Despan Heryansyah
Direktur Riset Pusham UII dan Dosen Fakultas Hukum UII

Lembaga perwakilan, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memiliki anomali bawaan lahir yang sampai hari ini berdampak pada efektivitas peran dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara ideal, sebagai warga, kita membayangkan Lembaga Perwakilan memiliki peran ganda yang dilakukan secara bersamaan. Pertama, mereka adalah penyambung lidah rakyat Indonesia, meminjam istilah Bung Karno, karena sebagai wakil rakyat, maka Lembaga Perwakilan adalah representasi rakyat dalam maknanya yang konkret.
Baca juga : ANOMALI HUKUM PEMBERIAN AMNESTI DAN ABOLISI
DPR adalah kanal untuk memperjuangkan kehendak rakyat, dalam dinamika tarik-menarik kepentingan di pusaran kekuasaan. Oleh karena itu, sebagai wakil rakyat, maka legitimasi DPR sangat-lah kuat, penguasa (dalam pengertian eksekutif) mesti menempatkan suara wakil pada aras yang prioritas. Kedua, Lembaga Perwakilan dengan fungsi controling, budgeting, dan legislating-nya adalah pengimbang dan pengecek kekuasaan pemerintah, agar tetap berada pada track utamanya, yaitu bertindak untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, kewenangan pengawasan adalah senjata “mematikan” yang dilekatkan kepada Lembaga Perwakilan, agar marwahnya dihargai dan keputusannya dihormati kekuasaan eksekutif.
Sayangnya, hari ini kita tidak melihat dua idealitas itu terjadi, atau bahkan yang terjadi justeru gerakan ke arah sebaliknya. Suara Lembaga Perwakilan jauh dari aspirasi warga, karena mengutamakan kepentingan dan kehendak partai politik serta kelompoknya. Begitupun dengan peran pengawasan, tidak menghadirkan dinamika apapun, karena model koalisi membabi buta yang dikembangbiakkan dalam pemerintahan.
Jika kita telisik lebih dalam, ada dua problem besar atau anomali atas konstruksi Lembaga Perwakilan di Indonesia hari ini. Tentu saja, lemahnya kamar DPD sebagai salah satu elemen bikameral lembaga legislatif juga menjadi masalah yang serius. Kita mendesain lembaga legislatif tidak dengan sepenuh hati, karena melembagakan DPD untuk melahirkan check and balances pada lembaga legislatif, namun karena kewenangan yang “sumbing” menjadikan DPD tidak mendapatkan peran dan posisi yang cukup signifikan dalam sistem ketatanegaraan. DPR tetap menjadi single fighter tanpa perimbangan yang berarti. Namun, diluar itu, ada dua problem serius lain yang hari ini menjadikan Lembaga Perwakilan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Baca juga: URGENSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEPRESIDENAN
Pembatasan Periodisasi
Pertama, absennya pembatasan masa jabatan atau periode seseorang menjadi anggota DPR di Indonesia. Kita dengan mudah bisa menunjukkan ada orang yang sejak tahun 2004 atau bahkan sejak tahun 1999 selalu terpilih menjadi anggota DPR. Artinya, dia telah menjadi DPR selama lebih dari 20 tahun.

Situasi ini memang mungkin terjadi karena sejak awal, kita tidak memberikan pembatasan periode bagi seseorang untuk menjadi anggota legislatif. Logika dasarnya, sepanjang rakyat masih meletakkan kepercayaan dan pilihannya kepada seseorang, maka orang tersebut dapat menjabat sampai kapanpun dia mau. Logika ini sesat, karena kita sepenuhnya menyadari bahwa preferensi pilihan masyarakat Indonesia hari ini, masih sangat kental dipengaruhi oleh uang dan primordialisme, sehingga kalau ada calon yang memiliki sumber daya finansial yang cukup, dengan mudah dapat mendapatkan simpati masyarakat.
Apalagi jika memang telah belasan tahun melakukan hal yang serupa. Selain itu, situasi ini juga anomali dengan makna demokrasi sendiri. Demokrasi pada pokoknya adalah pembatasan, baik pembatasan terhadap kewenangan maupun pembatasan terhadap masa atau waktu menjabat, karena demokrasi membayangkan kesempatan yang sama dan setara bagi warga negara lainnya untuk menduduki jabatan yang sama. Oleh karena itu, harusnya ada pembatasan yang jelas tentang masa atau periode menjabat anggota DPR, agar melahirkan kesempatan yang setara bagi warga lain, terutama genarasi setelahnya.
Lembaga Pengawas
Kedua, pasca reformasi, selain mendesain check and balances dengan cukup clear, kita juga mendesain pengawasan yang cukup kuat pada semua lembaga negara. Misalnya, selain melembagakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melahirkan check and balances dalam kekuasaan kehakiman, kita juga melembagakan Komisi Yudisial (KY) yang bertugas untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap kekuasan kehakiman.
Disamping Badan Pengawas Mahkamah Agung masih tetap berjalan sebagai pengawas internal. Begitu pun dengan kekuasaan presiden/pemerintah, selain memiliki lembaga pengawas internal semisal Inspektorat dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), juga ada Ombudsman, BPK, serta Komnas HAM yang diposisikan sebagai lembaga eksternal yang juga melakukan pengawasan serupa.
Namun sayangnya, kita absen mendesain pengawasan yang lengkap untuk Lembaga Perwakilan (DPR dan DPD). Saat ini, Lembaga Perwakilan hanya memiliki instrumen pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), namun sebagai pengawas internal, MKD sangat kental dengan aroma politik partai penguasa. Sedangkan, tidak ada mekanisme pengawasan eksternal yang dapat dilakukan apabila MKD tidak mau menyidangkan atau karena bukan kewenangan MKD. Misalnya, tidak ada yang dapat kita lakukan apabila DPR tidak mau memproses atau menindaklanjuti usulan impeachment terhadap wakil presiden beberapa waktu lalu.
Juga tidak ada mekanisme apapun yang dapat dilakukan apabila ada anggota DPR atau fraksi yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Absennya pengawasan eksternal yang kuat dan mandiri ini, menjadikan Lembaga Perwakilan kita lemah, dan bertindak sekehendak kepentingan kelompoknya.
Satu tanggapan untuk “DPR Lembaga Perwakilan Tanpa Periodisasi dan Pengawasan”