Jogjanetwork.id 8 Agustus 2025
Sholeh UG
Pernahkah kamu merasa gelisah karena seseorang tidak membalas pesanmu? Padahal dia mungkin sedang sibuk. Tapi karena keterikatanmu padanya, kamu mulai berasumsi, mulai menyalahkan diri, dan merasa tidak dihargai. Ini contoh kecil dari bagaimana pikiran bisa menciptakan penderitaan, hanya karena kita melekat terlalu kuat.
Baca juga: Efek Halo: Sihir Psikologis yang Sering Kita Abaikan
Padahal, jika kita bisa sedikit menjauh, menarik napas dalam, dan berkata dalam hati: “Aku mencintai, tapi tidak harus memiliki. Aku hadir, tapi aku tak harus terperangkap. Aku bernilai, meski tak diakui.”— Maka di sanalah kebebasan dimulai.
Manusia itu makhluk yang senang mencintai. Sejak lahir, kita sudah menoleh ke arah yang menyenangkan, mengulurkan tangan ke yang menggoda rasa ingin tahu, dan menaruh hati pada yang memberi rasa nyaman. Inilah naluri alami—fitrah. Dalam bahasa agama, rasa suka dan cinta itu bukan sesuatu yang tercela. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kehidupan dunia dengan segala perhiasannya yang dijadikan indah bagi manusia: harta, anak-anak, pasangan, dan kekuasaan.
Namun, indahnya ketertarikan sering kali menyimpan jebakan halus bernama keterikatan.

Dari Ketertarikan Menuju Keterikatan
Ketika kita suka pada sesuatu—entah itu orang, barang, jabatan, status, bahkan pujian—maka kita akan mulai ingin memiliki. Rasa suka itu manusiawi. Ia adalah getaran hati yang muncul begitu kita merasa senang atau nyaman terhadap sesuatu. Tapi sering kali, rasa suka tak berhenti pada kekaguman. Ia berkembang menjadi keinginan untuk memiliki—bukan sekadar menikmati kehadirannya, tapi ingin menguasainya, menempelinya dengan label: “Ini milikku.” Entah itu seorang pasangan, yang ingin kita atur hidupnya. Atau jabatan yang kita genggam erat, seolah tanpa itu hidup kita hampa. Atau bahkan pujian, yang kalau tak datang, hati kita merasa kosong.
Baca juga: Warren Buffett : Lima Kebiasaan yang Membuat Kita Miskin
Lalu, dari memiliki muncul takut kehilangan. Ketika kita merasa memiliki, maka otomatis muncul keinginan untuk menjaga dan mempertahankan. Dari keinginan untuk menjaga dan mempertahankan muncul rasa takut:
“Bagaimana kalau dia tak setia dan pergi?”
“Bagaimana kalau aku kehilangan pekerjaanku?”
“Bagaimana kalau orang lain lebih disukai daripada aku?”
Rasa takut ini sebenarnya muncul bukan karena sesuatu yang nyata, tapi karena kita menggantungkan rasa aman dan bahagia pada hal-hal yang sementara dan di luar kendali kita. Kita lupa bahwa semua yang ada di dunia ini bisa berubah, berpindah, bahkan lenyap.
Masalah Kejiwaan
Dan dari ketakutan itulah kecemasan, kecurigaan, kegelisahan, dan bahkan gangguan kesehatan mulai tumbuh seperti benih yang tak disadari. Ketika ketakutan dipelihara dalam diam, perlahan ia menjadi racun.
Kita mulai cemas tanpa sebab, curiga pada orang-orang yang kita sayangi, gelisah meski tak ada yang terjadi. Lama-lama, tubuh pun ikut bicara. Asam lambung naik, dada sesak, tidur terganggu, jantung berdebar, kepala berat. Penyakit-penyakit ini bukan karena virus dari luar, tapi karena gelombang pikiran yang tak tertata dari dalam.
Dan yang paling menyedihkan, semua itu berakar dari satu hal kecil: rasa ketertarikan yang tidak kita sadari berubah menjadi keterikatan.
Dalam neurosains, kondisi ini disebut sebagai amygdala hijack—ketika sistem limbik otak yang mengatur emosi mengambil alih logika karena merasa ada ancaman. Padahal ancamannya sering kali tidak nyata, hanya hasil pikiran kita sendiri. Maka lahirlah overthinking, muncul rasa was-was, jantung berdebar tanpa sebab, hingga perut terasa panas—itulah asam lambung yang naik karena tubuh terus dalam mode “siaga”.
Ketertarikan, yang awalnya indah, berubah menjadi keterikatan yang menyiksa. Dan tanpa sadar, kita menciptakan penjara dalam pikiran kita sendiri.
Apa Kata Kebijaksanaan Timur dan Wahyu Langit?
Dalam Islam, dunia ini adalah ujian. Ketika kita terlalu lekat, terlalu takut kehilangan, maka secara tidak sadar kita tidak lagi menyembah Tuhan yang Maha Kekal, tetapi menyembah hal-hal yang sementara. Padahal Allah mengingatkan, “Segala sesuatu yang ada di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah-lah yang kekal.” (QS. An-Nahl: 96)
Ketika seseorang terlalu terikat pada pasangan, dia akan mudah cemburu, mudah marah, dan sulit bahagia. Ketika seseorang terikat pada pekerjaan, dia gelisah saat kehilangan klien, overthinking saat angka tidak naik. Ketika seseorang terikat pada citra diri, dia bisa stres hanya karena komentar orang lain. Di sinilah akar masalah kejiwaan tumbuh diam-diam, seperti jamur dalam lembabnya ketakutan.
Mindful dan Merdeka dari Dalam Diri
Berlatih kesadaran penuh (mindfulness) dapat menjadi langkah awal untuk membebaskan diri dari penderitaan ini. Dalam praktiknya, kita belajar menyaksikan rasa tertarik tanpa langsung ingin memiliki. Menyadari keinginan tanpa harus dikendalikan olehnya. Seperti menonton awan berlalu, tanpa harus mengejarnya.
Sederhana saja: Ketika kita melihat makanan enak, kita sadari bahwa kita menginginkannya. Tapi kita tidak harus melahapnya semua. Kita nikmati secukupnya, kita syukuri, lalu kita lepaskan. Karena hidup bukan tentang mengoleksi, tapi tentang menghargai setiap momen, tanpa keterikatan yang membelenggu.
Kembali ke Titik Nol: Titik Tuhan
Ketika semua yang kita kejar, kita kejar karena takut, karena luka, karena cemas… maka kita tak pernah merasa cukup. Tapi ketika kita sadar bahwa semua yang kita cintai hanyalah tanda-tanda dari Sang Maha Cinta, maka kita akan belajar melepaskan tanpa kehilangan rasa kasih.
Seperti yang diajarkan para sufi:
“Cintailah sesuatu secukupnya, karena bisa jadi ia akan pergi. Bencilah sesuatu secukupnya, karena bisa jadi ia akan kembali.”
Dan dari sinilah kita bisa hidup lebih damai: mencintai tanpa menggenggam, menjalani tanpa melekat, dan menyembah hanya kepada Yang Kekal.
Setujuu, so related with this