jogjanetwork 30 Juli 2025
Dengan hati yang pilu, bangsa ini mengantar kepergian salah satu putra terbaiknya. Kwik Kian Gie, seorang tokoh yang bukan hanya dikenal sebagai ekonom, politisi, dan pendidik, tapi lebih dari itu: ia adalah suara nurani di tengah gegap gempita kekuasaan dan pasar bebas. Pada Senin, 28 Juli 2025, pukul 22.00 WIB, beliau menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, di usia 90 tahun.
Baca juga: Data Pribadi Dijual Murah: Pelanggaran UU Perlindungan Data?
Kepergiannya bukan hanya duka bagi keluarga dan sahabat, tetapi juga kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, yang selama puluhan tahun mendapat pantulan cahaya dari sosoknya yang jernih, berani, dan penuh kasih pada negeri ini.
Lahir dari Kesederhanaan, Hidup dengan Keteguhan
Kwik lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1935. Sejak kecil, ia sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan kerja keras. Semangat belajarnya yang menyala terang mengantarkannya ke Nederlandsch Economiesche Hogeschool di Rotterdam, tempat Bung Hatta dulu belajar, hingga ia berhasil meraih gelar doktorandus ekonomi.
Di tahun 1960-an, Kwik bekerja sebagai staf Kedutaan Besar RI di Den Haag (1965–1970), sebelum menjadi Direktur NV Handelsonderneming IPILO, perusahaan di Amsterdam yang mengimpor hasil bumi dari Indonesia. Tapi tanah air selalu memanggil hatinya. Pada 1970, ia memutuskan kembali ke Indonesia.
Meski sempat menganggur selama setahun, ia tak goyah. Ia bangkit dengan mendirikan PT Indonesian Financing & Investment Company, dan memimpin beberapa perusahaan: PT Altron Panorama Electronics dan PT Jasa Dharma Utama. Namun, harta dan jabatan tak pernah menjadi pusat hidupnya. Bagi Kwik, dunia usaha adalah ladang kontribusi, bukan alat untuk memperkaya diri.

Ketika memasuki dunia pemerintahan, ia menjual semua saham dan aset pribadinya, agar tidak ada konflik kepentingan. Ia ingin menjaga tangannya tetap bersih dan hatinya tetap tenang. “Kekuasaan,” begitu keyakinannya, “adalah amanah, bukan kesempatan.”
Prinsip yang Tak Tergoyahkan di Tengah Kekuasaan
Sebagai institutional economist, Kwik tidak terpaku pada angka-angka pertumbuhan, melainkan melihat struktur dan nilai yang menopang ekonomi sebuah bangsa. Ia percaya bahwa ekonomi harus adil, manusiawi, dan berdaulat.
Ketika Golkar menguasai panggung politik Orde Baru, Kwik justru memilih jalan sunyi: pada 1987, ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)—partai yang saat itu kerap dicibir karena selalu kalah dalam pemilu. Tapi di situlah idealismenya menemukan rumah. Ia kemudian menjadi penasihat utama Megawati Soekarnoputri, yang ia anggap mewakili semangat nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Di masa Orde Baru, ia adalah satu dari sedikit suara yang berani mengkritik langsung kebijakan ekonomi pro-kapitalis Soeharto, yang menurutnya hanya memperkaya segelintir elit sambil memiskinkan rakyat. Ia mewarisi pemikiran Prof. Jan Tinbergen, guru sekaligus peraih Nobel Ekonomi pertama (1969), yang mengajarkan bahwa ekonomi sejatinya adalah alat untuk membangun kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mengejar laba.
Jabatan Tinggi, Hati Tetap Merunduk
Ketika Soeharto tumbang, Kwik dipercaya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999–2000. Di masa penuh ketidakpastian itu, ia menunjukkan sikap tegas dan jernih, bahkan terhadap pengusaha dari etnis yang sama. Ia tak pernah silau oleh koneksi. Baginya, integritas adalah kompas utama.
Lalu di era Presiden Megawati Soekarnoputri, ia diangkat menjadi Kepala Bappenas (2001–2004), menjadikannya orang Tionghoa pertama yang menduduki jabatan tersebut. Ia bekerja keras memperbaiki ekonomi yang rusak akibat korupsi dan kerusakan sistemik warisan Orde Baru.
Dalam negosiasi dengan lembaga-lembaga besar seperti Paris Club, IMF, dan World Bank, ia berani berkata tidak demi mempertahankan kedaulatan ekonomi bangsa. Ia ingin Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri, bukan menjadi pengemis kebijakan pada negara-negara kaya.
Pendidik yang Menanamkan Nilai, Bukan Sekadar Ilmu
Di luar jabatan-jabatan negara, Kwik juga mengabdikan diri di dunia pendidikan. Ia mendirikan SMA Erlangga di Surabaya (1954), Institut Manajemen Prasetya Mulya (1982), dan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) (1987). Ia ingin mencetak generasi baru yang tak hanya pintar, tapi berintegritas dan peka terhadap keadilan sosial.
Tulisannya di harian Kompas menjadi lentera intelektual bagi publik Indonesia. Dalam setiap kata, ia menanamkan nilai keberpihakan pada rakyat kecil, nilai keberanian untuk bersuara, dan kesetiaan pada Indonesia.
Kepergian yang Menggetarkan Banyak Hati
Selama dua hingga tiga bulan terakhir, kondisi kesehatannya terus menurun. Ia dirawat di RS Medistra selama hampir dua bulan, sebelum akhirnya berpulang dalam damai. Jenazah disemayamkan di Rumah Duka Sentosa RSPAD Gatot Soebroto, dikelilingi karangan bunga dan doa dari para tokoh nasional dan sahabat lama.
Megawati Soekarnoputri menyebutnya sebagai “nasionalis sejati”, Sri Mulyani mengenangnya sebagai peletak fondasi reformasi ekonomi, dan Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia kehilangan seorang pemikir besar yang penuh integritas.
Selamat Jalan, Pak Kwik
Kini engkau telah kembali ke asalmu, Pak Kwik. Tapi namamu tak akan pernah hilang dari ingatan kami. Engkau adalah cermin bersih dari kekuasaan, penjaga moral di tengah badai politik, dan pendidik sejati yang tak pernah lelah menyuarakan keadilan.
Semangatmu akan tetap hidup dalam cita-cita tentang Indonesia yang adil dan berdaulat. Jejakmu akan kami jaga. Dan nilai-nilai yang engkau tanamkan akan terus tumbuh, menguatkan generasi demi generasi.
Selamat beristirahat dalam damai, di sisi Sang Pencipta yang Maha Lembut. Terima kasih, Pak Kwik, atas segala yang engkau beri. Bangsa ini berduka, tapi juga berterima kasih, karena pernah memiliki sosok sepertimu.