Analis Ekonomi Ingatkan Bahaya Lonjakan Beban Bunga Utang

jogjanetwork.id 19 Agustus 2025

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menunjukkan ketergantungan Indonesia pada utang masih sangat tinggi. Dengan beban bunga utang yang melonjak hingga Rp599,4 triliun, naik 8,6% dari outlook 2025 sebesar Rp552,1 triliun, serta rencana penarikan utang baru sebesar Rp781,9 triliun, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar untuk menjaga keberlanjutan fiskal. Angka ini menjadi penarikan utang terbesar sejak pandemi Covid-19, mendekati rekor 2021 sebesar Rp870,5 triliun.

Baca juga: Beban Bunga Utang Membengkak, Prabowo Siap Hutang Lagi

Beban Bunga Utang: Bom Waktu Fiskal

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan, beban bunga utang 2026 terdiri dari Rp538,7 triliun untuk utang dalam negeri (terutama kupon Surat Berharga Negara/SBN) dan Rp60,7 triliun untuk utang luar negeri. Total kewajiban utang diperkirakan mencapai Rp1.433 triliun, meliputi Rp833,9 triliun utang jatuh tempo dan Rp599,4 triliun bunga.

Kusfiardi, analis ekonomi politik sekaligus Co-Founder FINE Institute, menyebut beban bunga ini sebagai “bom waktu fiskal.” Ia menyoroti bahwa jumlah tersebut hampir setara dengan total belanja pendidikan nasional, yang seharusnya menjadi prioritas untuk memenuhi amanat konstitusi. “Negara terjebak dalam lingkaran setan utang: menerbitkan utang baru untuk menutup bunga utang lama. Ini menggerus kedaulatan fiskal,” tegasnya.

“Pemerintah cenderung memilih jalan mudah dengan menambah utang, padahal potensi pajak dari sektor-sektor strategis masih banyak yang bocor. Di sisi lain, skema utang lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati,” jelas Kusfiardi.

Rencana Utang Baru dan Risiko Yield SBN

seperti diberitakan jogjanetwork.id sebelumnya, Pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp781,9 triliun, dengan komposisi Rp749,19 triliun melalui penerbitan SBN dan Rp32,67 triliun dari pinjaman neto. Angka ini melampaui outlook 2025 (Rp715,5 triliun) dan menunjukkan ketergantungan besar pada SBN. Kusfiardi menilai struktur pembiayaan ini memperlihatkan rapuhnya ruang fiskal Indonesia. “Alih-alih menumpuk utang, pemerintah seharusnya mengeksplorasi reformasi perpajakan dan menekan kebocoran penerimaan, seperti praktik transfer pricing korporasi multinasional,” katanya.

READ  Data Pribadi Dijual Murah: Pelanggaran UU Perlindungan Data?

Kekhawatiran lain muncul dari imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang dipatok 6,9% pada 2026, tertinggi di ASEAN. Padahal, data per Agustus 2025 mencatat yield Indonesia hanya 6,39%, lebih rendah dari target 2025 (7%). Kusfiardi menilai pemerintah kurang agresif menekan yield. “Jika ekonomi membaik, kita punya posisi tawar untuk menurunkan yield SBN, sehingga biaya utang lebih rendah,” ujarnya. Yield yang tinggi membuat biaya utang membengkak, menambah tekanan pada APBN.

Dilema Fiskal: Ambisi vs Beban Bunga

Di satu sisi, pemerintah membutuhkan dana besar untuk mendanai program prioritas Prabowo, seperti ketahanan pangan (Rp164,4 triliun), ketahanan energi (Rp402,4 triliun), dan Makan Bergizi Gratis (Rp335 triliun). Namun, beban bunga yang menyedot hampir seperlima belanja pemerintah pusat mempersempit ruang untuk belanja produktif, seperti penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, dan pembangunan infrastruktur dasar. Kusfiardi memperingatkan, “Jika ini berlanjut, APBN hanya akan menjadi alat transfer kekayaan dari rakyat kepada kreditur.”

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pengelolaan utang dilakukan dengan penuh kehati-hatian, dengan fokus pada sumber utang dalam negeri untuk menjaga stabilitas fiskal. Ia juga menyebut rasio utang terhadap PDB tetap stabil di 39,96%, jauh di bawah ambang batas 60% sesuai UU Keuangan Negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan bahwa strategi pengelolaan utang akan tetap prudent, fokus pada pembiayaan program prioritas. Namun, bagi Kusfiardi, angka stabil ini tidak cukup menenteramkan karena beban bunga tetap menjadi ancaman nyata.

Jalan Keluar: Reformasi dan Transparansi

Kusfiardi mengingatkan bahwa tren kenaikan beban bunga utang juga mempersempit kapasitas APBN untuk belanja produktif, seperti penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur dasar di daerah. “Kalau situasi ini terus berlanjut, APBN hanya akan menjadi alat transfer kekayaan dari rakyat kepada kreditur,” tambahnya.

READ  Negara Dijual Paket Lengkap, Termasuk Privasi Rakyat

Baca juga: Negara Dijual Paket Lengkap, Termasuk Privasi Rakyat

Ia juga menyerukan peran aktif DPR, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengawasi kebijakan fiskal. “Kedaulatan fiskal harus dikembalikan untuk kemakmuran rakyat, bukan melanggengkan ketergantungan pada kreditur,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *