan. Di Jawa Tengah, petani yang menghadapi konflik agraria melaporkan bahwa jalur non-litigasi yang dulu digadang-gadang LBH sebagai solusi, kini macet di tengah jalan. “Kami demo, kami negosiasi, tapi pemerintah dan lembaga hukum cuma bilang ‘sabar, sedang diproses’,” keluh seorang petani. Sabun apa yang paling genap? Sabun colek, karena sabun colek tidak pernah menjanjikan hasil instan, tapi tetap membersihkan—sayangnya, sabun itu tak ada di tangan petani.
Lembaga-lembaga ini, yang dulu berlari ke sawah untuk mendampingi petani, kini lebih sering terlihat di acara diskusi panel dengan tema “Reforma Agraria: Sebuah Mimpi atau Kenyataan?” sambil menyeruput latte. Petani Tebo di Jambi, misalnya, pernah kehilangan seorang pejuang mereka, Indra Pelani, yang tewas dalam konflik agraria dengan perusahaan kayu. Serikat Petani Tebo (STT) berharap bantuan hukum, tapi yang mereka dapatkan hanyalah simpati di media sosial dan janji-janji kosong. KPA Jambi mencatat, lebih dari 70 petani dikriminalisasi dalam tiga tahun terakhir, tapi lembaga hukum yang turun tangan bisa dihitung dengan jari.
Ironi di Lahan Tebu: Keadilan yang Tak Pernah Manis
Konflik petani tebu bukan sekadar soal lahan, tapi soal martabat. Di Mukomuko, Bengkulu, 40 petani ditahan karena dituduh mencuri tandan buah segar dari lahan yang mereka garap, lahan yang sedang disengketakan dengan perusahaan. Tuduhan “pencurian” ini ibarat garam yang ditaburkan di luka: petani yang sudah kehilangan lahan kini harus berhadapan dengan borgol. Sementara itu, kebijakan pemerintah yang katanya pro-rakyat, seperti bagi-bagi sertifikat tanah, ternyata lebih banyak gimmick. Di Bandungan, Jawa Tengah, sertifikat tanah memang dibagikan, tapi itu setelah petani berjuang 21 tahun! Antripilantono, dengan perannya di IKA UII, sempat membantu menggalang dukungan untuk petani Bandungan, tapi itu pun bukan karena kebaikan hati pemerintah, melainkan karena putusan pengadilan yang dipaksakan oleh perjuangan petani.
Pemerintah, dengan UU Cipta Kerja dan proyek-proyek megahnya, seolah lupa bahwa petani tebu adalah tulang punggung gula nasional. Kebijakan impor gula yang membanjiri pasar lokal membuat harga tebu anjlok, tapi petani tetap diminta “bersaing di pasar global.” Bersaing dengan apa? Dengan cangkul tua dan doa? Sementara itu, perusahaan besar seperti Sinar Mas Group, yang menguasai ratusan ribu hektar lahan, terus mendapat kucuran dana dari bank-bank besar, sementara petani hanya mendapat kucuran air mata.
Baca juga:Negara Dijual Paket Lengkap, Termasuk Privasi Rakyat
Tebu yang Tak Lagi Manis
Di ujung ladang tebu, seorang petani tua menatap cakrawala, berharap keadilan datang sebelum matahari terbenam. Tapi keadilan, seperti gula tebu asli, kini langka dan mahal. Pemerintah sibuk dengan narasi pembangunan, perusahaan sibuk dengan keuntungan, dan lembaga bantuan hukum sibuk dengan… entah apa. Petani tebu, dengan cangkul dan kesabaran mereka, terus menanam harapan, meski tahu bahwa panennya mungkin hanya akan jadi footnote dalam laporan tahunan birokrat. Di Pemalang, Pati, Tebo, dan berbagai sudut negeri ini, petani tebu terus berjuang—bukan untuk gula, tapi untuk harga diri. Sayangnya, di negeri ini, harga diri petani sepertinya lebih murah dari gula impor.
Simak juga perbincangan: https://studio.youtube.com/video/p9b1X5TsMO8/edit