jogjanetwork.id 28 Juli 2005
Uni Eropa mulai gerah melihat manuver para raksasa teknologi dalam dunia kecerdasan buatan. Bukan cuma karena mereka makin kaya, tapi karena kekuasaan mereka makin tak masuk akal.
Baca juga: Robot: Antara Kecerdasan Buatan dan Harapan Kemanusiaan
Komisi Eropa kini tengah menyelidiki dua kerja sama yang bikin kening berkeringat: Microsoft yang sudah kadung nempel mesra dengan OpenAI, dan Google yang gandengan erat dengan Samsung. Dua pasangan ini bukan sekadar kolaborasi biasa, tapi bisa jadi duet maut yang mengguncang peta kekuatan AI global.
Microsoft suntikkan lebih dari 10 miliar dolar ke OpenAI.
Dari luar terlihat seperti sokongan dana. Tapi dari dalam, itu seperti mengawinkan otak dengan dompet. OpenAI mungkin punya teknologi, tapi Microsoft punya infrastruktur dan kekuasaan distribusi. Hasilnya? Integrasi ChatGPT ke produk-produk Microsoft, dari Bing sampai Office 365. Lama-lama, AI terasa seperti milik satu perusahaan saja.
Google tak tinggal diam. Ia pun melirik Samsung sebagai kendaraan tempur baru di jalur AI mobile. Samsung yang merajai pasar ponsel Android punya daya serap luar biasa. Dengan menggandengnya, Google bisa menggelontorkan Gemini—AI tandingan ChatGPT—ke miliaran tangan manusia. Bukan lewat laptop, tapi lewat kantong celana orang-orang di seluruh dunia.

Ai Tidak Boleh Dimonopoli
Melihat ini, Uni Eropa merasa perlu turun tangan. Jangan sampai masa depan AI hanya jadi pertarungan dua kerajaan superbesar yang bermain di atas langit. Regulator khawatir, inovasi akan terkunci dalam ekosistem tertutup,
dan pemain kecil akan tenggelam sebelum sempat bicara.
Baca juga: Walker S2: Revolusi Robot Humanoid China
Komisi Eropa menyebut bahwa penyelidikan ini bukan tuduhan, tapi panggilan logika. Mereka ingin tahu: apakah hubungan Microsoft-OpenAI dan Google-Samsung hanya sekadar saling bantu, atau diam-diam menyusun monopoli gaya baru.
“AI harus bersifat terbuka, tidak dikendalikan oleh segelintir perusahaan,” kata Margrethe Vestager, Komisaris Eropa yang terkenal tak segan menjewer perusahaan teknologi besar. Ia juga mengingatkan: kecerdasan buatan tak boleh digunakan untuk memperbodoh pasar. Tapi justru sebaliknya—membebaskan potensi semua pelaku industri.
Kalau ternyata terbukti melanggar aturan kompetisi, hukum Uni Eropa tak main-main. Google pernah didenda lebih dari €4 miliar karena praktik monopoli mesin pencari. Amazon dan Meta pun pernah kena semprit serupa. Jadi, bukan tak mungkin Microsoft atau Google akan kembali ‘disentil’—kali ini di ranah AI.
Pertanyaannya sekarang: apakah yang dicurigai benar-benar akan terbukti? Atau ini cuma kecemasan semu di tengah revolusi teknologi?
Satu hal yang pasti: masa depan AI akan sangat bergantung pada siapa yang memegang kendalinya hari ini. Dan Uni Eropa tampaknya tidak ingin AI hanya dikuasai oleh dua-tiga nama yang itu-itu saja. Karena jika tidak diawasi, masa depan bisa dijual dalam paket langganan premium—tanpa kita pernah sempat mengajukan keberatan.