Misri Gozan
Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: mengapa sesuatu yang awalnya sekadar permainan tiba-tiba berubah menjadi ritual? Mengapa benda-benda sederhana seperti telur, bunga, atau sesajen bisa mendadak dianggap sakral? Bukankah itu hanya simbol biasa, kenapa harus diberi makna seolah-olah ia bagian dari agama?
Baca juga: Saat Dakwah Kehilangan Adab, Pendidikan Jadi Solusi
Inilah kenyataan yang sering kita jumpai di tengah masyarakat. Tradisi lahir dari kreativitas dan kebersamaan, menjadi hiburan rakyat atau penanda sosial. Namun, lambat laun ada tangan-tangan yang menyelipkan makna religius, lalu menempelkan tafsir-tafsir keagamaan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Akhirnya, yang tadinya budaya, pelan-pelan naik kelas menjadi ritual.
Islam tidak pernah anti budaya. Justru banyak budaya lokal yang bisa menjadi sarana silaturahmi dan perekat sosial. Tetapi Islam sangat keras terhadap segala bentuk tambahan dalam aqidah dan ibadah. Karena agama ini sudah sempurna, ia tidak butuh tempelan simbol baru. Maka ketika budaya melewati garis batas itu, ia bukan lagi sekadar budaya, melainkan ancaman terhadap kemurnian tauhid.
Tulisan ini awalnya saya tujukan pertama-tama untuk warga Al Irsyad Al Islamiyyah (Irsyadiyyin), sebagai pengingat agar dakwah kita tidak melupakan inti: memurnikan tauhid dan mengajak umat kepada sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Namun, secara umum saya berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh muslimin juga agar berhati-hati tidak terjebak bersatu-padu memperkuat tradisi yang menyimpang dari sunnah dan ijma’ ulama mazhab. Justru tugas kita adalah mendidik umat agar mampu membedakan mana adat yang mubah dan mana ritual yang menyalahi syariat.
Ketika Budaya Naik Kelas Menjadi Ritual
Mari kita lihat dengan jernih beberapa bentuknya:
- Telur dihias warna-warni. Awalnya sekadar permainan anak-anak. Namun ketika diberi narasi sebagai “simbol kebangkitan” atau “tanda pengampunan,” ia telah berubah menjadi sesuatu yang dianggap bernilai religius.
- Sesajen dilabuhkan ke laut. Jika sebatas pesta rakyat, ia hanyalah budaya. Tetapi ketika diyakini sebagai penolak bala atau mendatangkan keselamatan gaib, ia berubah menjadi keyakinan baru.
- Bunga tabur di tempat tertentu. Bila sekadar hiasan, tidak masalah. Tetapi ketika diyakini membawa berkah atau menghadirkan roh leluhur, ia telah masuk wilayah mistis.
- Arak-arakan pusaka. Bila dianggap tontonan, ia netral. Tetapi ketika dipandang membawa keberkahan dan keselamatan, ia sudah disakralkan.
- Tarian dengan sesajen dan doa-doa asing dari syariat. Bila sekadar seni, ia bisa dinikmati. Tetapi ketika diyakini mendatangkan hujan atau kekuatan gaib, ia berubah menjadi ritual.
Semua fenomena di atas memperlihatkan satu pola yang sama: budaya yang awalnya netral diberi makna religius.
Jika diteliti secara ilmiah, sebagian praktik ini sebenarnya punya latar belakang non-religius. Misalnya, melarung sesajen di laut bukanlah “sedekah” dalam arti memberi untuk Allah, melainkan sesungguhnya bisa berfungsi menarik ikan mendekat, karena zat organik dari makanan itu memengaruhi perilaku ikan. Namun harus dicatat, cara ini berisiko menimbulkan polusi atau merusak ekosistem laut jika bahan yang ditebarkan berbahaya.
Asap kemenyan juga secara kimia mengandung senyawa aromatik yang bisa menenangkan syaraf atau memengaruhi suasana hati. Tapi jika diposisikan sebagai “pengundang roh”, itu melenceng dari syariat. Sama halnya dengan aroma bunga tabur yang memang bisa mengundang serangga atau hewan tertentu, tapi tidak ada hubungannya dengan keberkahan spiritual.
Demikian pula telur hias berwarna-warni. Warna bukanlah simbol kehidupan baru, melainkan rangsangan visual yang secara neurologis memang bisa mengaktifkan saraf dan menstimulasi kognisi. Efek yang sama bisa diperoleh dengan melihat dedaunan hijau atau bunga-bunga di alam, tanpa harus disakralkan dalam bentuk ritual.
Inilah yang disebut sinkretisme. Islam dipaksa berbagi panggung dengan keyakinan lain, lalu lahirlah “agama campuran” yang samar-samar. Masyarakat tidak lagi membedakan mana ajaran Islam yang murni dan mana hasil tempelan budaya. Dari sinilah muncul kebingungan: sesuatu yang bukan ibadah dianggap ibadah, sesuatu yang tak ada dalilnya seolah-olah bagian dari syariat.
Sinkretisme bukan sekadar masalah teknis budaya, melainkan masalah aqidah. Sebab ia menggerus garis pemisah antara yang halal dan batil, antara yang tauhid dan syirik, antara yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan yang ditambahkan manusia. Jika dibiarkan, umat akan terbiasa menoleransi penambahan demi penambahan, hingga akhirnya kemurnian Islam pudar di hadapan tradisi.
Islam Menolak Penambahan Ritual
Islam adalah agama yang sudah sempurna. Tidak ada satu pun celah ibadah yang terlewatkan, tidak ada kebutuhan simbol baru yang belum diatur. Allah ﷻ menegaskan: اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu” (potongan QS. Al-Maidah ayat 3)
Jika agama ini sudah sempurna, maka penambahan apa pun justru merusak kesempurnaan itu.
Rasulullah ﷺ pun telah memberi peringatan keras:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh dari Masa Awal Islam
Sejarah mencatat, bahkan di zaman Rasulullah ﷺ, ada kecenderungan sebagian sahabat menambahkan hal-hal baru karena dorongan rasa ingin beribadah lebih. Namun Nabi ﷺ segera meluruskan.
- Kasus tiga sahabat yang berlebihan: Ada tiga sahabat yang bertekad ingin beribadah lebih dari Rasulullah ﷺ, satu ingin shalat malam terus tanpa tidur, satu ingin puasa terus tanpa berbuka, dan satu lagi ingin menjauhi pernikahan. Rasulullah ﷺ menegur mereka dengan tegas: “Barang siapa berpaling dari sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dari sini jelas: bahkan niat baik sekalipun, jika menambah bentuk ibadah baru yang tidak dicontohkan, tetap tertolak.
- Kasus doa berlebihan dalam tasyahud: Ibnu Mas‘ud meriwayatkan bahwa ada sahabat yang menambahkan doa-doa tertentu dalam tasyahud. Rasulullah ﷺ menegurnya: “Ucapkanlah sebagaimana yang aku ajarkan. Jika kamu ingin berdoa untuk dirimu, silakan setelah itu.” (HR. Bukhari).
Pesannya sederhana: jangan sisipkan tambahan ke dalam ritual baku, meski doa itu bagus sekalipun.
Para ulama salaf memahami betul pesan-pesan tersebut.
Imam Malik rahimahullah, salah seorang pendiri mazhab besar, berkata:
“Barang siapa membuat-buat bid‘ah dalam Islam dan memandangnya baik, maka ia telah menuduh Muhammad berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah berfirman: ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu…’.”
(Al-I‘tisam karya al-Syathibi, jilid 1, hlm. 49)
Ucapan beliau yang tajam namun indah ini telah menjadi rujukan primer, dan sering dikutip oleh banyak ulama lintas mazhab. Seolah beliau ingin berkata, jika Islam sudah sempurna, maka setiap tambahan justru merendahkan kesempurnaan itu.
Dengan demikian, Islam tidak banyak memberi ruang untuk penambahan, apalagi yang sifatnya ritual. Apa yang Rasulullah ﷺ ajarkan sudah cukup. Bahkan niat baik pun tidak bisa menjadi alasan untuk menciptakan bentuk ibadah baru.
Bayangan Tasyabbuh: Menyerupai Kaum Lain
Satu hal yang sering luput dari perhatian umat adalah soal penyerupaan. Banyak orang berkata: “Ah, ini hanya mirip-mirip saja. Tidak ada niat mengikuti agama lain.” Tetapi benarkah semudah itu? Apakah niat baik cukup untuk membebaskan kita dari bahaya menyerupai?
Rasulullah ﷺ sudah memberi peringatan yang keras:
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Kata-kata ini bukan ancaman kosong. Sebab penyerupaan lahiriah, jika terus dibiarkan, akan menyeret pada penyerupaan batiniah. Ibn Taimiyyah dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim menjelaskan: “Keserupaan lahiriah membawa kepada keserupaan dalam hati dan keyakinan.” Inilah hukum sosial yang tidak bisa diabaikan: apa yang kita biasakan dalam simbol, perlahan masuk ke dalam jiwa.
Dalam kajian antropologi, penyerupaan simbol antar budaya disebut sebagai proses “sinkretisme ritual”. Hal ini sering terjadi ketika masyarakat mencoba mencari legitimasi baru bagi tradisi lama dengan menempelkan makna keagamaan. Secara sosiologis, simbol-simbol yang mirip akan memudahkan terjadinya adopsi lintas agama. Di sinilah Islam memberi pagar yang jelas: kesamaan lahiriah yang terus dipelihara akan melemahkan identitas aqidah.
Contoh dari Masa Dulu
Fenomena ini sudah terjadi sejak zaman Nabi ﷺ.
- Larangan menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam ibadah. Nabi ﷺ memerintahkan kita berpuasa Asyura, tetapi kemudian menambahkan puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya, agar berbeda dari Yahudi. (HR. Muslim).
Pesannya jelas: jangan sampai ibadah kita identik dengan ibadah kaum lain, meski bentuknya mirip.
- Larangan menyerupai kaum lain dalam cara berpakaian dan simbol. Nabi ﷺ bersabda: “Berbedalah kalian dari orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan pendekkan kumis.” (HR. Bukhari-Muslim).
Simbol lahiriah saja diperhatikan, apalagi jika yang diserupakan adalah ritual yang bersentuhan dengan aqidah.
Refleksi untuk Kita
Sekarang, mari kita lihat ke sekitar kita. Ketika telur dihias warna-warni lalu diberi makna religius, bukankah itu bayang-bayang perayaan Paskah? Ketika sesajen dilabuhkan ke laut, bukankah itu mirip dengan persembahan animistik atau Hindu-Buddha kuno? Ketika bunga dipercaya mendatangkan berkah, bukankah itu cerminan mistisisme yang bukan berasal dari Islam?
Apakah semua ini hanya kebetulan? Ataukah kita memang sedang menyerempet jalan kaum lain tanpa sadar?
Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah mengingatkan: “Kaum yang kalah cenderung meniru kaum yang menang dalam simbol dan gaya hidup.” Jika kita tidak hati-hati, tasyabbuh bukan lagi sekadar kebetulan budaya, melainkan cermin ketertundukan batin.
Mengapa Ini Berbahaya?
Karena tasyabbuh bukan hanya soal simbol, tapi soal identitas. Ketika umat Islam terbiasa menyerupai, mereka lambat laun kehilangan kebanggaan terhadap agamanya sendiri. Hari ini telur dihias, besok bunga disakralkan, lusa sesajen dilegitimasi. Lama-kelamaan, garis batas aqidah pun memudar.
Inilah bahaya sinkretisme yang halus: ia tidak datang dengan frontal, tetapi menyusup lewat penyerupaan. Awalnya “hanya budaya,” akhirnya “jadi ibadah.”
Peringatan Para Ulama
Al Quran sendiri mengungkapkan peristiwa umat nabi Musa alaihi salam yang meminta diberikan ritual yang menyerupai “tradisi” kaum lain yang mereka temui sepanjang perjalanan. Sepertinya, secara manusiawi hal ini adalah peristiwa dan tabiat universal yang harus diwaspadai, selain memang bisikan syaitan untuk menggoda dan menjerumuskan manusia.
Maka, sejak awal sejarah Islam, para ulama tidak pernah berhenti mengingatkan umat tentang bahaya bid‘ah dan tasyabbuh. Mereka paham betul bagaimana aqidah bisa terkikis sedikit demi sedikit, bukan oleh serangan frontal, melainkan oleh kebiasaan kecil yang dianggap sepele.
Ibn Taimiyyah (661–728 H) menulis dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim:
“Keserupaan lahiriah akan menyeret kepada keserupaan batin, sebagaimana keserupaan batin menyeret kepada keserupaan lahiriah.”
Kalimat ini sederhana, tetapi maknanya dalam: apa yang tampak di luar, simbol, pakaian, perayaan, akan memengaruhi apa yang ada di dalam hati.
Al-Ghazali (450–505 H) dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din memberi peringatan serupa:
“Banyak orang mengira dengan melakukan sesuatu yang tidak ada dalam syariat, mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah. Padahal itu hanyalah bisikan setan dan tipu daya hawa nafsu.”
Betapa sering kita melihat fenomena ini di masyarakat: orang dengan tulus mengikuti tradisi, bahkan merasa semakin religius, padahal sesungguhnya mereka sedang terjebak dalam waswas yang menyesatkan.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691–751 H), murid Ibn Taimiyyah, menulis dalam I‘lam al-Muwaqqi‘in:
“Syariat Islam datang untuk menutup setiap jalan menuju syirik, bid‘ah, dan kebatilan.”
Inilah pagar yang jelas: meski jalan itu tampak indah, bila ujungnya menuju kebatilan, syariat wajib menutupnya.
Ulama Nusantara juga bersuara sama. Buya Hamka, dalam Tasawuf Modern, mengingatkan:
“Banyak kepercayaan lama masih dipelihara, dicampur-adukkan dengan agama Islam. Akibatnya, agama jadi kabur. Orang menyangka dirinya Islam, padahal masih terikat oleh kepercayaan nenek moyangnya yang tidak sesuai tauhid.”
Hamka menekankan, adat boleh berjalan selama tidak mencederai aqidah. Tetapi jika sudah bercampur dengan keyakinan syirik, ia harus ditinggalkan.
Bahkan ulama awal NU pun sejalan dengan pesan ini. Banyak orang mengira ulama NU sejak awal hanya membiarkan tradisi apa adanya. Padahal, ulama-ulama awal NU justru punya sikap kritis terhadap sinkretisme, walaupun pendekatan mereka penuh hikmah agar umat bisa diarahkan pelan-pelan. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy‘ari, pendiri NU, dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama‘ah menulis:
“Wajib atas tiap muslim menjaga agamanya dari perbuatan yang dapat merusak aqidah, baik berupa syirik, bid‘ah, maupun khurafat, meskipun masyarakat banyak yang melakukannya.”
Dan KH. Wahab Chasbullah, tokoh perintis NU lainnya, menegaskan dalam nasihatnya:
“Kebudayaan boleh diambil selama tidak mengotori agama. Tetapi bila kebudayaan itu menjurus pada kesyirikan, maka wajib ditolak.”
Jika kita perhatikan, suara ulama dari berbagai zaman dan latar belakang, dari Ibn Taimiyyah, al-Ghazali, Ibn Qayyim, Buya Hamka, KH. Hasyim Asy‘ari hingga KH. Wahab Chasbullah, semuanya satu: Islam harus dijaga dari bid‘ah, khurafat, dan sinkretisme.
Perbedaan mereka hanya pada gaya pendekatan. Ada yang tegas dan tajam, ada yang lembut dan penuh hikmah. Tetapi intinya sama: aqidah tidak boleh tercemar oleh tambahan simbol atau ritual yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ditinjau dengan kacamata psikologi modern, apa yang diingatkan ulama-ulama tersebut sangat sesuai dengan teori “social learning” (pembelajaran sosial). Manusia cenderung meniru perilaku atau simbol yang terus-menerus dilihatnya, hingga akhirnya menirukan pula nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, ulama-ulama klasik sudah jauh mendahului penjelasan ilmiah modern tentang bahaya imitasi yang berulang.
Baca juga : Al Irsyad: Sampaikan Dorongan Moral untuk Presiden Prabowo
Dakwah: Memurnikan Tanpa Memusuhi
Pertanyaannya kemudian: jika begitu banyak tradisi yang melenceng, apakah berarti semua tradisi harus kita musuhi? Apakah setiap arak-arakan harus kita bubarkan, setiap bunga tabur harus kita caci, setiap telur hias harus kita remehkan?
Tentu tidak. Islam bukan agama yang datang untuk mematikan budaya, melainkan untuk memurnikan arah hidup manusia. Rasulullah ﷺ tidak serta-merta menghapus semua kebiasaan Arab pra-Islam. Beliau hanya menolak yang bertentangan dengan aqidah dan ibadah. Adat yang netral dibiarkan, bahkan ada yang diarahkan dan dimurnikan.
Maka, jalan dakwah bukanlah permusuhan, melainkan pendidikan.
Pertama, bedakan budaya dari ibadah. Gotong royong, arisan, pesta panen, permainan rakyat, semua ini bagian dari budaya sosial yang netral. Silakan dipelihara. Tetapi ketika bunga, telur, pusaka, atau sesajen disakralkan dan diberi makna religius, di situlah garis harus digarisbawahi.
Kedua, alihkan makna. Bila masyarakat ingin merayakan Maulid, jangan sibuk menghias benda mati. Sibuklah memperbanyak shalawat, memperkuat silaturahmi, dan menghidupkan kembali kisah Rasulullah ﷺ. Nilai perayaan bukan pada telur warna-warni, melainkan pada hati yang penuh syukur dan cinta kepada Nabi.
Ketiga, gunakan kelembutan. Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam menegur umat dengan kasih sayang. Seorang badui pernah kencing di masjid, tetapi beliau tidak memarahinya. Beliau menegur dengan lembut, lalu menjadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua sahabat. Maka bagaimana mungkin kita menganggap diri sedang berdakwah jika dakwah kita penuh amarah?
Spirit Irsyadiyyin
Baca juga: 111 Tahun Al Irsyad: Pendidikan Yang Membebaskan
Inilah yang membedakan wajah dakwah Irsyadiyyin: memurnikan tauhid tanpa menebar kebencian. Kita percaya bahwa umat tidak boleh dibiarkan larut dalam sinkretisme, tetapi kita juga sadar bahwa umat harus dibimbing dengan penuh kesabaran. Kita ingin masyarakat tercerahkan, bukan tercerabut. Kita ingin mereka mencintai Islam yang murni, bukan lari dari dakwah karena merasa dimusuhi.
Buya Hamka pernah menulis:
“Dakwah yang kasar hanya melahirkan permusuhan. Tetapi dakwah yang penuh hikmah akan membuka hati dan pikiran.”
Begitu pula KH. Hasyim Asy‘ari, yang meskipun keras dalam prinsip aqidah, tetap mengajarkan kelembutan dalam menyentuh hati umat.
Maka jalan kita jelas: teguh dalam prinsip, lembut dalam pendekatan.
Tantangan di Era Modern
Mengapa membahas jalan ini penting di era super modern kita sekarang? Di era media sosial, setiap dakwah bisa disebarkan luas. Satu kata kasar bisa viral, satu kalimat menyinggung bisa menutup pintu hati ribuan orang. Karena itu, dakwah kita harus tampil sejuk. Bukan berarti lunak dalam prinsip, tetapi pintar dalam menyampaikan.
Riset komunikasi menunjukkan bahwa otak manusia lebih mudah mengingat pesan yang divisualkan dalam bentuk gambar dan video pendek dibandingkan teks panjang. Inilah sebabnya narasi tradisi yang dibungkus visual sering lebih cepat memengaruhi publik dibandingkan kajian ilmiah. Karena itu, dakwah hari ini harus cerdas menggunakan media: bukan hanya meluruskan, tapi melawan narasi palsu dengan narasi Qur’ani yang dikemas sama kuatnya.
Irsyadiyyin harus hadir seperti guru yang sabar: tegas pada kebenaran, tetapi penuh kasih kepada murid. Jika budaya salah arah, luruskan dengan pelan. Jika tradisi melenceng, arahkan dengan hikmah. Jangan biarkan masyarakat tenggelam, tapi juga jangan memukul mereka hingga menolak ditolong.
Ada yang beranggapan: “Tradisi seperti itu kan hanya masa lalu. Sekarang orang sudah modern, sudah sekolah, sudah melek teknologi.” Tetapi benarkah demikian? Justru di zaman modern ini, tradisi-tradisi itu sering kali hidup kembali dalam bentuk baru. Bukan lewat lisan nenek moyang, tetapi lewat narasi viral di media sosial.
Kita melihat bagaimana foto telur hias penuh warna disebarkan dengan kata-kata puitis: “Simbol kehidupan baru.” Kita menonton video arak-arakan sesajen yang dibungkus dengan label: “Simbol syukur kepada alam.” Kita menyaksikan tarian mistis dengan sesajen dipromosikan sebagai “warisan budaya yang religius.”
Semuanya tampil indah di layar gawai kita, dilengkapi musik, filter, dan narasi yang menggugah emosi. Masyarakat pun mudah terbawa, lalu berkata: “Apa salahnya? Bukankah ini indah? Bukankah ini juga ibadah?”
Inilah tantangan dakwah masa kini: bukan lagi sekadar meluruskan praktik di lapangan, tetapi melawan narasi kreatif yang membungkus bid‘ah dan sinkretisme dengan kata-kata indah.
Narasi Qur’ani vs Narasi Palsu
Jika narasi budaya diselubungi kata-kata “simbol,” “syukur,” atau “kebangkitan,” maka dakwah harus hadir dengan narasi yang lebih kuat: narasi Qur’ani.
- Ketika mereka berkata, “Bunga adalah simbol berkah,” maka kita katakan:“Berkah hanya datang dari Allah. Bukankah Allah berfirman, ‘Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.’ (QS. Al-A‘raf: 96).”
- Ketika mereka berkata, “Telur adalah simbol kehidupan baru,” maka kita jawab: “Simbol kehidupan baru bukan telur, tetapi shalat yang mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45).
- Ketika mereka berkata, “Sesajen di laut adalah bentuk syukur,” maka kita luruskan: “Syukur bukan dengan mempersembahkan pada laut, tetapi dengan mempersembahkan doa dan amal kepada Allah.”
Dengan kata lain, kita harus menjawab narasi palsu dengan narasi wahyu.
Mengapa Ini Mendesak?
Karena jika dakwah tidak hadir dengan narasi yang kuat, umat akan kalah oleh narasi indah yang menyesatkan. Generasi muda apalagi, mereka terbiasa menelan pesan singkat yang dikemas visual. Jika mereka tidak mendapatkan penjelasan jernih dari Qur’an dan Sunnah, mereka akan lebih percaya pada video singkat yang viral daripada kajian yang mendalam.
Maka, dakwah hari ini tidak bisa hanya menolak. Dakwah harus menawarkan cerita alternatif, cerita yang lebih kuat, lebih indah, tetapi lurus di atas aqidah.
Dan di sinilah pentingnya kebijaksanaan. Kita tidak ingin generasi muda tergesa-gesa mengambil jalan pintas: menolak tradisi secara frontal, mencaci di depan umum, lalu merasa sudah menunaikan kewajiban dakwah. Cara seperti ini justru akan melukai hati umat, memperbesar jurang perbedaan, dan akhirnya memecah belah kita sendiri.
Padahal Allah sudah mengingatkan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Dakwah bukanlah memusuhi, melainkan mengarahkan. Dakwah bukan menghina, melainkan mencegah dengan hikmah. Dakwah bukan mengutuk, melainkan memberi mau‘izhah hasanah yang menenangkan hati. Dengan cara inilah umat tidak merasa ditinggalkan, tetapi justru dirangkul menuju Islam yang murni.
Antara Warna dan Fondasi
Tradisi itu seperti warna. Ia memperindah hidup, menambah corak pada lembaran budaya bangsa. Warna-warni itu membuat masyarakat gembira, menyalakan rasa kebersamaan, memberi identitas pada daerah. Tanpa warna, hidup terasa kering.
Tetapi tauhid adalah fondasi. Ia bukan sekadar hiasan, melainkan tiang penyangga seluruh bangunan. Tanpa fondasi, semua warna hanyalah cat di dinding yang rapuh, menunggu waktu untuk runtuh.
Rumah boleh beraneka warna, boleh dihiasi dengan motif dan ornamen. Tetapi jika fondasinya retak, rumah itu akan roboh. Demikian pula umat: budaya boleh beraneka, tetapi aqidah jangan goyah.
Pertanyaan pentingnya adalah: maukah kita mengorbankan fondasi demi warna? Maukah kita membiarkan aqidah keropos hanya demi mempertahankan tradisi.
Dalam ilmu teknik konstruksi, bangunan dengan ornamen indah tidak akan bertahan jika pondasinya rapuh. Analogi ini sangat jelas: budaya boleh menjadi ornamen, tetapi tauhid adalah pondasi. Jika pondasi rusak, seindah apa pun ornamen hanya menunggu waktu untuk runtuh.
Jalan Pertengahan Dakwah
Di sinilah letak keseimbangan dakwah. Islam tidak datang untuk menghapus warna, tetapi untuk menjaga fondasi. Islam bukan musuh budaya, tetapi penjaga agar budaya tidak melampaui batas.
Ulama klasik, dari Ibn Taimiyyah, al-Ghazali, hingga Ibn Qayyim, sudah memperingatkan bahaya bid‘ah, khurafat, dan tasyabbuh. Ulama Nusantara seperti Buya Hamka, KH. Hasyim Asy‘ari, dan KH. Wahab Chasbullah pun menegaskan bahwa adat boleh berjalan, tapi bila bercampur dengan aqidah yang batil, ia harus ditolak. Semuanya sepakat: tauhid adalah garis merah.
Maka sikap kita jelas: dakwah harus memurnikan aqidah, tetapi tidak boleh memusuhi umat.
* Kita tegaskan bahwa budaya netral boleh dilestarikan.
* Kita luruskan bahwa tambahan ritual tidak boleh disakralkan.
* Kita ajak dengan narasi Qur’ani yang indah, bukan dengan teriakan yang melukai.
Karena dakwah bukan sekadar menolak, melainkan mengarahkan. Dakwah bukan memecah, melainkan merangkul. Dakwah bukan membuat umat saling curiga, melainkan menuntun mereka kembali pada jalan yang lurus.
Inilah jalan pertengahan yang harus ditempuh oleh Irsyadiyyin: tegas menjaga tauhid, lembut mendidik masyarakat. Dengan cara ini, tradisi tetap bisa hidup sebagai warna kehidupan, tetapi aqidah tetap kokoh sebagai fondasi iman.
Pada akhirnya, kita ingin umat menikmati indahnya budaya, tanpa kehilangan kemurnian Islam. Kita ingin mereka bangga pada warisan bangsa, tetapi lebih bangga lagi pada tauhid yang lurus. Karena hanya dengan tauhid yang murni, rumah Islam akan berdiri kokoh, meski diterpa badai zaman.
Wallahu a’lam
Depok, 27 September 2025