jogjanetwork.id
Partai Golkar, salah satu pilar politik Indonesia sejak 1964, kembali diterpa isu perpecahan internal yang kini berpusat pada wacana Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk mengganti Ketua Umum Bahlil Lahadalia. Isu ini mencuat di tengah ketegangan politik menjelang agenda besar partai, dengan sorotan tajam pada loyalitas Bahlil kepada mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi salah satu elemen kunci dalam dinamika ini.
Baca juga: Di Balik Tirai Gelap Republik: Siapa yang Memainkan Api?
Wacana Munaslub 2025, meski tidak jelas sumbernya darimana, dipicu oleh ketidakpuasan sebagian elit Golkar terhadap kepemimpinan Bahlil, yang dianggap melanggar kesepakatan politik sebelumnya saat ia menggantikan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum pada akhir 2024. Sejumlah pihak dalam partai, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, diduga mendorong Munaslub untuk mengganti Bahlil sebelum masa jabatannya berakhir. Spekulasi ini diperkuat oleh rumor adanya restu dari Istana, meskipun kubu Golkar dengan tegas membantahnya.
Bahlil dan tokoh senior seperti Nurdin Halid menyebut isu Munaslub sebagai “hoaks murahan” yang bertujuan mengacauk soliditas partai menjelang Pemilu. Dalam pernyataannya, Nurdin menegaskan bahwa Golkar tetap bersatu dan fokus pada agenda politik ke depan, termasuk Munas terjadwal pada Desember 2024. Namun, dinamika internal ini bukanlah hal baru bagi Golkar, yang pernah mengalami dualisme kepemimpinan pada 2014-2016 antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, yang berujung pada rekonsiliasi melalui Munaslub 2016.

Loyalitas Bahlil kepada Jokowi
Di tengah gejolak ini, loyalitas Bahlil kepada Jokowi menjadi sorotan. Sebagai mantan Menteri Investasi di era Jokowi, Bahlil dikenal sebagai salah satu figur yang dekat dengan mantan presiden tersebut. Loyalitas ini terlihat dari dukungannya terhadap sejumlah kebijakan strategis Jokowi, seperti proyek investasi dan hilirisasi sumber daya alam. Bahkan setelah menjadi Ketua Umum Golkar, Bahlil kerap menyuarakan penghormatan terhadap warisan Jokowi, yang dianggapnya sebagai fondasi penting bagi kemajuan Indonesia.
Namun, kedekatan ini justru menjadi pedang bermata dua. Sebagian pihak di Golkar memandang loyalitas Bahlil kepada Jokowi sebagai potensi konflik kepentingan, terutama di tengah perubahan dinamika politik pasca-kepemimpinan Jokowi. Isu ini memicu ketegangan dengan faksi yang lebih condong mendukung agenda baru di bawah pemerintahan Prabowo. Meski demikian, Bahlil berulang kali menegaskan bahwa loyalitasnya kepada Golkar dan visi partai tetap utama, sembari menjaga hubungan harmonis dengan berbagai kekuatan politik.
Faktor Penyebab Perpecahan
Menurut analisis politik, perpecahan di Golkar sering kali dipicu oleh tiga faktor utama: perbedaan ideologi, kebijakan strategis, dan perebutan kepemimpinan. Dalam kasus terkini, ketidakjelasan platform partai di bawah Bahlil dan manajemen kepemimpinan yang dianggap kurang inklusif menjadi pemicu utama. Sejarah Golkar menunjukkan pola serupa, seperti pada 2023 ketika wacana Munaslub untuk mengevaluasi dukungan terhadap Airlangga Hartarto sebagai capres ditolak Dewan Pakar karena dianggap mengganggu soliditas.
Meski dihadapkan pada isu perpecahan, Golkar memiliki rekam jejak kuat dalam menghadapi turbulensi politik. Sebagai salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia, Golkar selalu berhasil bangkit dari konflik internal, sebagaimana terlihat pada rekonsiliasi 2016 yang menghasilkan kepemimpinan Setya Novanto. Kini, dengan Bahlil di pucuk pimpinan, partai ini dihadapkan pada tantangan untuk menjaga persatuan sambil merespons dinamika politik nasional yang terus berubah.
Golkar menegaskan komitmennya untuk tetap solid menjelang agenda politik penting, termasuk Pemilu mendatang. Bahlil, dengan pengalaman politik dan kedekatannya dengan berbagai tokoh kunci, termasuk Jokowi, berupaya memastikan partai tetap relevan di tengah persaingan politik yang kian ketat. Namun, isu Munaslub tetap menjadi bayang-bayang yang menguji kekuatan internal Golkar.
Isu Munaslub dan perpecahan di Golkar mencerminkan kompleksitas dinamika politik dalam partai besar. Loyalitas Bahlil kepada Jokowi, meski menjadi kekuatan dalam membangun jaringan politik, juga memicu friksi di kalangan internal. Dengan sejarah panjang bertahan dari konflik, Golkar kini berada di persimpangan untuk membuktikan soliditasnya. Apakah wacana Munaslub akan menjadi kenyataan atau hanya hembusan angin politik, hanya waktu yang akan menjawab.