jogjanetwork.id 18 Juli 2025
Jakarta, Hari itu, ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dipenuhi suasana hening yang berat, saat vonis dijatuhkan terhadap Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal dengan Tom Lembong—sosok yang selama ini dikenal sebagai teknokrat jujur, ekonom handal, dan pelayan publik yang bersahaja.
Majelis hakim memutuskan Tom bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan, serta denda sebesar Rp750 juta, dengan tambahan hukuman kurungan 6 bulan jika denda itu tidak dibayar. Ini adalah putusan yang mengejutkan banyak pihak, bukan karena keputusannya semata, melainkan karena pribadi yang dijatuhi putusan itu—seorang yang dikenal luas karena integritas, kecerdasan, dan dedikasinya bagi negeri.
Dalam amar putusan, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika menyampaikan bahwa keputusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup mengaitkan Tom dalam kebijakan impor gula yang dinilai merugikan negara. Namun, hakim juga menyatakan secara terbuka bahwa Tom tidak terbukti menerima uang sepeser pun dari kebijakan tersebut. Bahkan barang pribadi milik Tom, seperti iPad dan Macbook, diperintahkan untuk dikembalikan karena tidak relevan sebagai barang bukti.
“Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi. Ia bersikap sopan, kooperatif, dan tidak pernah mempersulit proses hukum,” ujar hakim anggota Alfis Setiawan saat membacakan pertimbangan hukum.
Namun demikian, vonis tetap dijatuhkan. Ruang sidang menjadi senyap. Di luar gedung, puluhan pendukung yang sejak pagi menunggu, mulai bersuara:
“Bebas… Bebas… Bebaskan Tom Lembong sekarang juga!”
Teriakan yang bergema dari hati yang tidak percaya, bahwa seseorang seperti Tom bisa dijatuhi hukuman tanpa ada bukti bahwa ia memperkaya diri, apalagi mengkhianati jabatan yang diembannya.
Pengacara Tom, Ari Yusuf Amir, dengan suara tenang tapi tegas menyampaikan bahwa ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum. Ia menyoroti betapa beberapa bukti yang dijadikan dasar tuntutan dinilai lemah, dan tidak membuktikan keterlibatan langsung Tom dalam dugaan korupsi.
“Kami melihat bahwa ini bukan hanya perkara hukum, tapi perkara nurani. Ketika seseorang yang tidak memperkaya diri sendiri, yang justru ingin memperbaiki sistem, dihukum… maka ada yang harus dikaji lebih dalam. Kami akan pelajari putusan ini secara teliti,” ujar Ari usai sidang.
Tom sendiri tampak tenang saat keluar dari ruang sidang. Tidak ada amarah, tidak ada keluhan. Hanya keteduhan seorang pria yang telah lama terbiasa hidup dengan prinsip. “Saya menghormati proses hukum. Tapi saya akan berkonsultasi dengan tim hukum saya untuk menentukan langkah ke depan,” katanya singkat, sebelum berjalan pelan di antara kerumunan wartawan dan pendukungnya.
Hadiri dalam persidangan itu, seorang sahabat lama Tom, Anies Baswedan, ia duduk terdiam di sebelah Saut Situmorang, mantan Wakil Ketua KPK. Keduanya tak kuasa menyembunyikan duka. Saut menunduk, matanya berkaca.
Berkas perkara ini begitu tebal—lebih dari seribu halaman. Tapi yang dicari orang bukan hanya isi dari dokumen itu, melainkan ruh keadilan yang seharusnya menjadi nafas setiap pengadilan. Hakim memang tidak membacakan semua halaman, karena sudah dianggap “cukup terang”. Tapi di luar sana, banyak yang justru merasa semakin gelap.
Bagi sebagian besar masyarakat, Tom Lembong bukan hanya pejabat. Ia adalah cermin harapan akan pemerintahan yang bersih, birokrasi yang berintegritas, dan politik tanpa tipu daya. Maka ketika ia dijatuhi hukuman, banyak yang merasa bahwa harapan itu ikut direnggut.
Namun, seperti Tom sendiri, mereka tidak menyerah. Karena nurani tidak bisa dipenjara. Ia akan terus hidup, dalam suara, dalam doa, dalam ketulusan yang tidak bisa dibungkam.
Hukum bisa menjatuhkan vonis. Tapi hati rakyat yang jernih akan selalu tahu, siapa yang mencuri, dan siapa yang tulus mengabdi.
