Jognanetwork.id 23 Juli 2025
Beberapa bulan terakhir, satu demi satu hakim ditangkap. Bukan oleh polisi, bukan pula oleh pengawas internal lembaganya, melainkan oleh sesama penegak hukum: kejaksaan.
Di ruang sidang yang sunyi, seharusnya nurani hukum berdiri paling tegak. Di sana, palu hakim diketukkan bukan karena tekanan, melainkan karena keadilan yang telah matang diperiksa lewat hati dan nalar. Namun, belakangan ini, palu itu tampak gemetar. Bukan karena ragu akan putusan, tetapi karena bayang-bayang pedang yang menggantung di atasnya—pedang milik lembaga penuntut, yang kini seolah tak hanya menuntut tersangka, tapi juga menghukum para penjaga hukum itu sendiri.
Baca juga: Mata Hati untuk Keadilan: Harapan Ketua KY 2013-2015 atas Banding Tom Lembong
Beberapa bulan terakhir, satu demi satu hakim ditangkap. Bukan oleh polisi, bukan pula oleh pengawas internal lembaganya, melainkan oleh sesama penegak hukum: kejaksaan. Mereka dituduh menerima suap, mengatur vonis, menyalahgunakan wewenang. Tak sedikit masyarakat bersorak, karena dianggap keberhasilan penegakan hukum. Namun, di balik tepuk tangan itu, ada yang resah—karena detak keadilan tak lagi berjalan alami, melainkan seperti dikendalikan oleh tangan-tangan yang tak tampak.
Kita mengingat kasus Ronald Tannur, seorang anak pejabat tinggi yang divonis bebas oleh tiga hakim PN Surabaya. Tak lama kemudian, ketiganya ditangkap oleh kejaksaan. Ditemukan uang miliaran rupiah dalam mata uang asing. Seolah semuanya sudah disiapkan: bukti, narasi, dan hukuman. Bahkan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricard, ikut dibekuk. Kata orang, ini adalah bentuk bersih-bersih. Tapi sebagian lagi mulai bertanya dalam hati: “Apakah ini bersih-bersih, atau bersih-bersih yang dipilih?”
Belum reda itu, muncul lagi penangkapan atas hakim Ali Muhtarom, yang terlibat dalam perkara mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong. Rumahnya digeledah, uang disita, dan status tersangka disematkan. Kasus ini bahkan menggiring ke pembongkaran majelis hakim. Persidangan yang sedang berjalan diganti hakimnya, seperti diganti bidak dalam permainan catur. Seolah keadilan bisa diatur dari luar kotak sidang. Siapa yang tak takut memegang palu setelah ini?
Baca juga: Prof. Mudzakir: Menakar Keadilan dalam Penegakan Hukum Korupsi
Persaingan Kuasa dan Tahta?
Lalu muncullah nama yang dibisikkan banyak orang di koridor sunyi Mahkamah Agung. Ketika sang hakim agung naik menjadi Ketua MA, tepat di tengah gelombang penangkapan yang mengguncang institusinya sendiri. Beberapa menilai ini sebagai kebangkitan reformasi di tubuh MA. Namun sebagian lagi curiga: bukankah terlalu rapi? terlalu cepat? terlalu sistematis? Seakan ada operasi senyap yang disiapkan untuk “membersihkan” ruang keadilan—bukan demi hukum, tapi demi arah kekuasaan.
Apakah ini hanya kebetulan? Atau justru skenario? Bila semua hakim yang mengeluarkan putusan yang tidak dikehendaki kemudian ditangkap, lalu siapa yang akan berani memutus bebas dalam perkara-perkara sensitif? Apakah setiap vonis yang tak menyenangkan pihak tertentu akan dicurigai sebagai hasil suap? Apakah akhirnya hakim akan menimbang keputusan bukan berdasarkan hukum, tapi berdasarkan kemungkinan ia akan dijebloskan ke tahanan?
Inilah jerat simbolik paling halus, dan paling berbahaya.
Di negeri ini, kita dibesarkan dengan keyakinan bahwa hukum adalah panglima. Tapi di balik panglima itu, ada panglima lain yang lebih tinggi: kepentingan kekuasaan. Jika pedang kejaksaan bisa digunakan untuk menebas hakim sesuka waktu, dan tidak ada jaminan bahwa tindakan itu benar-benar bebas dari motif politik, maka tamatlah kedaulatan hukum.
Kita bukan sedang membela hakim yang salah, jika memang benar ia bersalah. Tapi kita sedang bertanya: “Apakah penangkapan ini benar-benar tentang kesalahan, atau tentang keberanian mengambil sikap berbeda?” Apakah kejaksaan kini menjadi hakim bagi para hakim? Lalu siapa yang mengawasi para jaksa?
Hukum Bukan Untuk Menaklukkan Kebenaran
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pengadilan harus menjadi benteng terakhir keadilan. Tapi hari ini, palu keadilan mulai retak bukan karena usia, tapi karena tekanan. Nurani para hakim mulai takut berdetak, bukan karena salah, tapi karena tahu: yang bisa datang mengetuk bukan malaikat keadilan, melainkan penyidik dengan surat perintah dan sorotan kamera.
Kita telah melewati masa di mana hukum bisa dibeli. Tapi kini, kita masuk ke masa baru yang tak kalah menakutkan: masa ketika hukum bisa dijadikan alat untuk membungkam sesama penegak hukum. Masa ketika lembaga saling sandera. Masa ketika persaingan kursi dan gengsi di Mahkamah Agung bisa menjerat orang-orang yang tak sejalan.
Inilah ironi kita: di saat hukum seharusnya melindungi keadilan, hukum justru menjadi instrumen untuk menaklukkan kebenaran.
Kita tahu, tak ada manusia yang sempurna. Tak ada hakim yang suci dari cela. Tapi jika keadilan hanya bisa ditegakkan dengan mempermalukan hakim, tanpa kehati-hatian, tanpa transparansi, tanpa proses yang betul-betul steril dari kepentingan, maka kita hanya akan menghasilkan generasi hakim yang takut, bukan bijak.
Dan bila para hakim sudah takut,
bila palu sudah kehilangan keberaniannya,
maka tunggulah saatnya:
yang mengetuk palu bukan lagi nurani, tapi ketakutan.Dan dari ketakutan itu,
lahirlah keadilan palsu yang membunuh perlahan.
Bukan hanya hukum,
tapi juga harapan.
Simak juga: https://www.youtube.com/embed/m3LCUsGn_3Y?si=N_uIubr4S4HImXP4
Mantappp
Mantappppp