Bunuh Diri: Katarsis Religius dan Keterikatan Dunia Modern

Kyai Abdul Muhaimin: Spiritualitas Hanya Dipakai Sebagai Katarsis

Kyai Abdul Muhaimin, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat

jogjanetwork.id 12 Agustus 2025

Di tengah derap cepat modernitas, ada sunyi yang tak terdengar batin. Sunyi yang lahir bukan dari kesepian ruang fisik, melainkan dari keterasingan batin—alienasi yang merayap diam-diam di benak manusia. Banyak yang tidak menyadarinya, hingga pada titik tertentu, tubuh masih hidup, tetapi jiwa seakan terkurung di ruang gelap yang tak bertepi.

Baca juga: Kajian Neurosains: Rajin Ibadah, Tapi Jiwa Masih Gelisah

Fenomena bunuh diri menjadi puncak tragis dari keterputusan ini. Menurut Kyai Abdul Muhaimin, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta,  otak manusia pada dasarnya dirancang untuk mencari makna dan keterhubungan—baik dengan sesama maupun dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Menurut neurosains, ketika koneksi itu terputus, sistem saraf mulai mengirimkan sinyal distress berkepanjangan. Sumbu HPA (Hypothalamus-Pituitary-Adrenal) bekerja tanpa henti, membanjiri tubuh dengan kortisol. Pada saat yang sama, pusat otak yang mengatur rasa damai—seperti korteks prefrontal medial dan sistem limbik—kehilangan keseimbangan.

“Namun, di tengah kondisi ini, sebagian orang mencari pelarian pada ritual agama. Ironisnya, agama yang seharusnya menjadi jalan spiritual sering kali hanya dipakai sebagai katarsis emosional,” kata Kyai Muhaimin dalam perbincangannya dengan jogjanetwork.id. Kyai yang juga budayawan ini, juga menyoroti populernya pseudo spiritual, ketika majelis-majelis dzikir sekedar katarsis emosional atau bahkan menjadi panggung rivalitas hegemoni tokoh dan kepentingan politik yang kosong dari getaran transendensi. Disitulah , kemudian majlis dzikir berubah menjadi sekedar ajang masturbasi spiritual.

Air mata yang tumpah saat sholat atau pengajian memang memberi kelegaan sementara, tapi jika tujuannya semata untuk melepaskan penat, bukan untuk memperdalam hubungan transenden, maka efeknya mirip seperti seseorang yang meminum obat pereda nyeri tanpa menyembuhkan sumber penyakitnya. Otak mendapatkan pelepasan dopamin sesaat, namun sirkuit pencarian makna (default mode network) tetap tak terhubung dengan pusat kedalaman spiritual.

READ  Beasiswa IKA UII: Menyalakan Api Kebermanfaatan untuk Negeri

Problem Modernitas

Menurut Kyai Muhaimin yang juga Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace, modernitas berperan seperti magnet raksasa yang memancarkan medan kuat untuk menjerat pikiran manusia. “Kecanggihan teknologi, kenyamanan instan, dan pencitraan gaya hidup membentuk loop keterikatan yang sulit diputus,” katanya. Sistem reward di otak—yang dipicu oleh likes di media sosial, notifikasi pesan, atau belanja online—mengalami overstimulasi. Dalam bahasa neurospiritual, ini menciptakan neural hijacking terhadap jalur yang seharusnya digunakan untuk kontemplasi dan rasa syukur.

Baca juga: Ketertarikan dan Keterikatan: Akar Masalah Kejiwaan

Keterikatan ini semakin menebal ketika makna hidup digeser oleh pencapaian material dan validasi eksternal. “Orang tidak lagi mengejar kedalaman rasa pada ruang spiritual, tapi kepuasan instan,” tambah Kyai Muhaimin. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan ini membuat otak kehilangan kemampuan alami untuk mengalami kekhusyukan dan keheningan batin.

Padahal, jika jalur neurospiritual difungsikan dengan benar—melalui kesadaran penuh, doa yang reflektif, dan keterhubungan dengan nilai-nilai abadi—maka otak akan mengaktifkan gelombang alfa dan teta yang memulihkan. Rasa keterhubungan dengan yang transenden bukan hanya menenangkan hati, tapi juga menyehatkan tubuh, menekan kadar hormon stres, dan memperkuat sistem imun.

Kita hidup di zaman di mana spiritualitas bukan sekadar ritual, melainkan kebutuhan biologis dan psikologis. “Jalan keluarnya bukan pada melarikan diri dari dunia modern, tetapi pada kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai abadi ke dalam hiruk pikuk kehidupan. Agar agama kembali menjadi jalan pulang, bukan sekadar ruang menangis,” pungkas Kyai Muhaimin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *