Dunia telah berubah. Hati nurani umat manusia mulai bersuara lebih keras dari peluru dan propaganda. Pada Jumat, 26 Juli 2025, sebuah peristiwa bersejarah mengguncang peta geopolitik global. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyatakan bahwa pemerintahnya akan secara resmi mengakui Negara Palestina. Sebuah langkah yang bukan hanya bersifat simbolik, melainkan juga etis—sebuah pernyataan bahwa cukup sudah ketidakadilan yang selama ini didiamkan.
Baca juga Gaza Dibantai dan Dunia Memilih Bungkam
Pengakuan ini datang hanya sehari setelah Prancis, melalui pernyataan resmi pemerintahnya, mengambil sikap serupa. Tidak lagi berdiri dalam kebisuan seperti tahun-tahun sebelumnya, dua kekuatan besar Eropa kini memutuskan untuk berdiri di sisi kemanusiaan. Di balik keputusan tersebut, terdapat desakan kuat dari akar rumput, terutama anggota dan simpatisan Partai Buruh Inggris, yang selama ini menyaksikan penderitaan rakyat Palestina dengan getir.
Langkah Inggris dan Prancis ini tidak bisa dipandang remeh. Ini adalah indikasi nyata bahwa dunia tidak lagi bisa dibungkam oleh dominasi narasi tunggal dari Amerika Serikat dan Israel. Ini adalah penanda bahwa solidaritas tidak lagi hanya milik pinggiran, tapi kini mulai tumbuh di jantung kekuasaan global.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Israel tampak semakin gelisah. Upaya negosiasi damai yang dimediasi oleh Washington untuk menghentikan perang di Gaza, membebaskan sandera, dan mengalirkan bantuan kemanusiaan—semuanya kini berujung pada jalan buntu. Presiden Donald Trump yang awalnya menggembor-gemborkan harapan kesepakatan, kini justru memicu kontroversi dengan ucapannya yang dingin dan tanpa empati.
“Saya pikir mereka (Hamas) ingin mati, dan itu sangat, sangat buruk,” ujar Trump, dalam konferensi pers yang lebih terdengar seperti pernyataan perang daripada upaya damai. Kalimat itu bukan hanya membekukan harapan, tapi juga seperti menabuh genderang pembantaian, memberi ruang bagi Israel untuk terus membombardir Gaza tanpa batas moral.
Kegagalan negosiasi ini bukan tanpa sebab. Israel bersikeras bahwa pelucutan senjata Hamas adalah syarat mutlak, bahkan sebelum ada jaminan kemanusiaan bagi rakyat sipil di Gaza. Pendekatan keras kepala ini memperlihatkan bahwa perdamaian bukanlah tujuan utama, melainkan sekadar alat diplomatik untuk mempertahankan supremasi.

Sementara itu, dunia menyaksikan dengan mata basah—anak-anak Gaza kelaparan, rumah-rumah runtuh, dan langit dipenuhi suara drone dan misil. Gambar-gambar ini bukan sekadar berita; ia menembus ke dalam jiwa siapa pun yang masih punya nurani. Dan dunia mulai bertanya: sampai kapan penderitaan ini dibungkus atas nama “pertahanan diri”?
Dengan bertambahnya negara-negara yang secara resmi mengakui Palestina sebagai sebuah negara yang sah, posisi Israel dan Amerika Serikat kini semakin terisolasi secara moral dan diplomatik. Keangkuhan politik luar negeri mereka, yang selama ini didukung oleh lobi dan kekuatan militer, kini mulai runtuh di hadapan kekuatan opini publik internasional.
Di tengah runtuhnya harapan diplomasi klasik dan meningkatnya kepercayaan global terhadap solusi dua negara, pertanyaan penting muncul:
Apakah dunia sedang menyambut era baru keadilan dan pengakuan hak rakyat Palestina?
Ataukah kekuatan lama masih akan terus berjuang menahan gelombang perubahan yang sudah tak bisa dibendung?
Satu hal pasti: dunia tidak lagi buta. Nurani kolektif manusia sedang bangkit. Dan mereka yang selama ini bersuara di lorong-lorong sunyi, kini mulai berdiri di mimbar-mimbar resmi, menyuarakan satu kata sederhana, namun penuh makna:
Palestina berhak hidup.
Lihat Tayangannya: https://youtube.com/shorts/n6oumg4HDvk?si=a9M6a8O756HVL-Yl