jogjanetwork.id 25 September 2025
Tragedi keracunan massal yang terjadi di beberapa wilayah terus menjadi sorotan nasional. Sebanyak 25 orang, termasuk 24 siswa dan satu guru di Ketapang, mengalami gejala muntah, sesak napas, dan demam setelah menyantap menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) berupa ikan hiu filet saus tomat, nugget ikan hiu, tahu goreng, oseng kol-wortel, serta buah melon. Insiden ini memicu kritik pedas dari ahli gizi dr.
Kasus ini bukan yang pertama bagi program MBG yang digulirkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sejak Januari 2025, dengan target menurunkan stunting dan memajukan ekonomi UMKM. Namun, kejadian di Ketapang menambah daftar panjang keracunan massal di berbagai daerah, dari Jawa Barat hingga Papua, yang menurut data Wikipedia mencapai belasan insiden sepanjang tahun ini. Sampai saat ini, tiga korban masih dirawat intensif di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang, sementara yang lain telah pulang dengan kondisi stabil. Pemerintah daerah menanggung seluruh biaya pengobatan, dan dapur penyedia makanan, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Mitra Mandiri 2, telah ditutup sementara menunggu hasil uji laboratorium dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kalbar.
Baca juga: Rentetan Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis
Kasus ini memperburuk citra MBG, yang seharusnya menjadi program unggulan untuk membangun sumber daya manusia unggul. Sejumlah orang tua siswa, seperti Dewi (ibu salah satu korban), menyuarakan kekecewaan: “Kami berharap anak dapat gizi baik, tapi malah jadi musibah.” Hingga Rabu malam (24/9), jumlah korban bertambah dari 16 menjadi 25 orang, dengan delapan kasus baru dilaporkan setelah makan malam. DPR mengharapkan pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG.
Kritik Pedas dr. Tan Shot Yen: Burger Bukan Pilihan, 80% Menu Harus Pangan Lokal
Di tengah hiruk-pikuk insiden Ketapang, suara kritis datang dari dr. Tan Shot Yen, M.Hum., ahli gizi senior yang viral setelah audiensi dengan Komisi IX DPR RI pada Senin (22/9). Dalam pidatonya yang direkam dan menyebar luas di media sosial, Tan “gebrak meja” saat mengkritik menu MBG yang didominasi makanan ultra-processed food (UPF) seperti burger dan spageti. “Sampai kapan anak-anak kita makan burger? Rasanya seperti karton, warnanya pink untuk lucu-lucuan. Ini bukan gizi seimbang, tapi malah menjauhkan generasi muda dari pangan asli Indonesia,” ujarnya dengan nada frustrasi, seperti dilaporkan Detik.com.
Tan menyoroti bahwa tepung terigu untuk burger berasal dari gandum impor, yang “tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia”, sementara etnis Melayu—mayoritas penduduk Indonesia—memiliki 80% intoleransi laktosa terhadap susu formula yang sering disajikan dalam MBG. “Anak Lhoknga hingga Papua diberi burger, padahal kita punya kekayaan lokal. Oh my God, ini salah kaprah!” tegasnya. Ia juga mengkritik kurangnya pengetahuan ahli gizi di lapangan, yang bahkan tak paham HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points), sistem pencegahan risiko pangan yang krusial untuk menghindari keracunan seperti di Ketapang.
Sebagai solusi, Tan mengusulkan alokasi 80% menu MBG dari pangan lokal yang sesuai budaya dan ketersediaan daerah. “Saya ingin anak Papua makan ikan kuah asam, anak Sulawesi kapurung, bukan cilok atau DIY sandwich yang tak bergizi. Ini bukan soal selera anak, tapi pendidikan gizi nasional,” katanya. Usulan ini sejalan dengan tujuan MBG untuk memberdayakan UMKM lokal, tapi Tan menekankan perlunya regulasi ketat agar program tak jadi “bencana kemanusiaan”. Pernyataannya langsung memicu diskusi di DPR, dengan anggota komisi berjanji evaluasi mendalam.
Reaksi publik beragam: Banyak netizen mendukung Tan sebagai “suara hati nurani gizi Indonesia”, sementara pengelola MBG membela bahwa menu divariasikan untuk selera anak. Namun, pasca-Ketapang, tekanan untuk reformasi semakin kuat. Badan Gizi Nasional (BGN) diharapkan segera merespons, agar MBG benar-benar jadi investasi masa depan, bukan ancaman kesehatan.
2 tanggapan untuk “Ahli Gizi Kritik Menu MBG, DPR Minta Evaluasi menyeluruh”