jogjanetwork.id 25 Juli 2025
Abdul Rahman Agu bukan pahlawan dalam definisi buku sejarah. Tapi di laut yang menggila hari itu, ia adalah rumah terakhir bagi seorang anak kecil yang hampir kehilangan dunia.
Baca juga: Pelatihan Jamu Di Lapas: Meracik Harapan, Meramu Masa Depan
Kisah ini bukan sekadar penyelamatan. Ini tentang manusia yang memilih cinta di saat takut. Tentang seseorang yang tak berpikir dua kali ketika nyawanya sendiri bisa saja melayang. Tentang suara hati yang berbicara lebih keras dari suara api dan gelombang.
Di dunia yang sering sibuk dengan kepentingan diri sendiri, Abdul menunjukkan bahwa kebaikan itu masih nyata. Ia hadir dalam pelukan seorang pria sederhana, di tengah laut, yang hanya ingin satu hal: Agar anak kecil itu tidak tenggelam.
Angin tak pernah memberi tanda bahwa ia akan berubah menjadi bencana. Begitulah hari itu, Minggu siang, 20 Juli 2025, ketika langit biru di atas perairan Pulau Talise tampak biasa saja. Laut tenang, penumpang KM Barcelona V tenang. Tidak ada firasat buruk. Tidak ada bayangan bahwa hari itu akan menggores takdir banyak jiwa—dan menulis satu kisah kemanusiaan yang nyaris luput dari sorotan: kisah Abdul Rahman Agu dan seorang balita bernama Lyora.
Laut Tempat Bernaung
Abdul hanyalah penumpang biasa. Bukan pelaut. Bukan penyelamat. Hanya pria sederhana dengan tas ransel di punggung dan ponsel di tangan. Ketika pengumuman pemeriksaan tiket terdengar, ia kembali ke tempat duduk di Dek 2, sama seperti yang lain. Tapi takdir berjalan cepat. Asap muncul. Kepanikan menjalar. Dan dalam waktu yang begitu singkat, kapal berubah menjadi kobaran api yang mengancam lebih dari 200 jiwa di dalamnya.
“Saya dengar ada asap di belakang. Insting saya cuma satu: cari tahu,” ujar Abdul lirih. Ia hidupkan siaran langsung di Facebook—bukan untuk sensasi, tapi semacam panggilan batin. Seolah ingin dunia tahu: tolong kami, lihat kami, kami butuh pertolongan.
Tapi laut tak menunggu. Api menyebar seperti kemarahan alam. Orang-orang berlarian. Anak-anak menjerit. Suara doa dan teriakan bercampur menjadi orkestra kesakitan. Abdul ikut dalam kekacauan itu, tapi satu hal yang ia lakukan berbeda: ia tidak lari sendiri. Ia berusaha menenangkan para penumpang.
Tapi ketika api sudah nyaris menyentuh tempat mereka berdiri, ia tahu: tak ada pilihan lagi. Laut satu-satunya tempat bernaung—meski tak menjanjikan keselamatan.
Dia terjun. Gelombang menyambut tubuhnya yang gemetar. Tapi saat tubuhnya terapung di atas ketidakpastian, ia mendengar suara yang membuat waktu seolah berhenti.
“Tolong… anak saya… saya sudah tak kuat…”
Ia menoleh. Di tengah arus dan kepanikan, ada seorang ibu muda, menggenggam erat seorang balita. Tangisannya bukan tangis biasa. Itu jeritan seorang ibu yang berdiri di antara hidup dan kematian anaknya.
Abdul berenang ke arahnya. Tanpa berpikir. Tanpa ragu. Tanpa bertanya nama. “Saya lihat matanya…” Wajah ibu itu seakan hendak berkata: tolong anakku, kalaupun saya tidak selamat, selamatkan anakku. Naluri seorang ibu yang rela menahan sakit demi si buah hati.
Balita itu—Lyora—berpindah ke pelukan Abdul. Tubuh kecil itu dingin, basah, dan menangis tanpa suara. Abdul memeluknya erat-erat. Ia tidak kenal siapa anak ini. Tapi di lautan yang seolah hendak menelan semuanya, hanya satu hal yang ia tahu: anak ini harus hidup.
“Saya peluk dia terus… Saya katakan, Adek tenang ya.”
Ponselnya sempat jatuh ke laut. Tapi seperti kisah dalam film, ponsel itu hidup kembali. “Saya juga bingung, padahal udah kena air laut. Tapi tetap nyala,” ujarnya. Mungkin itu bagian dari mukjizat kecil di tengah tragedi.
Laut terus mengombang-ambing tubuh mereka. Beberapa orang mulai lemas. Tapi Abdul tetap memeluk Lyora. Ia berteriak sekuat tenaga ke arah perahu yang melintas. Lima perahu nelayan mendekat. Harapan seperti matahari yang muncul dari balik mendung. Salah satu nelayan mendengar suaranya—dan menyelamatkan mereka.
Saat berada di perahu, tubuh Abdul masih menggigil. Bukan karena air. Tapi karena kesadaran: ia masih hidup. Dan Lyora, bocah yang tadi hampir tergelincir dari pelukan ibunya ke dasar laut, kini duduk di pelukannya dengan mata yang mulai tenang.
Mereka dibawa ke Pulau Gangga. Lalu ke Pelabuhan Munte. Basarnas mencatat nama-nama. Tapi tak ada catatan yang bisa sepenuhnya menuliskan rasa lega Abdul ketika melihat ibu Lyora memeluk anaknya lagi.