Jangan Jadikan Anak Sebagai Aset Atau Investasi

Menjadi orang tua sering kali tanpa sadar melahirkan sebuah kesalahan besar: menjadikan anak sebagai proyek ambisi. Banyak orang tua merasa sudah berkorban segalanya, sehingga wajar jika anak harus menuruti jalan yang sudah digariskan. Padahal, anak bukan “miniatur” dari ayah atau ibunya. Anak adalah jiwa yang datang membawa kecenderungan, karakter, dan keinginan yang unik.

Sering kita dengar kalimat, “Papa dulu gagal jadi dokter, makanya kamu harus jadi dokter,” atau “Mama dulu nggak sempat sekolah tinggi, maka kamu harus jadi profesor.” Sekilas terdengar penuh cinta, tapi sejatinya, ini adalah pemaksaan kehendak yang halus. Saat orang tua memandang anak sebagai perpanjangan ego atau bahkan aset, maka di sanalah akar luka batin mulai tumbuh.

Baca juga: Balita Jadi Zombie Digital, Orang Tua Malah Tertawa

Pelajaran dari Zhang Xinyang

Zhang Xinyang Dulu dan Sekarang

Mari kita menoleh pada kisah yang sempat menghebohkan dunia: Zhang Xinyang. Anak jenius dari Tiongkok ini mencapai prestasi luar biasa—usia 10 tahun sudah kuliah, usia 16 sudah meraih gelar doktor. Dunia melihatnya sebagai calon peraih Nobel, orang tuanya bahkan menyiapkan apartemen di Beijing agar ia bisa hidup layaknya bintang masa depan. Semua terlihat seperti cerita sukses yang sempurna.

Namun siapa sangka, “plot twist” datang begitu mengejutkan. Alih-alih menjadi ilmuwan besar atau CEO perusahaan raksasa, Zhang memilih jalan yang bagi banyak orang dianggap aneh: ia ingin menganggur. Hidup tanpa ambisi, tanpa cita-cita besar, hanya rebahan.

Mengapa? Karena di balik semua prestasi hebat itu, ada masa kecil yang dirampas. Saat anak-anak lain bebas bermain, ia sibuk dikejar-kejar target akademik. Saat orang lain menikmati dunia remaja, ia dijejali ekspektasi sebagai anak jenius. Dan luka itulah yang kini menjelma menjadi dendam pada orang tua yang dianggapnya “berhutang kebahagiaan.”

READ  Kenali Emosi Anak dan Begini Tips Menanganinya

Kisah Zhang menjadi peringatan keras: betapa berbahayanya ketika orang tua lupa mendengarkan suara hati anak.

Belajar Mendengar Jiwa Anak

Setiap anak punya kecenderungan unik—ada yang suka menggambar, ada yang senang berlari, ada yang gemar bertanya, ada yang suka membongkar mainan. Semua adalah benih potensi. Tugas orang tua bukan memaksakan benih itu tumbuh jadi pohon tertentu, tetapi menyediakan tanah yang subur, cahaya, dan air yang tepat agar benih itu tumbuh sesuai kodratnya.

Kita perlu berhenti melihat anak sebagai “investasi” atau “jaminan masa depan.” Anak bukan tabungan, bukan pula proyek yang harus menghasilkan kebanggaan. Anak adalah amanah. Jika kita menanamkan cinta, memberi ruang kebebasan, dan mengajarkan nilai kehidupan, maka anak akan tumbuh dengan bahagia—bahagia menurut definisinya sendiri, bukan menurut standar orang tuanya.

Baca juga: Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman

Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah gelar akademik, bukan pula kekayaan materi. Kebahagiaan adalah saat seorang anak merasa dirinya diterima apa adanya, tanpa syarat.

Warisan Sejati

Dendam Zhang Xinyang kepada orang tuanya adalah cermin dari betapa berharganya masa kecil. Hak anak untuk bermain, tertawa, dan memilih jalan hidupnya sendiri adalah sesuatu yang tak bisa dibeli dengan apartemen mewah atau gelar akademik setinggi langit.

Warisan sejati orang tua kepada anak bukanlah harta benda atau prestasi yang dipaksakan, melainkan hati yang sehat, jiwa yang merdeka, dan kenangan masa kecil yang indah. Karena anak yang bahagia akan lebih kuat menghadapi dunia, jauh lebih dari sekadar anak yang “berhasil” di mata publik.

Maka, dengarkanlah anakmu. Jangan rampas dunia kecilnya. Jangan gantikan tawa dengan beban. Biarkan ia tumbuh sesuai jati dirinya, agar kelak ia tak menuntut hutang kebahagiaan yang pernah kita abaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *