Di Tengah Kasus Keracunan Siswa, DPR Sahkan Anggaran MBG

Di balik gegap gempita sidang anggaran negara, satu program menjadi sorotan utama: Makan Bergizi Gratis (MBG). DPR baru saja mengetok palu menyetujui APBN 2026 dengan alokasi fantastis Rp 335 triliun untuk program ini. Angka yang membuat banyak mata terbelalak, sekaligus melahirkan ekspektasi besar.

Baca juga: Menguat Desakan Penghentian Program Makan Bergizi Gratis

Di atas kertas, MBG menjanjikan banyak hal: meningkatkan gizi anak sekolah, ibu hamil, dan balita; memberdayakan UMKM lokal; hingga menggerakkan ekonomi rakyat kecil. Namun di lapangan, cerita berbeda masih terus muncul. Kasus keracunan terbaru di Kalimantan Barat menjadi cermin betapa ambisi besar seringkali berbenturan dengan realitas yang keras.

Ketapang: Harapan yang Berubah Jadi Ketakutan

Selasa (23/9/2025) seharusnya menjadi hari biasa bagi siswa SDN 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang. Di meja makan, sudah tersaji menu MBG: nasi putih, nugget ikan hiu filet saus tomat, tahu goreng, oseng kol wortel, dan potongan melon segar. Sekilas, tak ada yang janggal.

Baca juga:Rentetan Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis

Namun beberapa menit setelah santapan usai, ruang kelas berubah panik. Satu per satu siswa mengeluh sakit perut, muntah, hingga sesak napas. Dalam hitungan jam, jumlahnya membengkak menjadi belasan. “Anak-anak terlihat pucat, ada yang sampai lemas tak bisa berdiri,” tutur Kepala Sekolah Dewi Hardina Febriani dengan nada getir.

Pemeriksaan awal justru menyingkap kenyataan pahit: nugget ikan hiu berbau menyengat, sayur kol berlendir—pertanda kuat makanan tidak layak konsumsi. Agus Kurniawi, Kepala Regional MBG Kalbar, menyebut faktor menu juga berperan. “Ikan hiu bukan bahan yang umum dikonsumsi siswa. Apalagi jika kualitasnya menurun, potensi risikonya makin besar,” jelasnya.

READ  Ahli Gizi Kritik Menu MBG, DPR Minta Evaluasi menyeluruh

Akibat insiden itu, kepala dapur penyedia, M Yoga, langsung dinonaktifkan. Tapi keputusan cepat itu tak serta-merta menghapus keresahan publik.

Anggaran Fantastis, Risiko yang Sama

Angka Rp 335 triliun bukan sekadar nominal. Ia melambangkan taruhan besar pemerintah terhadap masa depan generasi. Purbaya, salah satu pengampu program, menegaskan MBG bukan sekadar distribusi makanan, melainkan instrumen ekonomi kerakyatan. “UMKM lokal harus menjadi motor utama dalam rantai pasok ini,” katanya.

Namun pertanyaan publik tetap menggantung: untuk apa anggaran sebesar itu, jika anak-anak masih harus menanggung risiko sakit akibat makanan basi? Janji pemerintah tentang target “zero accident” kini menjadi ujian berat.

Tantangan di Balik Visi Mulia

Kasus Ketapang hanyalah satu dari rangkaian insiden yang menjadi alarm keras. Keberhasilan MBG tidak cukup diukur dari anggaran jumbo atau visi mulia, tetapi dari detail kecil yang menyentuh langsung ke meja makan siswa.

Mulai dari pemilihan bahan pangan yang sesuai selera lokal, standar higienitas dapur yang tak bisa ditawar, hingga rantai distribusi yang menjamin makanan tetap segar. Setiap mata rantai yang lalai bisa berujung tragedi.

MBG adalah investasi jangka panjang—untuk gizi, kesehatan, bahkan masa depan bangsa. Tapi publik tahu, investasi sebesar itu hanya berarti jika eksekusinya rapi, disiplin, dan bebas kompromi.

Harapan besar kini menanti jawaban nyata. Menu bergizi seharusnya menjadi sumber tenaga dan tawa di ruang kelas, bukan berubah jadi kisah pilu di ruang perawatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *