Kajian Neurosains: Rajin Ibadah, Tapi Jiwa Masih Gelisah

jogjanetwork.id 10 Agustus 2025

Ada yang datang mengadu, “Saya sholat lima waktu, membaca Al-Qur’an setiap hari, berdoa tanpa henti… tapi hati ini tetap tak tenang. Saat macet di jalan, amarah meledak. Saat memikirkan masa depan, cemas menguasai. Bahkan, rasa sedih kadang menjerat hingga tak sanggup bernafas lega.”

Baca juga : Ketertarikan dan Keterikatan: Akar Masalah Kejiwaan

Pertanyaan ini menusuk. Bukankah Allah sudah berfirman dengan penuh kepastian:

“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”
(QS. Al-Ankabut: 45)

Ayat ini bukan hanya janji, tapi undangan untuk merasakan perubahan jiwa yang nyata. Lalu, jika setelah beribadah kita masih dikuasai emosi negatif, stres, dan amarah yang tak terkendali, tidakkah itu tanda bahwa ibadah kita baru sebatas gerakan lahiriah? Kita telah menunaikan kewajiban, tapi belum menghidupkan ruhnya.

Ibadah dan Rahasia Otak yang Tenang

Dari kacamata neurosains, sholat, dzikir, dan doa bukan sekadar ritual, tapi juga terapi paling alami untuk otak dan jiwa. Saat sholat atau berdzikir dengan khusyuk, hormon stres kortisol menurun. Sebaliknya, hormon-hormon penyeimbang seperti serotonin dan GABA meningkat, membawa otak pada keadaan homeostasis—keseimbangan yang membuat tubuh dan jiwa terasa damai.

Doa dan dzikir ibarat membersihkan sungai yang keruh. Sistem saraf parasimpatis diaktifkan, reaksi berlebihan terhadap trauma mereda, dan daya tahan terhadap ujian hidup menguat. Praktik spiritual rutin juga memicu pelepasan BDNF (brain-derived neurotrophic factor)—zat yang merangsang pertumbuhan dan pembentukan koneksi baru di otak.

Hippocampus—pusat memori dan pengatur emosi—menguat. Prefrontal cortex, yang menjadi “CEO” otak untuk fokus dan pengambilan keputusan, menjadi lebih tebal. Hasil pemindaian otak (neuroimaging) menunjukkan bahwa doa dan dzikir yang penuh penghayatan mengaktifkan area-area ini, sehingga kecemasan menurun dan ketahanan emosional terbentuk untuk jangka panjang.

READ  Warren Buffett : Lima Kebiasaan yang Membuat Kita Miskin

Mengapa Manfaat Luar Biasa Ini Kadang Tak Terasa?

Neurosains memberi jawaban yang jujur: bukan ibadahnya yang salah, tapi cara kita menjalaninya. Bila doa berlandaskan rasa takut yang berlebihan—rasa bersalah yang menekan atau cemas akan hukuman—maka otak justru lebih aktif di area yang memicu kecemasan. Sebaliknya, doa yang dibangun atas rasa cinta dan harap akan kasih sayang Allah memunculkan ketenangan yang dalam.

Inilah bedanya coping negatif dan coping positif. Menyalahkan diri sendiri terus-menerus hanya akan mempertahankan kadar kortisol tinggi dan menurunkan plastisitas otak. Tapi berserah diri dengan penuh syukur akan menurunkan ketegangan, membuat hati lapang, dan menumbuhkan keyakinan. Penelitian pun membuktikan, bagi sebagian orang ibadah bisa menenangkan, sementara bagi sebagian lainnya justru memicu kecemasan—semuanya bergantung pada cara memandang dan merasakannya.

Panggilan untuk Menyelam ke Kedalaman Ruh Ibadah

Para ulama, dalam menafsirkan QS. Al-Ankabut: 45, mengingatkan bahwa sholat yang benar adalah penghalang keburukan, bukan sekadar gerakan fisik. Jika setelah sholat hati masih penuh kemarahan, stres, dan kegelisahan, maka ibadah kita masih sebatas kewajiban tanpa kesadaran.

Baca juga: Hidup Sehat dan Bahagia Dimulai dari Mengatur Napas

Kesadaran dalam ibadah bukan sekadar hadirnya pikiran, tapi kemampuan mengamati pikiran dan emosi dari kejauhan tanpa terbawa arusnya—meta-awareness. Dalam sholat, ini berarti meresapi setiap ayat, melepaskan beban di sujud, membiarkan pikiran negatif lewat tanpa diadili, sambil menguatkan hubungan dengan Allah yang penuh kasih.

Jika sholat dijalankan dengan mekanis, otak tak mendapatkan manfaat plastisitas sepenuhnya. Homeostasis pun terganggu karena bawah sadar masih menyimpan konflik batin. Seperti pohon yang akarnya dangkal, ia mudah tumbang diterpa angin kehidupan.

Menjadikan Ibadah sebagai Pelabuhan Jiwa

Berapa kali kita sholat, tapi pikiran melayang ke urusan dunia? Itu manusiawi, tapi sekaligus tanda bahwa kita perlu mendalami. Bayangkan jika setiap sujud menjadi tempat kita benar-benar menyerahkan beban, membiarkan “oksitosin spiritual” mengalir, menyembuhkan luka-luka hati yang tak terlihat.

READ  Efek Halo: Sihir Psikologis yang Sering Kita Abaikan

Maka, stres bukan lagi musuh, tapi guru yang mengantar kita lebih dekat kepada-Nya. Ibadah bukan lagi sekadar kewajiban, tapi pelabuhan tempat jiwa berlabuh, hati beristirahat, dan akal mendapat kejernihan. Saat itu, keseimbangan otak (homeostasis) dan kelembutan hati (plastisitas spiritual) bersatu dalam kedamaian yang abadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *