jogjanetwork.id 1 Agustus2025
Ketika publik kehilangan harapan terhadap keadilan, keputusan politik yang adil bisa menjadi nyala api kecil yang menyalakan kembali keyakinan kita terhadap hukum. Itulah yang terjadi ketika Presiden Prabowo Subianto mengabulkan abolisi untuk Thomas Lembong, dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto, setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan persetujuannya dalam rapat paripurna 31 Juli 2025 lalu.
Baca juga : Bukan Koruptor, Tapi Dipenjara: Hati Siapa Tak Tersayat?
Keputusan tersebut, meski bersifat politis, justru memperlihatkan bahwa jalur konstitusional masih bisa digunakan untuk membela keadilan substantif—ketika hukum positif kehilangan akal sehatnya.
Kasus Sarat Kejanggalan
Kasus yang menimpa Thomas Lembong sejak awal memang menyita perhatian publik. Didakwa dalam perkara dugaan korupsi impor gula tahun 2019, persidangan berlangsung penuh kejanggalan. Saksi ahli yang kredibel diabaikan, alat bukti lemah, dan prosedur pengadilan dilanggar. Bahkan, dalam vonisnya, hakim menyatakan bahwa “tidak ditemukan keuntungan pribadi”, namun tetap menjatuhkan vonis bersalah atas dasar “kelalaian sebagai pejabat publik”.
Logika hukum semacam ini mencederai prinsip nullum crimen sine culpa—tidak ada kejahatan tanpa kesalahan. Publik pun menaruh curiga: adakah intervensi kekuasaan? Terlebih, aroma politisasi kasus makin kuat ketika di waktu bersamaan, kasus Hasto Kristiyanto, tokoh oposisi, juga bergulir cepat di pengadilan tanpa proses yang transparan.
Baca juga: Tom Lembong Banding: Jaga Marwah Hukum, Lawan Tekanan
Maka ketika Presiden Prabowo mengambil sikap untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong, keputusan ini bukan sekadar menyelamatkan seorang tokoh, melainkan menjaga marwah hukum dari kehancuran oleh permainan kekuasaan.
Abolisi: Langka, Tapi Konstitusional
Abolisi bukan hal baru dalam sejarah Indonesia, meski sangat jarang digunakan. Ini adalah kewenangan konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dengan persetujuan DPR. Berbeda dengan grasi yang diberikan pasca vonis inkrah, atau amnesti yang diberikan kepada pelaku tindak pidana politik, abolisi diberikan untuk menghentikan proses hukum bahkan sebelum perkara selesai.
Sejak Indonesia merdeka, baru empat kali Presiden RI memberikan abolisi. Berikut tabel ringkas kronologinya:
No | Presiden | Tahun | Penerima Abolisi | Konteks Kasus |
---|---|---|---|---|
1 | Ir. Soekarno | 1961 | Para eks pemberontak PRRI/Permesta | Rekonsiliasi nasional pasca pemberontakan daerah |
2 | B.J. Habibie | 1999 | Aktivis pro-referendum Timor Timur | Normalisasi pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia |
3 | Abdurrahman Wahid | 2000 | RM Sawito Kartowibowo | Kasus subversi era Orde Baru |
4 | Prabowo Subianto | 2025 | Thomas Lembong | Kasus korupsi sarat kejanggalan & dugaan politisasi |
Pemberian abolisi bukan pembelaan buta terhadap pelaku. Dalam kasus Tom Lembong, ini adalah bentuk koreksi atas proses hukum yang disinyalir tidak memenuhi rasa keadilan. Ini juga menjadi preseden penting: bahwa negara tidak boleh membiarkan keadilan dikalahkan oleh permainan hukum dan tekanan politik.
Publik Menyambut Baik
Tanda-tanda bahwa keputusan ini berpihak pada suara hati rakyat sudah tampak. Di berbagai platform media sosial, akademisi, pengamat hukum, bahkan sebagian masyarakat sipil menyatakan apresiasi terhadap langkah Presiden. Bukan karena Tom Lembong tokoh publik yang populer, tetapi karena publik merasakan bahwa ada ketidakadilan sistemik dalam kasus tersebut.
Dalam konteks ini, abolisi bukan sekadar akta administratif, melainkan pesan moral bahwa negara harus hadir membela rakyatnya—termasuk tokoh yang dijadikan tumbal demi kepentingan politik sesaat.
Momentum Reposisi Hukum
Keputusan ini diharapkan menjadi titik balik untuk merefleksikan kembali arah penegakan hukum di Indonesia. Kita tidak bisa membiarkan hukum terus menjadi alat represi kekuasaan. Terlalu banyak contoh dalam sejarah di mana hukum dijadikan senjata untuk membungkam lawan politik, melindungi oligarki, atau melanggengkan kekuasaan.
Sudah saatnya Indonesia kembali pada prinsip “keadilan untuk semua”, bukan keadilan untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Keputusan Presiden Prabowo memberi abolisi kepada Thomas Lembong bisa dicatat sebagai momen penting dalam sejarah hukum Indonesia. Ketika hukum formal gagal menjalankan keadilan, jalur konstitusional seperti abolisi dan amnesti adalah mekanisme koreksi penting yang sah dan bermartabat.
Namun, publik tentu menunggu langkah lanjutan: reformasi total sistem hukum, dan penghentian kriminalisasi berbasis politik. Sebab, satu abolisi tidak cukup untuk menyembuhkan luka kolektif bangsa akibat ketidakadilan yang mengakar.