Militerisme: Ancaman di Balik Bayang Sistem Merit

Despan Heryansyah

Peneliti PSHK dan Dosen Fakultas Hukum UII

Sebagaimana mayoritas negara-negara di Asia, Indonesia hari ini tengah berada pada persimpangan jalan, melemahnya kekuatan sipil dengan sistem meritnya lalu masuk terperangkap dalam jebakan militerisme. Meritokrasi adalah salah satu temuan penting abad ke-21, ia membuka ruang bagi siapa saja untuk bersaing secara professional untuk menduduki puncak jabatan tertinggi, atau dengan kata lain, jabatan berdasarkan prestasi. Meritokrasi dalam banyak hal adalah antitesa dari militerisme, yang justeru mengisi jabatan berdasarkan hubungan emosional dan kehendak Tunggal atasan.

Apa yang tampak belakangan ini, menunjukkan bahwa Indonesia sudah mulai meninggalkan sistem merit, yang secara bersamaan tampak pula menguatnya militerisme dalam banyak aspek kenegaraan. Pertanyaan yang umumnya menghiasi ruang publik adalah apa dampak menguatnya militerisme dalam kehidupan bernegara?

Baca juga : URGENSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEPRESIDENAN

Logika Sipil dan Militer

Ada logika yang sangat tajam berbeda antara sipil dan militer, yang membuat keduanya tidak akan bisa digabungkan. Sipil, dibangun atas dasar kesetaraan, kreativitas, dan demokratis. Militer dibangun atas dasar kepangkatan, hierarkis, dan komando. Artinya, sipil memposisikan setiap orang berada pada posisi yang sama sederajad, sekalipun dengan jabatan yang berbeda, yang membedakan adalah tugas tanggung jawabnya semata, bukan kekuasaannya. Sebagai contoh misalnya, presiden dan gubernur, dalam logika sipil keduanya berada dalam posisi dan legitimasi yang sama. Sama-sama mendapatkan legitimasi dari rakyat, dengan kewenangan yang diatur dalam undang-undang.

Gubernur bukanlah bawahan presiden, keduanya sama-sama memiliki kewengan, yang membedakan adalah cakupan tanggung jawab dan kewenangannya, Dimana presiden mencakup seluruh wilayah Indonesia, sedangkan gubernur hanya satu provinsi saja. Sipil juga menuntut adanya kreativitas individu, sehingga output dan outcome pemerintahan dapat dicapai dengan baik sekalipun dengan cara yang berbeda-beda. Logika ini lagi-lagi berbeda dengan militer karena justeru militer menghendaki satu komando, satu perintah, dan satu cara.

READ  DPR Lembaga Perwakilan Tanpa Periodisasi dan Pengawasan

Baca juga : Janji Setia Sehidup Semati Menurut Neurosains

Sipil, juga dibangun atas fondasi bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan berekspresi, bahkan menyatakan protes. Oleh karena itu, adalah hal yang biasa sebuah kebijakan dibangun atas diskusi dan perbedatan panjang, adu argumentasi dan fakta, baru sebuah Keputusan diambil, bahkan dengan cara voting. Nampaknya, cara ini tidak mungkin dilakukan dalam logika militer, militerisme dibangun atas logika satu komando atasan, bantahan terhadap perintah atasan adalah “penghianatan”. Logika sipil dan militer ini dibangun dalam waktu yang sangat panjang, bahkan sudah menjadi karakter yang tidak mungkin diubah secara instan dalam waktu yang cepat. Itu lah mengapa militer tidak cocok ditempatkan dalam jabatan sipil, keduanya memang berangkat dari logika yang berbeda. Belum lagi, kalau kita kaitkan dengan gelombang demokrasi dunia, yang memang arahnya mengembalikam militer ke barak.

Belajar dari Kasus

Untuk melihat bagaimana logika sipil dan militer tidak akan pernah bisa disatukan, mari kita belajar dari rentetan kasus yang terjadi belakangan ini. Pertama, opini atau tulisan di detik.com yang hanya selang beberapa waktu, kemudian ditarik kembali oleh penulisnya karena di intimidasi oleh oknum tertentu, disertai dengan tekanan dan ancaman. Bagi yang mengerti sejarah orde baru, cara ini adalah cara-cara yang sangat umum dilakukan. Mengintimidasi orang yang dianggap mengkritik pemerintah, bedanya dulu dengan mudah orang dapat dikriminalisasi, bahkan dibunuh atau dihilangkan tanpa jejak sama sekali. Sekalipun saat ini, perlakuannya mungkin tidak sama, tapi prinsipnya sama saja, memunculkan ketakutan dan perasaan terancam. Situasi yang “haram” hukumnya ada di negara demokratis.

Kedua, intimidasi terhadap mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang melakukan judicial review terhadap UU Tentara Nasional Indonesia. Harus diakui, perubahan UU TNI sangat rentan dianulir atau dibatalkan oleh hakim MK, mengingat proses pembuatannya melanggar apa yang dijamin oleh konstitusi dan UU, yaitu partisipasi bermakna. Pembuatan UU TNI sangat elitis, cepat, dan menutup ruang partisipasi. Sedangkan secara substansial, juga ada banyak ketentuan pasal yang melanggar prinsip konstitusionalisme dan amanat reformasi.

READ  Jangan Tinggalkan Rakyat Dalam Membuat Kebijakan

Tentu saja, ada banyak pihak pendukung UU TNI yang khawatir dan gerah dengan situasi ini. Namun, apapun alasannya, mengintimidasi tetap tidak dapat ditoleransi. Apa yang dialami oleh mahasiswa, didatangi oleh oknum TNI, diinterogasi melalui ketua RT tempat mereka tinggal, adalah cara-cara militeristik yang tidak lagi mendapat tempat. Dalam negara demokrasi, berbeda dan mengkritik pemerintah adalah cara lumrah, yang justeru dari situlah negara tumbuh dan kuat. Namun, kesadaran ini tidak dimiliki oleh paradigma militerisme, militer justeru dididik dalam satu komando, ini untuk memudahkan koordinasi dalam keadaan negara darurat.

Terakhir adalah penunjukkan Direktur Bea Cukai yang berasal dari TNI aktif, memunculkan banyak persoalan. Dari aspek profesionalisme, tentu saja ada orang lain yang jauh lebih professional, yang memahami isu bea cukai dan terlibat dalam isu itu selama bertahun-tahun. Terlebih, dalam ruang lingkup Bea Cukai ada banyak isu yang berkelindan, mulai dari hukum, birokrasi, politik, pasar, ekonomi, hingga perlindungan hak asasi. Dari aspek merit, penunjukkan TNI aktif ini juga menghilangkan atau mengambil jabatan yang harusnya dimiliki oleh sipil. Jenjang karir sipil juga mesti dijaga, agar profesionalisme tetap terawatt di internal pemerintahan. Namun dengan situasi ini, telah merusak tatanan sistem yang sejak lama di bangun itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *