jogjanetwork.id 10 September 2025
Di tengah gemuruh perang dan diplomasi yang rapuh, dunia menyaksikan drama geopolitik yang kian memanas. Israel dan Amerika Serikat, dua kekuatan yang kerap mempertontonkan arogansi di luar nalar manusia, bebas melakukan kebrutalan dan tak tersentuh, menginjak-injak kedaulatan negara lain tanpa ragu. Dari Palestina hingga Lebanon, Suriah, Qatar, dan bahkan Iran. Serangan mereka hanya menjadi tontonan atau riuh diplomasi dengan omong kosong. Sementara itu, negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Kuba, dan Nikaragua juga tak luput dari tekanan dan intervensi Amerika, baik secara militer maupun politik, yang kerap membungkam suara mereka di panggung internasional.
Baca juga: Gaza Dibantai dan Dunia Memilih Bungkam
Namun, di antara puing-puing kehancuran, satu nama menonjol: Iran. Negara ini, dengan keberanian yang mengguncang, berhasil melawan dan—menurut laporan—menghancurkan dominasi Israel dalam beberapa konfrontasi. Iran berdiri tegak, menjadi pengecualian di tengah deretan negara yang tampak tak berdaya.
Baca juga: Kalah Perang, Israel Pakai Amerika Ganggu Iran Lagi
Di sisi lain, Doha, Qatar, yang selama ini dikenal sebagai oase netralitas dan juru damai, justru menjadi sasaran serangan brutal Israel. Laporan media menyebutkan, 12 serangan udara Israel menghantam bangunan tempat tinggal di Doha, menewaskan seorang pejabat keamanan Qatar dan lima anggota Hamas. Tindakan ini bukan hanya serangan fisik, tetapi juga pukulan telak terhadap harapan perdamaian di kawasan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, tak tinggal diam. Dengan nada tegas, ia mengutuk serangan Israel ke Doha sebagai “pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Qatar.” Ia menegaskan bahwa Qatar, yang telah lama memainkan peran kunci dalam mediasi konflik, tak seharusnya menjadi korban.
Baca juga: Serangan Israel ke Suriah, Meningkatkan Ketegangan Dunia
Namun, kecaman Guterres, seperti banyak kecaman lain dari badan dunia, terdengar seperti suara nenek-nenek cerewet—penuh semangat, tetapi minim daya ubah. Dunia menyaksikan, dengan napas tertahan, ketika resolusi dan pernyataan keras PBB berulang kali gagal menghentikan agresi.
Dunia yang Pasrah?
Dari Palestina yang terkoyak hingga Amerika Latin yang tertekan, dunia seolah menjadi “ayam sembelihan” bagi Israel dan Amerika. Hanya segelintir negara—Iran, China, dan Rusia—yang tampak mampu menahan gempuran dan menegakkan kepala di hadapan dua raksasa ini. Namun, pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang adalah: apakah ketidakadilan ini akan terus berlanjut? Apakah negara-negara dunia hanya akan pasrah, diperbudak oleh Israel dan Amerika?
Di jalanan Gaza, di reruntuhan Lebanon, hingga di gedung-gedung Doha yang kini berlubang, rakyat biasa menjadi saksi bisu dari ketakberdayaan negara-negara dunia. Mereka bertanya: sampai kapan dunia akan terdiam? Ketika badan-badan internasional hanya mampu mengeluarkan kecaman tanpa tindakan nyata, harapan untuk keadilan global kian memudar.
Di sisi lain, Qatar tetap berupaya menjaga peran sebagai mediator, meski luka serangan masih membekas. “Kami tidak akan mundur dari misi perdamaian,” kata Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani. Tetapi, di tengah dunia yang kian terpolarisasi, bisakah netralitas bertahan? Atau akankah lebih banyak negara terseret ke dalam pusaran penindasan yang seolah tak berkesudahan?
Menanti Kebangkitan
Dunia kini berdiri di persimpangan. Apakah negara-negara yang terinjak akan bangkit, seperti Iran, atau terus merunduk di bawah tekanan? Apakah badan dunia seperti PBB akan menemukan taringnya, atau tetap menjadi penutur kecaman yang tak digubris? Yang jelas, kisah ini belum usai. Di setiap reruntuhan, ada benih perlawanan. Di setiap kehancuran, ada suara yang menolak dilupakan. Dunia mungkin sedang terluka, tetapi sejarah mengajarkan bahwa bahkan yang lemah bisa bangkit—jika mereka memilih untuk melawan.