Korupsi Wakil Rakyat : Harga Sebuah Citra

jogjanetwork.id 8 Agustus 2025

Di Indonesia, menjadi wakil rakyat bukan cuma soal duduk di kursi empuk DPR, berpidato tentang kesejahteraan rakyat, atau berfoto dengan konstituen sambil tersenyum lebar. Oh, tidak, itu cuma cuplikan dari sinetron politik yang kita tonton setiap hari. Realitasnya jauh lebih… gemerlap. Di negeri ini, citra adalah segalanya. Rumah megah dengan pilar-pilar bak istana Romawi, mobil sport yang harganya cukup untuk membangun puluhan sekolah di pelosok, pakaian bermerek yang harganya setara gaji tahunan pegawai rendahan, hingga jam tangan yang berkilau lebih terang dari harapan rakyat—semua itu adalah uniform wajib para politisi yang ingin disegani. Karena, di mata publik, kekayaan adalah tanda kekuasaan, dan kekuasaan adalah tiket menuju penghormatan. Tapi, pertanyaan besarnya: dari mana duitnya?

Baca juga: Judol : Antara Penegakan Hukum dan Realitas Sosial

Dana Rakyat untuk Gaya Hidup Elit

Jawabannya, sepertinya, tak perlu dicari terlalu jauh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menampar kita dengan kenyataan pahit: dua anggota DPR, ST (Satori) dan HG (Heri Gunawan), ditetapkan jadi tersangka dalam kasus penyelewengan dana Program Sosial Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dana Corporate Social Responsibility (CSR), yang seharusnya mengalir untuk membantu rakyat kecil—mungkin untuk membangun puskesmas, sekolah, atau sekadar memberikan bantuan kepada yang membutuhkan—malah diduga berbelok ke rekening pribadi. Keren, bukan? Menurut KPK, Satori bahkan mengaku “sebagian besar” anggota Komisi XI DPR periode 2020-2023 juga ikut menikmati dana bansos ini. Wah, ini bukan lagi soal satu-dua oknum, tapi hampir seperti klub eksklusif dengan dress code: “Ambil bagianmu, kawan!”

Bayangkan, dana yang seharusnya menjadi penyelamat bagi rakyat miskin, malah dipakai untuk membiayai gaya hidup bak selebritas Hollywood. Mungkin ada yang membeli mobil mewah dengan alasan “mempermudah kunjungan ke daerah pemilihan”. Atau vila di Bali dengan dalih “tempat rapat partai yang lebih santai”. Belum lagi jam tangan seharga rumah sederhana, yang katanya “penting untuk menjaga ketepatan waktu sidang”. Kalau sidang DPR memang setepat jam tangan itu, mungkin rakyat sudah hidup sejahtera sekarang.

READ  Pemblokiran Rekening oleh PPATK, Perlu Ada Class Action

Biaya Politik Mahal, Korupsi Jadi Jalan Pintas

Tapi, jangan buru-buru menghakimi. Kenyataannya, menjadi politisi itu mahal, lho! Bayangkan biaya politik di Indonesia: mulai dari “sumbangan” untuk partai—yang katanya untuk operasional kampanye, tapi entah mengalir ke mana—hingga “amplop” untuk membeli suara rakyat saat pemilu tiba. Belum lagi, perusahaan-perusahaan, baik BUMN maupun swasta, rela membuka dompet lebar-lebar demi proyek mereka berjalan mulus. Namanya juga simbiosis mutualisme: perusahaan butuh restu, politisi butuh dana. Kalau restunya agak macet, tinggal buka pintu korupsi—sederhana, praktis, dan sudah jadi tradisi. Dana CSR BI dan OJK, misalnya, sepertinya jadi ladang subur untuk “kreativitas” seperti ini.

Baca juga:DPR Lembaga Perwakilan Tanpa Periodisasi dan Pengawasan

KPK kini tengah menggali lebih dalam, termasuk kemungkinan aliran dana ke partai politik. Mereka bahkan memanggil eks Kepala Departemen Komunikasi BI, EH, dan Deputi Direktur Departemen Hukum BI, IRW, sebagai saksi. Siapa tahu, dalam beberapa minggu ke depan, kita akan mendengar lebih banyak nama “terhormat” yang ternyata tak begitu terhormat. Tapi, jangan kaget kalau skandal ini cuma puncak gunung es. Rakyat Indonesia sudah terlatih untuk mengangguk pahit setiap kali berita korupsi muncul—ini kan cuma plot twist biasa dalam drama politik tanah air.

Mungkin, glamour memang tak pernah murah. Tapi, kalau harganya adalah kepercayaan rakyat, masa depan bangsa, dan moralitas, sepertinya itu terlalu mahal untuk dibayar. Atau, barangkali, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu “terhormat”. Karena, sejauh ini, yang terlihat hanyalah topeng kemewahan yang dibeli dengan harga murah: integritas. Mungkin sudah saatnya kita, rakyat, berhenti terkagum-kagum pada kilauan semu dan mulai menuntut yang lebih substansial—keadilan, transparansi, dan pelayanan sejati. Tapi, ya, itu mungkin cuma mimpi di siang bolong.

READ  BUMN yang Membara di Tengah Krisis Tata Kelola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *