jogjanetwork.id 3 September 2025
Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia yang memanas akhir-akhir ini, publik merindukan sosok pemimpin yang tegas, cepat tanggap, dan tidak ragu-ragu dalam menghadapi situasi genting. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) di era Presiden Joko Widodo, sering kali menjadi simbol “sat-set” – istilah gaul yang menggambarkan kecepatan dan ketegasan dalam bertindak. Saat negara dilanda krisis, Mahfud tak pernah absen: ia muncul di depan publik, memimpin koordinasi, membentuk tim investigasi, dan memberikan penjelasan yang transparan.
Baca juga: Siapa Biang Kerok Amuk Massa? Aktivis HAM Bilang Begini
Namun, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah berjalan hampir setahun sejak dilantik pada Oktober 2024, kita melihat kontras yang mencolok. Menteri-menteri di bidang hukum dan keamanan tampak lambat, bahkan terkesan absen, dalam menangani isu-isu krusial yang menyita perhatian publik. Hanya Kapolri dan Panglima TNI yang terlihat proaktif.
Di tengah kondisi Indonesia terkini, yang dipenuhi gelombang protes massal dan ancaman ketidakstabilan, semakin membuat kita “kangen” pada gaya Mahfud yang proaktif. Tulisan ini akan mengenang tindakan Mahfud di masa lalu, tanpa bermaksud membandingkan dengan situasi saat ini, hanya berupaya mengkritisi peran menteri-menteri Prabowo yang dianggap tidak mampu bertindak cepat seperti pendahulunya.
Tindakan Mahfud MD: Simbol Ketegasan di Tengah Krisis
Mahfud MD menjabat sebagai Menko Polhukam dari Oktober 2019 hingga Januari 2024, periode yang penuh gejolak mulai dari pandemi COVID-19 hingga isu-isu sosial-politik yang memicu kerusuhan. Gaya kepemimpinannya yang “sat-set” tercermin dalam beberapa kasus besar yang menyita perhatian publik, di mana ia tidak hanya bertindak sebagai koordinator, tapi juga sebagai juru bicara pemerintah yang tegas dan transparan.
Ambil contoh gelombang protes Omnibus Law (UU Cipta Kerja) pada Oktober 2020. Saat itu, ribuan demonstran dari kalangan buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil turun ke jalan di berbagai kota, menolak undang-undang yang dianggap merugikan hak buruh dan lingkungan. Protes ini berujung pada kerusuhan, dengan korban luka dan kerusakan fasilitas umum. Mahfud MD langsung tampil di depan publik, memimpin konferensi pers bersama menteri-menteri terkait.
Ia menjelaskan posisi pemerintah, menekankan bahwa banyak isu dipicu oleh hoaks, dan mendukung aksi damai sambil mengecam elemen anarkis. Lebih dari itu, Mahfud memberikan instruksi tegas kepada aparat keamanan: jangan bawa peluru tajam, prioritaskan pengamanan tanpa kekerasan, dan tindak tegas provokator. Tindakan Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini mampu meredakan ketegangan, dan juga menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia (HAM), meskipun kritik dari aktivis tetap ada soal dugaan kekerasan polisi.
Kanjuruhan Hingga Sambo
Publik juga masih ingat Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022, yang menewaskan lebih dari 135 suporter sepak bola akibat kerusuhan dan penggunaan gas air mata oleh polisi. Ini menjadi salah satu tragedi olahraga terburuk di dunia. Mahfud MD yang terkenal berani, jujur dan tegas ini, lagi-lagi “sat-set“: ia memimpin rapat darurat dengan Panglima TNI, Kapolri, dan pejabat terkait, menghentikan saling lempar tanggung jawab antara PSSI dan aparat.
Ia membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang ia pimpin sendiri, melibatkan akademisi, aktivis HAM, dan elemen masyarakat. Hasil investigasi dilaporkan langsung ke Presiden, termasuk rekomendasi reformasi sepak bola, penetapan tersangka, dan sanksi. Pemerintah juga memberikan santunan korban, dan Komnas HAM menetapkan insiden ini sebagai pelanggaran HAM biasa. Meski implementasi rekomendasi belum sempurna, tindakan Mahfud menunjukkan kecepatan dalam investigasi dan akuntabilitas.
Tak hanya itu, Mahfud juga aktif dalam kasus-kasus lain seperti pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo (2022), di mana ia mendorong transparansi dan vonis hukuman mati tanpa pandang bulu. Ia juga memprioritaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu seperti Semanggi dan Tanjung Priok, serta mengejar aset negara dari kasus BLBI yang melibatkan korupsi triliunan rupiah. Bahkan menjelang Pemilu 2024, Mahfud mendorong pengawasan radikalisme dan isu tanah adat tanpa stigmatisasi. Gaya “sat-set“-nya ini membuat publik merasa ada pegangan di tengah krisis, meskipun kritik soal ketidaktegasan pemerintah secara keseluruhan tetap ada.
Kondisi Indonesia Terkini: Gelombang Protes dan Ancaman Ketidakstabilan
Memasuki September 2025, Indonesia sedang menghadapi situasi genting yang mirip dengan masa lalu, tapi dengan skala yang lebih besar. Gelombang unjuk rasa dan kerusuhan yang dimulai sejak Agustus 2025 telah menyita perhatian nasional dan internasional. Latar belakangnya? Pembunuhan Affan Kurniawan yang memicu tuntutan rakyat, termasuk 17 poin mendesak yang harus dipenuhi sebelum 5 September 2025, seperti reformasi agraria, perlindungan buruh, dan penanganan kekerasan aparat. Protes ini melibatkan berbagai kelompok: mahasiswa dari BEM SI dengan aksi “Indonesia Cemas Jilid”, buruh, hingga Aliansi Perempuan Indonesia yang menyoroti kekerasan aparat dan tata kelola negara.
Situasi semakin memanas dengan indikasi makar dan terorisme, kerusuhan yang merusak fasilitas umum, dan wacana darurat militer yang dikritik karena berpotensi membatasi ruang gerak masyarakat. Dampaknya luas: bisnis terganggu, dengan Kadin meminta aparat segera stabilkan keamanan karena aksi anarkis memukul industri. Selain itu, isu hukum dan keamanan lain seperti serangan terhadap pembela HAM (30 kasus di paruh pertama 2025), penyiksaan seksual, dan revisi UU TNI yang dianggap membahayakan supremasi sipil, semakin memperburuk citra penegakan hukum. Kejahatan meningkat, tapi penyelesaian perkara menurun, menunjukkan krisis integritas di lembaga penegak hukum.
Di tengah ini, publik menunggu respons cepat dari pemerintah. Namun, justru muncul kritik bahwa kebijakan seperti pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan, program Makan Bergizi Gratis yang amburadul, serta keterlibatan militer berlebih, memperburuk situasi. Ini kontras dengan era Mahfud, di mana krisis ditangani dengan koordinasi cepat dan transparan.
Peran Menteri-Menteri Prabowo: Lambat dan Kurang Tegas
Di kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran, bidang hukum dan keamanan dibagi menjadi dua: Budi Gunawan sebagai Menko Bidang Politik dan Keamanan, serta Yusril Ihza Mahendra sebagai Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Ada juga Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan HAM, yang baru-baru ini dikritik Mahfud MD sendiri soal usulan ampuni koruptor lewat denda damai – ide yang dianggap salah dan berpotensi kolusi.
Sayangnya, di tengah krisis 2025, menteri-menteri ini tampak lambat bertindak. Budi Gunawan, yang seharusnya menjadi koordinator utama keamanan, dikritik karena “hilang” selama demonstrasi besar-besaran yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan. Tidak ada pernyataan resmi cepat, tidak ada rapat darurat yang dipublikasi, padahal tugasnya mengoordinasikan Polri dan TNI. Ini kontras dengan Mahfud yang langsung memimpin konferensi pers dan membentuk tim. Yusril Ihza Mahendra juga dikritik karena fokusnya lebih pada isu administratif, sementara kasus HAM lambat ditangani.
Merindukan Menteri Yang Cepat Tanggap
Kritik publik semakin tajam: kabinet Prabowo dianggap “mandul”, dengan menteri lebih sibuk soal anggaran daripada road map HAM dan keamanan. Pernyataan Prabowo soal makar justru dianggap tidak menyentuh akar masalah, malah berisiko menyulut eskalasi. Bahkan, ada seruan mundur menteri peninggalan Jokowi dan reformasi Polri. Ini menunjukkan ketidakmampuan para pembantu Prabowo untuk bertindak cepat, membuat rakyat semakin resah.
Kangen pada “sat-set“-nya Mahfud MD bukan sekadar nostalgia, tapi refleksi atas kebutuhan kepemimpinan yang proaktif di bidang hukum dan keamanan. Di era Prabowo, di mana isu seperti protes massal dan krisis HAM mendominasi, menteri-menteri seperti Budi Gunawan dan Yusril perlu belajar dari Mahfud: cepat koordinasi, transparan, dan fokus pada akar masalah. Tanpa itu, Indonesia berisiko semakin tidak stabil. Presiden Prabowo harus evaluasi kabinetnya, agar visi Merah Putih tidak hanya slogan, tapi aksi nyata. Rakyat butuh pemimpin yang “sat-set“, bukan yang lambat dan absen di saat genting.