Janji Setia Sehidup Semati Menurut Neurosains

Kalimat “sehidup semati” selama ini hanya terdengar manis di pelaminan dan sinetron sore hari. Tapi ternyata, kalimat itu bukan sekadar bumbu romantis. Neurosains dan penelitian medis justru membuktikan janji itu bisa jadi kenyataan biologis.

Baca juga : Touring Sepeda Motor: Gaya Hidup Aktif untuk Lansia

Fenomena ini dikenal dalam dunia penelitian sebagai widowhood effect—efek kehilangan pasangan yang bisa menggerogoti kesehatan hingga menyebabkan kematian. Sering terjadi pada pasangan lansia yang telah bersama puluhan tahun. Istrinya wafat lebih dulu, dan beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian, sang suami menyusul—bukan karena ikut-ikutan, tapi karena tubuhnya benar-benar menyerah.

Neurosains menjelaskan, keterikatan emosional dalam pernikahan jangka panjang membentuk pola koneksi otak yang sangat dalam. Selama bertahun-tahun, pasangan menjadi bagian dari sistem identitas dan stabilitas emosi. Ketika salah satu ‘sumber kehidupan’ ini hilang, sistem dalam otak mengalami guncangan besar. Bukan cuma kesedihan biasa—tapi stres akut yang langsung memengaruhi kinerja hipotalamus, sistem limbik, dan hormon kortisol.

Ilustrasi AI

Pria Terbukti Lebih Rentan.

Menurut studi Christakis dan Allison (2006), risiko kematian pada pria meningkat tajam dalam 3–6 bulan setelah kehilangan istri. Penyebabnya bukan cuma depresi, tapi juga penurunan fungsi imun, gangguan pola tidur, tekanan darah tinggi, dan bahkan gejala takotsubo cardiomyopathy, alias “broken heart syndrome”. Ya, jantung bisa benar-benar ‘patah’ karena kehilangan pasangan. Bukan cuma sedih, tapi juga gagal mengurus dirinya sendiri.

Di sinilah muncul gejala seperti “broken heart syndrome”—jantung literally bisa rusak karena patah hati. Tekanan darah naik turun, hormon stres naik tanpa rem, sistem imun turun kayak sinyal Wi-Fi di gunung. Kalau tubuh adalah sistem, maka kehilangan pasangan adalah crash sistem total.

READ  Efek Halo: Sihir Psikologis yang Sering Kita Abaikan

Baca juga: Robot: Antara Kecerdasan Buatan dan Harapan Kemanusiaan

Wanita Lebih Resilien.

Apa istimewanya istri di mata neurosains? Ternyata, bukan cuma pasangan hidup, istri sering menjadi manajer emosi dan navigator sosial. Dia tahu kapan suami lapar, sakit, butuh obat, atau sekadar butuh diajak ngobrol. Ketika peran ini hilang, banyak pria tak siap menghadapi hidup sendirian. Bahkan fungsi dasar seperti makan teratur atau ke dokter bisa terbengkalai.

Mereka terbiasa multitasking dan punya jaringan sosial yang lebih luas—dari grup arisan, keluarga, tetangga, sampai komunitas daring. Saat kehilangan suami, mereka tetap berduka. Tapi mereka punya banyak pintu untuk menangis dan bangkit kembali. Mereka bisa sedih, tapi tetap ingat harus masak, ngaji, atau antar cucu sekolah.

Kematian pasangan tidak hanya menguras air mata, tapi juga mengubah struktur kimia tubuh. Otak memproduksi hormon stres berlebih, sistem saraf simpatis terus aktif, dan sistem kekebalan lumpuh perlahan. Itu sebabnya, kalimat “ia meninggal karena kesepian” bukanlah metafora tapi nyata.

Efek widowhood menjadi bukti bahwa cinta dan kehilangan bukan sekadar urusan hati, tapi juga urusan otak dan jantung. Dan pernikahan jangka panjang bisa menciptakan keterikatan fisiologis yang sangat kompleks. Ketika salah satu pergi, sistem keseimbangan yang dibangun puluhan tahun bisa ambruk seketika.

Penelitian demi penelitian terus membuktikan bahwa pernikahan yang sehat benar-benar punya efek memperpanjang umur—dan sebaliknya, kehilangan mendadak bisa memperpendeknya.

Jadi, kalau selama ini kamu pikir janji “sehidup semati” itu cuma retorika—neurosains membantahnya. Terkadang, cinta bukan hanya urusan perasaan. Ia bisa menjelma jadi kode biologis yang menentukan kapan jantung berhenti berdetak.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *