jogjanetwork.id 8 Agustus 2025
Film 21 (2008), film Hollywood ini menceritakan sekelompok mahasiswa MIT yang menggunakan keahlian matematika mereka untuk mengalahkan kasino di Las Vegas dengan teknik penghitungan kartu, menawarkan gambaran glamor tentang bagaimana kecerdasan bisa mengakali sistem perjudian. Disutradarai oleh Robert Luketic dan dibintangi Jim Sturgess, Kate Bosworth, dan Laurence Fishburne, film ini memperlihatkan ketegangan antara pemain cerdas dan bandar yang berkuasa.
Ternyata, di dunia nyata, khususnya di Indonesia, cerita tentang pemain judi mengakali sistem yang dibuat oleh bandar, benar-benar ada. Bila di film 21 para pemain yang mengakali sistem bandar diburu oleh bandar yang bengis, di Indonesia para pemain judi justeru ditangkap oleh polisi. Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya penegakan hukum terhadap judi online, terutama ketika melibatkan jutaan pemain dengan latar belakang ekonomi yang beragam.
Baca juga: Pemblokiran Rekening oleh PPATK, Perlu Ada Class Action
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seperti dikutip dari Kontan, mencatat bahwa perputaran dana judi online di Indonesia sejak 2017 hingga Juni 2025 mencapai angka fantastis: Rp976 triliun. Khusus pada semester pertama 2025, nilainya sudah melampaui Rp99 triliun. Yang lebih mencengangkan, mayoritas pemain judi online adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan, dengan total pemain mencapai 3,8 juta orang. Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan realitas sosial yang pelik—judi online telah menjadi bagian dari kehidupan banyak orang, terutama mereka yang mungkin melihatnya sebagai jalan pintas di tengah tekanan ekonomi.
Penangkapan Pemain Judi di Bantul
Di tengah maraknya fenomena ini, seperti diberitakan oleh Detik, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengumumkan penangkapan lima pelaku judi online di Bantul pada akhir Juli 2025. Mereka adalah RDS (32), EN (31), DA (22), NF (25), dan PA (24). Namun, kasus ini bukanlah cerita penegakan hukum biasa. Alih-alih dianggap sebagai “penutup gerbang” dunia perjudian, kelima tersangka ini justru memicu kontroversi. Pasalnya, mereka dituduh merugikan bandar dengan memanfaatkan celah sistem, seperti mengumpulkan dan menggunakan situs-situs yang menawarkan promosi untuk pengguna baru. Dalam bahasa sederhana, mereka “mengakali” bandar—mirip seperti para mahasiswa MIT di film 21 yang mengelabui kasino.
Pernyataan Polda DIY tegas: “Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak. Mulai dari pemain, operator, pemodal, hingga bandar dan pihak-pihak yang mempromosikan. Tidak ada toleransi untuk perjudian dalam bentuk apa pun,” kata Slamet, perwakilan Polda DIY. Nalar publik bisa menerima jika bandar—terutama yang kelas kakap—dibidik. Namun, ketika pemain menjadi sasaran, muncul pertanyaan besar: dengan 3,8 juta pemain judi online di Indonesia, apakah pemerintah harus menyiapkan penjara untuk menampung mereka semua?
Kasus di Bantul ini menarik karena menyoroti paradoks dalam penegakan hukum judi online. Di satu sisi, negara ingin memberantas perjudian karena dampak sosial dan ekonominya yang merusak. Di sisi lain, menangkap pemain—terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan mungkin terjebak dalam lingkaran judi karena himpitan ekonomi—mengundang pertanyaan tentang efektivitas pendekatan ini. Apalagi, kelima tersangka di Bantul tidak sekadar bermain; mereka dituduh “merugikan bandar.” Bukankah ini ironis? Dalam narasi penegakan hukum, bandar adalah musuh utama, tetapi ketika pemain mengakali bandar, mereka tetap dihukum. Publik pun bertanya: apakah penangkapan ini benar-benar masuk akal, atau justru mengaburkan fokus dari pengejaran bandar besar yang menjadi akar masalah?
Judol Sistemik
Kasus ini juga mengingatkan kita pada tantangan struktural yang lebih luas. Data PPATK menunjukkan bahwa judi online bukan sekadar kejahatan individu, melainkan fenomena sistemik yang melibatkan jutaan orang dan triliunan rupiah. Mayoritas pemain adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, yang mungkin tergiur iming-iming keuntungan cepat di tengah keterbatasan ekonomi. Menangkap lima orang di Bantul mungkin terlihat sebagai kemenangan kecil bagi penegak hukum, tetapi dibandingkan dengan skala masalah—3,8 juta pemain dan hampir Rp1.000 triliun perputaran dana—langkah ini ibarat setetes air di lautan.
Lalu, apa yang bisa diharapkan dari kasus ini? Publik berharap penyidikan Polda DIY bisa menjadi titik terang. Jika benar ada keterlibatan bandar atau jaringan yang lebih besar, seperti yang dijanjikan Polda, proses hukum yang transparan dan tegas harus dilakukan. Namun, lebih dari itu, kasus ini mengundang refleksi: apakah pendekatan penegakan hukum yang berfokus pada pemain kecil cukup efektif? Atau, haruskah pemerintah lebih gencar mengejar bandar besar dan mengatasi akar masalah sosial-ekonomi yang mendorong orang terjun ke dunia judi online?
Seperti dalam film 21, mengakali sistem mungkin terlihat cerdas, tetapi di dunia nyata, konsekuensinya jauh lebih rumit. Di Indonesia, pertarungan melawan judi online bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal memahami realitas sosial di balik angka-angka besar. Publik menanti kejelasan—dan keadilan—dari kasus seperti di Bantul ini.