IKA UII Jawab Mendagri Ciptakan Pilkada Berdaulat

Dalam perjalanan demokrasi kita, Pemilukada bukan sekadar proses memilih pemimpin daerah—ia adalah jantung dari kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Namun sayangnya, dalam praktiknya, Pemilukada sering kali menjauh dari harapan ideal. Uang lebih berkuasa dari visi, kepentingan menggantikan nurani, dan sistem yang seharusnya menjadi alat rakyat, justru melahirkan jarak. Atas kegelisahan inilah, Dewan Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (DPP IKA UII) menjawab tantangan dari Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, untuk membantu mendesain Pemilukada yang lebih baik dari sebelumnya—yang bukan hanya demokratis di atas kertas, tetapi benar-benar berpihak kepada rakyat.

Baca juga: IKA UII Pelatihan Meracik Jamu di Lapas Perempuan

Sebagai bentuk tanggapan, DPP IKA UII melalui Bidang Kajian menyelenggarakan forum diskusi terbuka dalam format Focus Group Discussion (FGD) pada Rabu, 18 Juni 2025. Forum ini menjadi ruang berbagi keresahan, menggali harapan, dan merumuskan masa depan Pemilukada Indonesia. Dengan tema yang menggugah, “Evaluasi Pelaksanaan Pemilukada di Era Reformasi: Upaya Menemukan Format Pelaksanaan Pemilukada yang Demokratis Demi Tegaknya Kedaulatan Rakyat”, forum ini menjadi titik balik—sebuah ikhtiar kolektif agar demokrasi tidak semakin menjauh dari rakyat.

Menyatukan Suara Hati Bangsa

FGD ini bukan sekadar kumpulan data atau rapat penuh angka. Ia adalah ruang batin yang menampung suara-suara yang selama ini mungkin hanya menjadi bisikan: suara penyelenggara yang kewalahan, suara pengawas yang nyaris tak didengar, suara rakyat yang kecewa karena proses demokrasi terlalu mahal untuk dijangkau, dan suara calon pemimpin yang tak berpartai, namun memiliki niat tulus membangun daerahnya.

Dipandu oleh Dr. Jamaludin Ghafur dan Zuhad Aji Firmantoro, FGD menghadirkan para narasumber dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu. Ada Idham Kholid dari KPU RI, yang mengingatkan bahwa laporan dana kampanye masih amburadul dan tumpang tindih antara tahapan Pemilu dan Pilkada memperkeruh proses. Ada pula Rahmat Bagja dari Bawaslu RI, yang menyampaikan keresahannya akan hoaks yang membanjiri media sosial, dan bagaimana tantangan geografis membuat pengawasan di lapangan menjadi sangat berat.

READ  Abolisi Tom Lembong: Kemenangan Akal Sehat

Prof. Dr. Ni’matul Huda, seorang pakar hukum tata negara, mengingatkan dengan nada getir soal dominasi petahana dan fenomena calon tunggal yang membuat Pemilukada terasa “dibuat-buat”. Ia juga mengkritik keras kartelisasi partai yang semakin menutup ruang bagi rakyat biasa untuk maju menjadi pemimpin. Sementara itu, Prof. Jaka Sriyana, seorang ekonom, mengajukan gagasan realistis: jika negara tak mampu membiayai pilkada langsung secara menyeluruh, maka pilkada asimetris—dengan metode pemilihan yang berbeda berdasarkan kemampuan fiskal daerah—perlu dipertimbangkan.

Baca juga: Jelang Putusan Tom Lembong, Mantan Ketua Komisi Yudisial Harap Hakim Menegakkan Integritasnya

Dari sudut pandang pemantau pemilu, Titi Anggraeni dari Perludem menegaskan bahwa pilkada langsung memang membuka ruang partisipasi, tetapi di sisi lain, ia rawan menjadi ajang transaksional. Maka, menurutnya, asimetri bisa menjadi solusi yang adil sekaligus adaptif. Dan dari suara kepala daerah, Bursah Zarnubi menegaskan bahwa partai politik harus dibenahi dari hulu: kaderisasi harus kembali ke panggilan nurani, bukan hanya titipan dinasti.

Menyusun Jalan ke Depan

Dari hasil FGD ini, DPP IKA UII merumuskan beberapa catatan penting yang akan menjadi dasar penyusunan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. FGD ini tidak menyimpulkan secara mutlak mana sistem yang lebih baik—langsung atau tidak langsung—tetapi menyadarkan kita bahwa yang paling utama adalah bagaimana rakyat tetap menjadi pemilik sah dari setiap proses demokrasi. Bahwa kedaulatan rakyat bukan hanya semboyan, tapi harus menjadi kenyataan.

Meski tak semua narasumber hadir, namun suasana diskusi tetap hidup. Antusiasme peserta tinggi, menandakan betapa banyak yang peduli terhadap nasib demokrasi kita. Sebagian besar peserta masih meyakini bahwa pilkada langsung adalah bentuk ideal dalam menjaga kedaulatan rakyat. Namun, suara minoritas seperti yang disampaikan Prof. Jaka tentang perlunya pilkada asimetris di daerah dengan kapasitas fiskal rendah juga tidak bisa diabaikan. Ia justru memperkaya perspektif dan mendorong kita untuk lebih realistis tanpa kehilangan idealisme.

READ  Korupsi Wakil Rakyat : Harga Sebuah Citra

Baca juga: Runtuhnya Kemandirian Hakim: Simbol Krisis Keadilan

    Kusfiardi Sutan Marajo, Ketua Bidang Kajian DPP IKA UII menyatakan dari hasil FGD tersebut akan disiapkan dokumen rekomendasi kebijakan berbasis hasil diskusi dan kajian, yang akan disampaikan kepada Kemendagri dan lembaga terkait, agar reformasi Pemilukada tidak hanya berhenti di wacana.

    Harapan dan Doa di Tengah Jalan Demokrasi

    FGD ini barangkali hanya secuil dari langkah panjang reformasi demokrasi Indonesia. Namun seperti pepatah bijak mengatakan, “seribu langkah dimulai dari satu niat yang tulus”. DPP IKA UII telah memulai langkah kecil itu—melangkah dengan hati, bukan hanya akal. Karena kami percaya, demokrasi yang sehat bukan dibentuk oleh sistem semata, tetapi oleh manusia-manusia yang jujur, sadar, dan tulus mencintai bangsanya.

    Semoga diskusi ini menjadi bara kecil yang menyalakan obor perubahan. Semoga para pemimpin mendengar suara hati rakyat, dan semoga Pemilukada ke depan benar-benar menjadi milik rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat—bukan sekadar jargon politik lima tahunan.

    Dari ruang Zoom yang sederhana, lahir satu asa besar: demokrasi yang lebih adil, berdaulat, dan manusiawi.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *