Dalam dunia yang semakin terkoneksi, data pribadi adalah komoditas paling berharga. Ironisnya, di negeri ini, justru data pribadi masyarakat dijadikan barang tukar paling murah dalam perjanjian bilateral. Terbaru, dalam konteks kerja sama ekonomi dengan Amerika Serikat, muncul fakta mencengangkan: Pemerintah Indonesia membuka kemungkinan menyerahkan data pribadi rakyatnya ke negeri Paman Sam. Dan ini bukan hanya soal etika, tapi juga soal pelanggaran hukum.

Baca juga: Negara Dijual Paket Lengkap, Termasuk Privasi Rakyat
UU Perlindungan Data Pribadi (PDP): Dilanggar dengan Sadar
Kusfiardi Sutan Marajo, Ketua Bidang Kajian DPP IKA UII, menegaskan bahwa penyerahan data pribadi ke Amerika adalah pelanggaran terhadap UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah diundangkan. UU ini mengamanatkan bahwa setiap data pribadi warga negara harus dilindungi dan penggunaannya dibatasi secara ketat hanya oleh pihak yang berwenang dan dengan izin pemilik data.
Namun apa yang terjadi? Pemerintah membuka peluang bagi pihak asing, termasuk Amerika, untuk mengakses data pribadi warga. Data itu meliputi NIK, foto wajah, dan bahkan biometrik, yang selama ini dikumpulkan tanpa opsi penolakan oleh warga—baik saat memesan tiket kereta, menginap di hotel, maupun mendaftar layanan publik dan privat lainnya.
Yang paling menakutkan, data tersebut tidak pernah benar-benar dilindungi secara domestik. Sudah ada banyak laporan kebocoran data: KTP elektronik, foto, hingga data biometrik beredar di dark web dan black market digital. Bahkan digunakan secara ilegal dalam kasus pinjaman online. Seseorang bisa tiba-tiba ditagih utang hanya karena datanya dipakai tanpa sepengetahuannya. Lalu, dengan kondisi keamanan digital yang rentan seperti itu, bagaimana mungkin pemerintah menyerahkan data itu ke luar negeri?
Resiprokal? Tidak Sama Sekali
Narasi yang dibangun oleh pemerintah adalah bahwa kerja sama ini untuk menurunkan tarif masuk produk-produk Indonesia ke pasar Amerika. Tapi Kusfiardi mengingatkan, “Nilai pertukaran ini sangat tidak sebanding.” Data pribadi bukan komoditas biasa. Tidak ada nilai ekonomis yang setara untuk menukar informasi pribadi rakyat—yang sekali bocor, tidak bisa ditarik kembali.
Baca juga: IKA UII Menjawab Tantangan Mendagri
Jika tarif impor tinggi adalah bentuk hambatan dagang, maka seharusnya negosiasi dilakukan di ranah tarif. Mengorbankan kedaulatan digital demi pasar ekspor adalah bentuk kelemahan strategi kebijakan luar negeri. Kusfiardi melihat kesadaran akan kebijakan resiprokal (resiprocal policy) pemerintah sangat lemah. Amerika tidak mungkin memberikan data warganya kepada Indonesia dalam skema serupa.
“Akan Digunakan Secara Hati-Hati” Tidak Bisa Jadi Jaminan
Sering kali terdengar janji-janji: data akan digunakan dengan hati-hati, tidak akan disalahgunakan, hanya untuk tujuan tertentu. Tapi publik tahu, janji tanpa sistem kontrol dan akuntabilitas adalah omong kosong. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pengawasan terhadap pemanfaatan data sangat lemah. Bahkan di dalam negeri saja data bocor, apalagi jika berada di tangan asing.
Masyarakat Acuh, DPR Harus Bersuara
Salah satu ironi terbesar adalah sikap publik. Di tengah gempuran media sosial, banyak orang tak lagi peduli pada pentingnya perlindungan data pribadi. Mereka menyerahkan akses kamera, kontak, lokasi, dan bahkan data wajah mereka ke aplikasi tanpa pikir panjang. Dalam kondisi seperti ini, fungsi pengawasan harus dikembalikan ke lembaga legislatif.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mengambil sikap tegas. Ini bukan hanya soal kebijakan luar negeri atau ekspor. Ini tentang kedaulatan data, hak asasi digital warga negara, dan keberanian membela undang-undang yang sudah dibuat sendiri. Jika DPR membiarkan, maka mereka adalah bagian dari pelanggaran itu.
Menjaga Data adalah Menjaga Martabat Bangsa
Bangsa yang besar adalah bangsa yang melindungi warganya, tidak menjualnya secara murah hanya demi angka ekspor. Data pribadi adalah bagian dari martabat manusia. Menjaga kerahasiaan dan kedaulatannya adalah bentuk tertinggi penghormatan terhadap rakyat.
Ditegaskan oleh Ardi, sudah cukup kita menjadi pasar dan ladang eksploitasi. Jika benar pemerintah melanjutkan kerja sama penyerahan data ke pihak asing, maka jelas mereka bukan hanya abai, tapi secara sadar melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan oleh mereka sendiri.