Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal

jogjanetwork.id 11 September 2025

Kathmandu, ibu kota Nepal, yang biasanya dikenal dengan kuil-kuil kuno dan pegunungan Himalaya yang memesona, kini menjadi pusat gejolak politik terbesar dalam beberapa dekade. Pada September 2025, negara kecil di Asia Selatan ini diguncang oleh protes besar-besaran yang dipimpin oleh generasi muda, yang menamakan diri mereka “Gen Z.” Kemarahan mereka, yang awalnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang kontroversial, dengan cepat berubah menjadi ledakan kemarahan nasional, meninggalkan jejak kehancuran, pengunduran diri perdana menteri, dan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi Nepal.

Baca juga: Polisi Didesak Gali Aktor Intelektual Aksi 25–31 Agustus

Kerusuhan Berawal dari Larangan Media Sosial dan Tuduhan Korupsi

Pada Senin, 8 September 2025, ribuan anak muda turun ke jalan-jalan Kathmandu, tepatnya di kawasan Maitighar, sebuah persimpangan ikonik di dekat monumen Maitighar Mandala. Protes ini dipicu oleh dua isu utama: larangan pemerintah terhadap 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, dan Snapchat, serta tuduhan korupsi yang telah lama mengakar di kalangan elite politik Nepal. Larangan media sosial, yang diberlakukan pada 4 September 2025, dianggap sebagai upaya pemerintah untuk membungkam kritik terhadap korupsi dan nepotisme yang merajalela.

Menurut laporan, kebijakan ini diumumkan dengan alasan bahwa platform-platform tersebut tidak mematuhi aturan registrasi di bawah Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi. Namun, bagi generasi muda Nepal, yang sangat bergantung pada media sosial untuk berkomunikasi—terutama dengan keluarga yang bekerja di luar negeri—larangan ini dianggap sebagai bentuk sensor dan pelanggaran kebebasan berekspresi.

Aayush Basyal, seorang mahasiswa berusia 27 tahun yang ikut serta dalam protes, menggambarkan demonstrasi ini sebagai “belum pernah terjadi sebelumnya” karena jumlah pesertanya yang besar dan ketiadaan afiliasi politik yang jelas. “Saya tidak melihat bendera partai politik apa pun. Ini murni kemarahan rakyat,” ujarnya kepada Al Jazeera.

READ  Aksi Demonstrasi, Apakah Sama Dengan Anarkis

Isu Korupsi

Namun, protes yang dimulai secara damai dengan slogan-slogan seperti “Matikan korupsi, bukan media sosial” dan “Pemuda melawan korupsi” dengan cepat berubah menjadi kekerasan. Massa menyerbu gedung parlemen di Kathmandu, merusak barikade, dan menghadapi polisi yang menggunakan gas air mata, peluru karet, dan—menurut Amnesty International—peluru tajam. Sedikitnya 19 demonstran tewas, dengan lebih dari 400 orang terluka dalam bentrokan dengan aparat keamanan. Pemerintah memberlakukan jam malam di Kathmandu dan kota-kota lain, sementara militer dikerahkan untuk mengendalikan situasi.

Kemarahan tidak hanya ditujukan pada kebijakan media sosial, tetapi juga pada ketimpangan ekonomi dan korupsi sistemik. Dengan tingkat pengangguran kaum muda di atas 20 persen dan ketergantungan Nepal pada remitansi yang menyumbang lebih dari 30 persen PDB, banyak anak muda merasa terjebak dalam sistem yang tidak menawarkan harapan. Media sosial menjadi alat bagi mereka untuk mengungkap kekayaan pejabat pemerintah dan keluarga mereka, dengan tagar seperti #Nepokids dan #NepoBabies yang sempat viral sebelum larangan diberlakukan.

Gedung Dibakar, Elite Politik Diserang, dan Pesan di Tembok Parlemen

Gelombang protes dengan cepat meluas ke seluruh Nepal, mencakup kota-kota seperti Biratnagar, Butwal, Pokhara, Jhapa, Damak, dan Itahari. Demonstrasi tidak lagi hanya tentang media sosial, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap elit politik yang dianggap korup dan tidak bertanggung jawab. Gedung-gedung pemerintah, termasuk kompleks administratif utama Singha Durbar, menjadi sasaran amukan massa.

Parlemen Nepal, yang menjadi pusat protes, dibakar, meninggalkan dinding-dindingnya menghitam. Di sana, para demonstran meninggalkan coretan yang bertuliskan, “Kalian telah memilih lawan yang salah,” ditandatangani dengan nama “Gen Z,” sebagai pesan perpisahan yang penuh kemarahan kepada pemerintah yang runtuh.

READ  Serangan Israel ke Suriah, Meningkatkan Ketegangan Dunia

Kerusuhan juga menyasar kediaman para politikus. Rumah mantan Perdana Menteri KP Sharma Oli, yang telah empat kali menjabat dan memimpin Partai Komunis Nepal (Unified Marxist-Leninist), diserang dan dibakar massa pada Selasa, 9 September 2025. Oli, yang berusia 73 tahun, mengundurkan diri pada hari yang sama, menyatakan bahwa langkah tersebut diambil untuk “membuka jalan bagi solusi politik.” Namun, hingga kini, keberadaannya tidak diketahui, memicu spekulasi di kalangan publik.

Baca juga: Lembaga HAM Serukan Pembebasan Demonstran

Militer Ambil Alih

Helikopter militer dikerahkan untuk mengevakuasi para menteri dari kediaman mereka yang terkepung massa. Kediaman Perdana Menteri sendiri tidak luput dari penggeledahan. Rekaman yang beredar di media sosial menunjukkan serangan terhadap mantan Perdana Menteri Sher Bahadur Deuba, istrinya yang juga Menteri Luar Negeri, Arzu Rana, serta Menteri Keuangan Bishnu Paudel. Pusat perbelanjaan seperti Bhat-Bhateni, salah satu jaringan ritel terkenal di Nepal, juga menjadi sasaran, dengan asap membumbung dari bangunan yang dibakar.

Sosiolog Dipesh Ghimire menyebut protes ini sebagai “perkembangan unik” dalam sejarah Nepal. Menurutnya, Gen Z telah berhasil “mengemas ulang” isu korupsi dan ketimpangan dengan cara yang resonan dengan generasi mereka, menggunakan media sosial sebagai alat untuk memobilisasi dan menyuarakan kemarahan. Larangan media sosial, katanya, hanya memindahkan frustrasi dari dunia maya ke dunia nyata.

Menuju Masa Depan yang Tidak Pasti

Protes Gen Z di Nepal telah mengguncang fondasi politik negara ini. Pengunduran diri KP Sharma Oli dan pencabutan larangan media sosial pada 9 September 2025 menjadi kemenangan awal bagi para demonstran, tetapi banyak yang percaya bahwa ini hanyalah permulaan. Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Nepal (NHRC) mendesak pemerintah untuk menahan diri dan menegaskan bahwa penggunaan kekuatan mematikan terhadap demonstran melanggar konstitusi Nepal dan hukum internasional.

READ  Lembaga HAM Serukan Pembebasan Demonstran

Namun, kerusuhan ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang stabilitas demokrasi di Nepal. Dengan gedung-gedung pemerintah yang terbakar, politikus yang diserang, dan militer yang mengambil alih bandara internasional Tribhuvan, negara ini berada di persimpangan jalan. Apakah protes ini akan membawa reformasi yang diidamkan oleh generasi muda, atau justru mendorong Nepal menuju kekacauan yang lebih dalam? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang jelas: Gen Z Nepal telah menunjukkan bahwa mereka bukan lagi penonton pasif dalam politik negara mereka.

2 tanggapan untuk “Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *