Darurat MK: dari Benteng Konstitusi Jadi Boneka Politik?

jogjanetwork.id 26 Agustus 2025

Proses penggantian hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan tajam setelah DPR menyetujui Inosentius Samsul sebagai calon tunggal pengganti Arief Hidayat, yang akan pensiun pada Februari 2026. Pemilihan ini menuai kritik karena dinilai tidak transparan dan berpotensi menjadikan MK sebagai alat politik DPR, melemahkan fungsinya sebagai benteng konstitusi. Kontroversi mencuat setelah uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR pada 20 Agustus 2025, di mana Inosentius lolos secara aklamasi.

Baca juga: Problem Penggantian Hakim Mahkamah Konstistusi

Dalam sidang tersebut, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Safaruddin, secara terbuka menyampaikan pesan tegas kepada Inosentius. Ia mengingatkan agar calon hakim ini tidak “menghantam” DPR setelah terpilih, mengingat Inosentius berasal dari usulan DPR. “Bapak punya keyakinan kuat, keteguhan, betul-betul bukan membela sembarangan di DPR, tapi jangan lupa bahwa Bapak dipilih itu dari DPR. Jangan kembali menghantam DPR, Pak,” ujar Safaruddin, seperti dikutip dari transkrip sidang. Pernyataan ini memperkuat dugaan adanya upaya DPR untuk menjaga pengaruh atas putusan MK, terutama dalam pengujian undang-undang.

Profil Inosentius Samsul

Latar belakang Inosentius Samsul semakin menambah kontroversi. Ia memulai karier sebagai PNS di Sekretariat Jenderal DPR pada 1990, naik pangkat hingga menjadi peneliti madya bidang hukum pada 1995-2015, dan kemudian Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR (2015-2020). Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Badan Keahlian DPR sejak 2020, dengan perpanjangan pensiun hingga usia 65 tahun melalui Keppres Presiden Prabowo Subianto. Inosentius sering membela DPR dalam sidang MK, termasuk kasus gugatan revisi UU KPK. Dalam persidangan uji materi UU KPK, ia menjadi saksi ahli DPR dan membela substansi revisi yang dinilai melemahkan lembaga antikorupsi, dengan argumen bahwa perubahan tersebut sesuai prosedur konstitusional dan kebutuhan legislasi.

READ  Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman

Upaya Melumpuhkan MK

Kritik pedas datang dari Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2013-2015. Ia menilai DPR menjadi bagian dari upaya melumpuhkan MK, mengingat sudah beberapa kali UU MK gagal direvisi karena intervensi politik. “DPR secara nyata dan terang benderang melanggar prosedur, cacat moral, dan cacat hukum dalam pemilihan ini,” kata Suparman. Menurutnya, pasti terjadi konflik kepentingan karena Inosentius sebelumnya menjadi pejabat ahli yang ikut membuat konsep UU, lalu menjadi hakim konstitusi yang salah satu tugasnya adalah mengadili sengketa UU. “Ini seperti hakim yang menguji produknya sendiri,” tegasnya.

Suparman Marzuki juga mengingatkan bahwa dalam sejarah MK di Indonesia, pergantian hakim yang melanggar prosedur dan cacat moral sering menimbulkan masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan kasus Hakim MK Akil Mochtar, mantan Ketua MK yang divonis seumur hidup pada 2014 karena menerima suap Rp57,78 miliar dan 500.000 dollar AS terkait 15 sengketa pilkada, termasuk kasus di Lebak, Palembang, dan Lampung Selatan. Akil tertangkap tangan oleh KPK pada 2013, menyusul pengembangan kasus yang melibatkan gubernur dan pengusaha.

Selanjutnya, Patrialis Akbar, hakim MK yang divonis 8 tahun penjara pada 2017 karena menerima suap Rp50.000 dollar AS dan Rp4 juta terkait uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis tertangkap OTT KPK pada 2017, melibatkan importir daging Basuki Hariman, dan dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan MK.

Kasus Anwar Usman

Dan yang masih segar di ingatan publik adalah Anwar Usman, yang memiliki konflik kepentingan saat mengadili uji materi UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres. Putusan ini memungkinkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres. Anwar kemudian dinyatakan melanggar prinsip imparsialitas oleh Majelis Kehormatan MK karena hubungan keluarga dan kepentingan politik.

READ  111 Tahun Al Irsyad: Pendidikan Yang Membebaskan

Dari berbagai kasus yang menimpa hakim MK itu, Suparman berharap agar publik melakukan upaya hukum yang dimungkinkan untuk menyelamatkan MK. “Negara lain sudah bicara isu global seperti soal Gaza, soal teknologi pertahanan canggih, kok Indonesia masih direcoki terus dengan kasus-kasus ijazah palsu, konflik kepentingan di lembaga penegak hukum, kasus kepemilikan Ducati dan kasus-kasus lain?” kritiknya.

Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi di MK, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi tapi kini dianggap rentan jadi boneka politik. Masyarakat sipil mendesak Presiden untuk tidak segera melantik Inosentius dan mendorong proses seleksi ulang yang lebih transparan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *