jogjanetwork.id 19 Agustus 2025
Di bawah langit Tel Aviv yang kelabu pada Minggu, 17 Agustus 2025, ratusan ribu warga Israel memenuhi jalanan, menjadikan kota itu lautan bendera biru-putih dan spanduk bertuliskan wajah-wajah sandera. Asap mengepul dari ban-ban yang dibakar di Jalan Ayalon, jalan raya utama yang menghubungkan Tel Aviv dan Yerusalem, kini lumpuh total.
Teriakan “Bawa mereka pulang!” dan “Hentikan perang!” menggema di Hostages Square, pusat protes yang telah menjadi simbol perjuangan keluarga sandera. Ini bukan sekadar demonstrasi; ini adalah jeritan kolektif dari rakyat yang lelah dengan perang yang telah merenggut puluhan ribu nyawa dan menyisakan trauma yang tak terucap.
Baca juga: Layan dan Mira, Gadis Kecil yang Ditembak Mati Israel
Gelombang Kemarahan yang Mengguncang Israel
Protes ini, yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar sejak konflik Gaza meletus pada Oktober 2023, dipicu oleh keputusan kontroversial kabinet keamanan Israel untuk memperluas operasi militer ke Kota Gaza. Menurut laporan CNBC Indonesia, ribuan warga memblokir jalanan, menghentikan lalu lintas, dan menutup bisnis sebagai bagian dari mogok nasional.

Sekolah-sekolah tutup, restoran-restoran sepi, dan transportasi umum terhenti. Bahkan Universitas Ibrani Yerusalem, bersama serikat pekerja dokter, pengacara, dan pelaku bisnis, turut bergabung dalam aksi ini, menunjukkan betapa luasnya dukungan terhadap tuntutan rakyat: kesepakatan segera untuk membebaskan 50 sandera yang masih ditahan di Gaza—yang hanya 20 di antaranya diyakini masih hidup—dan penghentian perang yang telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan Gaza.
Di Hostages Square, jantungan kota Tel Aviv, ratusan ribu orang berkumpul. Penyelenggara, termasuk Hostages and Missing Families Forum, memperkirakan jumlah demonstran mencapai 500.000 jiwa—angka yang mencerminkan betapa mendalamnya krisis ini mengguncang hati nurani masyarakat Israel. “Kami tidak memenangkan perang hanya dengan jasad sandera,” ujar seorang pengunjuk rasa, suaranya penuh keputusasaan, sebagaimana dikutip Al Jazeera Bagi banyak orang, perang ini bukan lagi tentang kemenangan, melainkan tentang menyelamatkan nyawa yang masih tersisa.
Suara dari Hati yang Patah
Di tengah lautan demonstran, kisah-kisah personal menyeruak, menyisakan luka yang sulit disembuhkan. Arbel Yehoud, seorang mantan sandera yang berhasil dibebaskan, berdiri di Hostages Square dan berbicara dengan nada tegas namun penuh emosi. “Saya tahu bagaimana rasanya berada di dalam kurungan. Tekanan militer tidak akan membawa mereka kembali—itu hanya akan membunuh mereka,” katanya.
Teriakan Arbel Yehoud itu mengacu pada 50 sandera yang masih ditahan Hamas, termasuk kekasihnya, Ariel Cunio, yang masih berada di Gaza. Suaranya adalah cerminan dari ketakutan kolektif: bahwa eskalasi militer di Kota Gaza, seperti yang disetujui kabinet keamanan, bisa menjadi vonis mati bagi para sandera.
Anat Engrest, ibu dari sandera Matan Angrest, juga berbicara di hadapan kerumunan. “Hari ini, kami menghentikan segalanya untuk menyelamatkan nyawa 50 sandera dan tentara. Hari ini, kami menghentikan segalanya untuk mengingatkan nilai tertinggi: kesucian hidup,” ujarnya, sebagaimana dilaporkan CNN.
Di sela-sela kata-katanya, sebuah video baru dari Matan, yang masih disandera, diputar di layar besar, membuat kerumunan terdiam dalam duka. Bagi Anat dan keluarga lainnya, setiap detik adalah perjuangan melawan waktu, dengan harapan yang semakin menipis.
Ketegangan di Jalanan: Polisi, Meriam Air, dan Penahanan
Namun, protes ini tidak berjalan tanpa gesekan. Polisi Israel, yang dikerahkan dalam jumlah besar, menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran yang memblokir jalanan, termasuk di terowongan di Yerusalem. Menurut Al Jazeera, puluhan pengunjuk rasa ditangkap, dengan laporan menyebutkan sedikitnya 38 orang ditahan karena dianggap “mengganggu ketertiban umum.”
Di Tel Aviv, bentrokan pecah di luar markas besar Partai Likud, partai pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Polisi menggunakan kekerasan untuk membubarkan kerumunan, bahkan memerintahkan “bawa saya tahanan,” seperti yang terekam dalam laporan Haaretz.
Di tengah kekacauan, ada momen-momen simbolis yang mencuri perhatian. Seorang mantan sandera, Ilana Gritzewsky, menggelar “pernikahan simbolis” dengan kekasihnya, Matan Zangauker, yang masih disandera, sebagai bentuk protes dan harapan. “Hari pemogokan ini penting, tapi tidak boleh hanya satu hari,” kata Arbel Yehoud, menyerukan perjuangan yang berkelanjutan. Sementara itu, di perbatasan Gaza, keluarga sandera berencana mendirikan perkemahan protes bernama “Waypoint 50,” melambangkan 50 sandera yang masih terperangkap.
Pemerintah di Bawah Tekanan, Tapi Tak Bergeming
Di tengah gelombang protes, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar. Namun, ia tetap bersikukuh bahwa protes ini justru “memperkuat posisi Hamas” dan “menunda pembebasan sandera.” Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa tujuan pemerintah adalah mengalahkan Hamas dan memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman, meski itu berarti melanjutkan operasi militer.
Menteri Keuangan sayap kanan, Bezalel Smotrich, bahkan menyebut protes ini sebagai “kampanye berbahaya yang menguntungkan Hamas,” sementara Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir menyebutnya sebagai “manuver politik sinis.”
Namun, suara oposisi juga menggema keras. Pemimpin oposisi Yair Lapid menyebut pemogokan ini “adil dan layak,” sementara mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang dipecat oleh Netanyahu, hadir di Hostages Square untuk mendukung keluarga sandera. “Pemerintah ini menyerang keluarga sandera, padahal merekalah yang bertanggung jawab atas penahanan anak-anak mereka selama hampir dua tahun,” kata Benny Gantz, tokoh oposisi lainnya.
Dua Sisi Tragedi: Sandera dan Korban Gaza
Di balik protes ini, ada dua sisi tragedi yang tak terpisahkan. Di satu sisi, keluarga sandera di Israel berjuang untuk membawa pulang orang-orang yang mereka cintai, yang telah ditawan sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menculik 251 lainnya.
Di sisi lain, perang di Gaza telah menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 60.000 warga Palestina telah tewas, sebagian besar adalah warga sipil, dengan 1,9 juta orang—90% populasi Gaza—terpaksa mengungsi berulang kali. Malnutrisi meluas, dengan laporan terbaru menyebutkan dua anak meninggal karena kelaparan pada hari Minggu itu.
Pemerintah Israel bersikeras bahwa operasi militer di Kota Gaza diperlukan untuk menghancurkan Hamas, dengan rencana untuk memindahkan warga sipil ke selatan menggunakan tenda-tenda sementara. Namun, langkah ini dikecam oleh PBB dan komunitas internasional, dengan Hamas menyebutnya sebagai “kejahatan perang” yang menyamarkan genosida dan pengusiran massal. Di tengah protes, sirene serangan udara sempat menggema di Tel Aviv dan Yerusalem, memaksa demonstran berlindung saat rudal dari Yaman dicegat tanpa insiden.
Harapan yang Rapuh di Tengah Kekacauan
Di Hostages Square, Presiden Israel Isaac Herzog berbicara kepada kerumunan, menegaskan bahwa “tidak ada orang Israel yang tidak ingin sandera pulang.” Ia juga mendesak komunitas internasional untuk menekan Hamas, bukan Israel, untuk membebaskan sandera. Namun, bagi banyak demonstran, kata-kata itu terasa kosong. “Ini mungkin menit terakhir kita untuk menyelamatkan sandera,” kata Ofir Penso, seorang pengunjuk rasa berusia 50 tahun, kepada AFP. Bagi mereka, perang ini telah berubah dari perjuangan melawan Hamas menjadi konflik yang tak berujung, menghancurkan harapan dan nyawa di kedua belah pihak.
Saat malam menjelang, Hostages Square masih dipenuhi warga yang tak kenal lelah. Mereka membawa foto-foto sandera, pita kuning sebagai simbol harapan, dan spanduk yang menyerukan perdamaian. Di tengah asap ban yang terbakar dan suara meriam air polisi, ada tekad yang tak tergoyahkan: untuk mengakhiri perang, membawa pulang sandera, dan mengembalikan kemanusiaan yang telah lama hilang dalam konflik ini.
Namun, dengan pemerintah yang tetap bergeming dan perang yang terus berlanjut, pertanyaan besar menggantung: akankah jeritan rakyat ini didengar, atau hanya akan tenggelam dalam gemuruh perang yang tak kunjung usai?