Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut

Ketika Kata Menjadi Senjata: Psikologi di Balik Drama Kata di Republik Ini

Di Republik ini, bencana besar sering kali tidak lahir dari gempa bumi atau banjir bandang, melainkan dari sesuatu yang lebih halus—kata-kata. Diucapkan dalam hitungan detik, tapi efeknya bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Sejarah politik dan sosial kita penuh dengan drama yang dipicu oleh ucapan, yang kemudian menjelma menjadi gelombang protes, keretakan hubungan sosial, bahkan pengunduran diri pejabat.

Baca juga:Suparman Marzuki: Demo Di Pati sebagai Peringatan Nasional

Dari Ahok Hingga Sudewo

Masih ingat kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Sebuah pernyataan yang dianggap melecehkan ayat suci memicu kemarahan berjuta-juta orang, mengubah lanskap politik nasional, dan menyeretnya ke meja hijau. Itu adalah salah satu contoh paling nyata bahwa kata memiliki daya ledak yang jauh melampaui niat awal pengucapnya.

Gelombang serupa terulang pada November 2024, ketika Miftah Maulana Habiburrahman—saat itu menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan—mengeluarkan lelucon yang menyebut seorang penjual es teh “goblok” di hadapan publik. Candaan yang mungkin dimaksudkan ringan itu justru memantik kemarahan luas. Media sosial meledak, petisi menuntut pencopotan jabatannya menyebar cepat, dan tekanan publik membuncah. Dalam hitungan hari, Gus Miftah menyatakan pengunduran dirinya. “Dengan segala kerendahan hati, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tugas saya sebagai Utusan Khusus Presiden,” ucapnya dalam pernyataan resmi. Sebuah pelajaran pahit: satu kata yang menyinggung bisa mematahkan jabatan yang dibangun bertahun-tahun.

Belum reda ingatan publik akan peristiwa itu, drama kata kembali menghantam, kali ini dari Pati, Jawa Tengah. Awal Agustus 2025, Bupati Sudewo mengumumkan kebijakan menaikkan PBB-P2 sebesar 250%—lonjakan yang memberatkan rakyat kecil. Warga marah, dan bukannya meredam kemarahan, Sudewo justru menyulutnya dengan pernyataan menantang. “Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 silakan… saya tidak gentar,” ujarnya di hadapan masyarakat. Pernyataan itu menjadi bahan bakar protes yang lebih besar.

READ  Neurorights: Saat Negara Wajib Lindungi 'Pikiran' Warganya

Dalam hitungan hari, gelombang massa membanjiri alun-alun Pati. Demo terjadi dari 10 hingga 13 Agustus 2025, melibatkan puluhan ribu warga. Meskipun akhirnya kebijakan itu dibatalkan dan permintaan maaf disampaikan, amarah publik sudah telanjur membara. Tuntutan pun bergeser dari pembatalan pajak menjadi seruan agar sang bupati mundur dari jabatannya.

Mulutmu Harimaumu

Bagi Suparman Marzuki, kejadian-kejadian itu harus dianggap sebagai peringatan keras bagi seluruh penguasa di Indonesia ini, termasuk Presiden Prabowo, hati rakyat sekarang ini benar-benar luka dan sakit. “Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang menganiaya rakyat, yang menyepelekan rakyat, yang menyengsarakan rakyat, menganggap rakyat tidak ada apa-apanya. Ini peringatan keras, pelajaran penting bagi pemerintah pusat mupun pemerintah daerah dimanapun,” katanya pada jogjanetwork.id.

Baca juga: Negeri Miskin Imajinasi: Kekuasaan Tanpa Cahaya

Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dikenal sebagai emotional contagion—penularan emosi secara massal. Kata-kata seperti “goblok” atau gaya menantang membawa muatan emosional yang kuat. Begitu diucapkan di ruang publik, apalagi oleh figur berkuasa, kata itu menjadi pemicu gelombang perasaan kolektif: rasa tersinggung, marah, dan ingin melawan. Media sosial mempercepat penularan ini, membuatnya berkembang menjadi tekanan politik yang nyata.

Kata, pada hakikatnya, adalah getaran. Ia merambat melalui udara, kemudian menembus pikiran bawah sadar, membentuk persepsi, memengaruhi sikap, dan memicu aksi. Dalam tubuh kita, emosi yang membungkus kata menguatkan daya resonansinya, membuatnya lebih “menggetarkan” orang lain. Itulah mengapa doa yang diucapkan dengan penuh keyakinan terasa berbeda dari ucapan yang hambar; dan mengapa sebuah hinaan yang dilontarkan dengan emosi bisa memicu kerusuhan.

Diam Itu Emas

Di Republik ini, sejarah memberi kita banyak bukti: kata bisa menjadi jembatan untuk membangun empati, atau menjadi senjata yang memutus tali kepercayaan. Dari Ahok hingga Bupati Pati hingga pejabat-pejabat lain yang pernah tersandung ucapannya, pelajaran itu selalu sama—kata yang diucapkan tanpa pertimbangan bisa menjadi bumerang yang mematikan.

READ  Darurat MK: dari Benteng Konstitusi Jadi Boneka Politik?

Mungkin pada akhirnya, di balik semua teori tentang gelombang suara dan resonansi psikologis, ada kebenaran sederhana yang harus kita ingat: berbicaralah yang baik, atau diam. Karena sekali kata itu lepas, ia tak akan pernah bisa ditarik kembali—dan dampaknya, siapa yang tahu, bisa jadi mengguncang satu republik.

5 tanggapan untuk “Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut”

  1. Avatar Iwan
    Iwan

    Kok di Nusron tdk dibahas?

  2. […] Baca juga: Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut […]

  3. […] Baca juga:Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut […]

  4. […] Baca juga: Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut […]

  5. […] Baca juga: Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut […]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 tanggapan untuk “Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *