Despan Heryansyah
Direktur Riset Pusham UII dan Dosen Fakultas Hukum UII

Sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensiil, konstitusi Indonesia menempatkan Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ini artinya kita meletakkan kewenangan yang sangat besar di tangan seorang presiden. Namun, kewenangan yang besar itu, tidak disertai pula dengan pembatasan dan pengawasan yang memadai dari lembaga negara lainnya. Padahal, sebagaimana menjadi pengatahuan umum bahwa sifat dasar dari kewenangan adalah penyalahgunaan wewenang, adagiumnya power tends to corrupt but absolut power corrupt abosolutelly. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengawasan dan pembatasan yang memadai atas kewenangan presiden? Ada dua alasan, Pertama, sampai hari ini belum ada Undang-undang tentang Lembaga Kepresidenan. Padahal, seluruh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD N RI Tahun 1945, memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang kelembagaannya, misalnya ada UU tentang Mahkamah Konstitusi, UU tentang Komisi Yudisial, UU tentang MPR, DPR, dan DPD, dan seterusnya. Semua UU ini secara spesifik mengatur kewenangan, pembatasan wewenang, dan pengawasan terhadap masing-masing lembaga negara. Itulah mengapa keberadaan UU ini penting, yang berbeda halnya dengan lembaga Kepresidenan sebagai satu-satunya lembaga negara yang belum memiliki UU tersendiri.
Baca Lainnya:Runtuhnya Kemandirian Hakim: Simbol Krisis Keadilan
Kedua, secara empirik, kita dapat melihat dari praktik ketatanegaraan yang selama ini berlangsung. Presiden, dalam kehidupan bernegara, bukan hanya kepala eksekutif tertinggi, namun secara psikologis juga memiliki marwah yang lebih tinggi dari lembaga yudikatif, lembaga legislatif, dan lembaga negara independen lainnya. Presiden misalnya, sekalipun bukan atasan Ketua Komisi Yudisial, dan keduanya adalah representasi dua cabang kekuasaan yang berbeda, namun dapat dipastikan perintah presiden akan sangat sulit ditolak oleh Ketua Komisi Yudisial. Akan banyak pihak yang menolak pernyataan ini, tapi suka tidak suka, praktiknya memanglah demikian, semata-mata alasannya karena kita meletakkan kewenangan yang sangat besar kepada presiden.
Praktik Buruk
Selain dua konteks di atas, ada banyak praktik buruk lain yang terjadi karena besarnya wewenang presiden pada satu sisi dan lemahnya pengawasan serta pembahasan pada sisi yang lain. Satu diantaranya misalnya, pada periode pemerintahan yang lalu dan hari ini, presiden sangat leluasa menentukan Program Strategis Nasional yang akan di prioritaskannya untuk diselenggarakan. Progam ini sepenuhnya berdasarkan pada kehendak presiden, presiden adalah single fighter penentu dan pelaksana dari proyek tersebut. Tidak ada ruang untuk membatasi, menolak, atau bahkan memberikan partisipasi dalam program tersebut. Kasus lain misalnya penggelontoran bantuan sosial hingga triliunan rupiah pada proses pemilihan presiden tahun 2024 lalu. Dengan mata telanjang kita dapat menilai bahwa penggelontoran bantuan sosial dalam masa kampanye akan sangat syarat dengan kepentingan politik praktis presiden. Namun tidak ada satupun mekanisme pengawasan dan pembahasan yang dapat dilakukan.
Begitupun misalnya keterlibatan aktif presiden dalam pemilu 2024 lalu, mulai dari ikut mengkampanyekan dukungan politik, hingga dugaan pemanfaatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kepolisian, hingga memunculkan istilah Parcok (partai coklat), dalam mengeruk dukungan politik. Lagi-lagi tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah atau bahkan mengadili peristiwa tersebut. Rentetan peristiwa ini menunjukkan bahwa ketiadaan pembahasan dan pengawasan melalui sebuah UU Lembaga Kepresidenan, berdampak buruh terhadap sistem hukum, bangunan demokrasi, dan hak asasi manusia.
Urgensi RUU
Ada yang berpandangan bahwa UU tentang Lembaga Kepresidenan tidaklah dibutuhkan, yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan sistem pengawasan melalui mekanisme yang sudah tersedia, yaitu DPR dan DPD. Selain itu, UUD N RI Tahun 1945 sendiri tidak memerintahkan dibentuknya sebuah UU tentang Lembaga Kepresidenan, disamping memang UUD N RI Tahun 1945 sendiri tidak sedikitpun berbicara tentang pengawasan dan pembatasan kewenangan presiden. Ini adalah pernyataan yang keliru, Pertama, harus dipahami bahwa semangat dan prinsip dasar dari konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan. Semangat ini lahir dari pengalaman panjang negara kerajaan, negara agama, maupun negara otoriter. Oleh karena itu, munculah supremasi konstitusi yang elemen utamanya adalah pembatasan kekuasaan. Dengan demikian, pembatasan dan pengawasan lembaga kepresidenan melalui UU tidaklah bertentangan dengan ide konstitusionalisme, justeru bagian inheren darinya. Kedua, mengharapkan pengawasan dan check and balances melalui legislatif (DPR dan DPD), tidak dapat diandalkan, karena kekuatan legislatif di parlemen, sejak 4 (empat) periode terakhir pemerintahan Indonesia, selalu dikooptasi oleh kekuatan politik presiden. Implikasinya, pengawasan dan check and balances menjadi lumpuh. Artinya, jalan ini tidak dapat diharapkan. Termasuk pula menggantungkan harapan para “niat” baik yang muncul dari dalam diri presiden sendiri juga terbukti selama ini salah. Ketiga, pembentukan sebuah undang-undang, seperti halnya Undang-Undang tentang Lembaga Kepresidenan, tidaklah mengharuskan adanya perintah dari UUD N RI Tahun 1945 terlebih dahulu. Sebuah UU dapat saja dibuat berdasarkan kebutuhan empirik kehidupan bernegara.
Sekalipun demikian, pertanyaan kuncinya adalah, apakah mungkin secara politik, hari ini membentuk sebuah UU yang membatasi dan mengawasi diri presien sendiri? Padahal pembentukan sebuah UU, harus atas persetujuan presiden terlebih dahulu, bukankah ini seperti menggali kuburan sendiri? Pertanyaan ini sangatlah sulit dijawab, dibutuhkan jiwa kenegarawanan untuk melakukannya.