Kepastian Hukum Untuk Pertumbuhan Ekonomi

Oleh: Zuhad Aji Firmantoro[1]

Pada peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR menegaskan kembali cita-cita merdeka sejati adalah merdeka dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan serta menegakkan kedaulatan ekonomi yang dikelola secara adil, efisien, dan berkeadilan sesuai dengan amana­t Pasal 33 UUD 1945. Presiden menyebut bahwa pengelolaan sumber daya nasional belum sepenuhnya mencerminkan keadilan sosial, bahkan dalam kondisi surplus seperti di sektor kelapa sawit, rakyat masih menghadapi persoalan akses dan distribusi. Pernyataan itu mengguncang kesadaran nasional akan keberlangsungan sistem ekonomi yang inklusif. Tetapi, idealisme itu hanya memiliki makna jika disokong oleh pilar fundamental berupa kepastian hukum. Suatu fondasi tak tergantikan yang harus menjadi pegangan serius agar retorika kenegaraan tak sekadar menjadi janji hampa.

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus tentang Tanggapan atas Pidato Tahunan Presiden Prabowo pada Sidang Tahunan MPR. Redaksi menyebutnya dengan menggunakan istilah yang dipakai presiden: Serakahonomic.

Data ekonomi Indonesia menunjukkan pertumbuhan moderat, yakni 5,03 % sepanjang 2024 dan 4,87 % di kuartal pertama 2025, sebelum melonjak menjadi 5,12 % di kuartal kedua 2025. Pertumbuhan ini menjadi yang tercepat dalam dua tahun terakhir. Ditopang oleh investasi yang melonjak 6,99 % serta konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Meskipun demikian, sejumlah pengamat menyuarakan keprihatinan bahwa lonjakan itu lebih bersifat sementara karena stimulus dan front-loading ekspor, bukan pertumbuhan domestik yang stabil. Data ini sekaligus menjadi peringatan keras bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa bertahan dan berdampak pada kesejahteraan bila disertai oleh sistem hukum yang konsisten, transparan, dan adil. Bukan sistem hukum yang berubah-ubah atau disesuaikan dengan tekanan sesaat.

READ  Kado Delapanpuluh Tahun Indonesia (Merdeka)

Hukum dan Ekonomi

Douglass C. North, salah seorang pemenang Nobel Ekonomi menekankan pentingnya institusi-institusi yang kredibel dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurut North, institusi hukum yang dapat diandalkan untuk menciptakan struktur insentif yang mendukung aktivitas ekonomi dan mendorong inovasi. North menyatakan bahwa hukum yang konsisten dan dapat ditebak menciptakan rasa aman dalam bertransaksi serta meminimalisir biaya ekonomi akibat ketidakpastian.

Data World Justice Project membenarkannya. Mereka telah lama mencatat bahwa ada korelasi kuat antara penegakan hukum dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara seperti Denmark, Norwegia, dan Finlandia selalu berada di peringkat atas dalam indeks penegakan hukum global. Kebetulan? Tidak. Mereka juga dikenal sebagai negara dengan tingkat kemakmuran tinggi dan kualitas hidup yang baik. Dalam sistem hukum yang adil, pemerintah dapat dipercaya, korupsi ditekan, dan sengketa diselesaikan secara rasional serta manusiawi.

Sebaliknya, negara yang sistem hukumnya amburadul akan menghadapi berbagai konsekuensi negatif. Ketidakpastian hukum membuat pelaku usaha enggan mengambil risiko. Investor asing memilih menanamkan modalnya di negara lain yang lebih stabil. Bahkan pelaku usaha lokal pun merasa terintimidasi, karena hukum bisa menjadi alat penindas ketimbang pelindung.

Penegakan Hukum Tanpa Kekerasan

Masalahnya, akhir-akhir ini praktik penegakan hukum di Indonesia kerap kali dibayangi oleh pendekatan kekuasaan. Kasus Tom Lembong contohnya. Seorang yang tidak terbukti memiliki niat jahat dan sama sekali tidak menikmati hasil korupsi yang dituduhkan kepadanya divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebuah vonis yang justru menimbulkan simpati publik. Pertama kali dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, seorang terdakwa perkara korupsi mendapat dukungan dari para pegiat anti korupsi dan masyarakat luas.

READ  Serakahnomics: Bayang-Bayang 80 tahun Ekonomi Indonesia

Karena itu, penting kiranya kita merenungkan kembali pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum yang tak pernah lelah mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar teks yang kaku, tetapi alat untuk mewujudkan keadilan. Menurutnya, penegakan hukum yang adil memerlukan pelaksana hukum yang berpengetahuan luas, peka terhadap penderitaan korban, dan berani melakukan terobosan ketika hukum tidak mampu menjawab tantangan zaman.

Pemikiran Satjipto hari ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Kita tidak hanya membutuhkan polisi yang kuat atau jaksa yang tegas, tetapi juga penegak hukum yang memiliki empati, kejujuran, dan integritas. Kita perlu pengadilan yang tidak hanya menjatuhkan vonis, tetapi juga memberikan rasa keadilan kepada semua pihak.

Lebih jauh, penegakan hukum yang baik juga harus bersifat inklusif dan partisipatif. Masyarakat harus merasa memiliki sistem hukum tersebut. Tanpa partisipasi publik, hukum akan terasa asing, bahkan menakutkan. Sebaliknya, jika masyarakat dilibatkan dalam proses penegakan hukum, maka akan tumbuh kesadaran kolektif untuk menjunjung tinggi nilai keadilan.

Komitmen Pada Rencana Jangka Panjang

Dalam suasana seperti inilah, hukum dan ekonomi bukan lagi dua entitas yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait. Kinerja ekonomi sangat bergantung pada seberapa adil hukum ditegakkan. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka investasi tidak akan tumbuh, lapangan kerja tidak tercipta, dan kemiskinan semakin dalam.

Oleh karena itu, pembenahan hukum bukan sekadar tugas institusi peradilan, tetapi juga tanggung jawab politik. Kita harus sadar, bahwa hukum adalah jantung dari demokrasi dan denyut nadi dari pembangunan. Tanpa hukum yang adil dan berpihak pada rakyat, tidak akan pernah ada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Maka, jika kita benar-benar ingin mewujudkan Indonesia yang makmur dan berkeadilan, pembenahan hukum harus menjadi prioritas utama.

READ  Serakahonomic: Retorika Di Tengah Luka Ekonomi Indonesia

Undang-Undang Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045 telah memberi arah yang terang dalam rangka pembenahan hukum. Salah satu sasaran utama dalam arah kebijakan supremasi hukum adalah terciptanya sistem hukum nasional yang menjunjung keadilan, menjamin kepastian hukum, memberikan kemanfaatan nyata, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. Upaya ini diwujudkan melalui pembangunan budaya hukum yang ditopang oleh transformasi sistem penegakan etika dan perilaku, serta redesain pendidikan hukum yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman. Semua itu hanya bisa dilakukan dalam negara yang demokratis.

Karena itu, pembangunan demokrasi diarahkan untuk membentuk demokrasi yang substansial, yakni demokrasi yang benar-benar mewakili dan mengemban amanat rakyat. Hal ini dapat ditempuh melalui peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan pembangunan. Ruang sipil pun harus diperluas dan dilindungi sebagai upaya memperkuat keberlanjutan peran masyarakat sipil dalam advokasi, pemberdayaan, serta kontrol sosial terhadap jalannya demokrasi dan pembangunan itu sendiri. Karena telah diatur dalam undang-undang, maka penyimpangan terhadap komitmen ini adalah pelanggaran hukum.


[1] Zuhad Aji Firmantoro adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, salah satu pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *