Mustofa W. Hasyim, penyair dan budayawan senior Jogja, mencermati kondisi kebudayaan Indonesia dengan tajam dan penuh kepekaan. Dalam setiap pandangan dan gagasannya, ia tidak hanya menghadirkan kritik yang jernih terhadap situasi yang berkembang, tetapi juga menawarkan gagasan kebudayaan yang menawan, membangun, dan membangkitkan kesadaran.
Sebagai sosok yang telah lama mengabdi pada dunia sastra dan kebudayaan, Mustofa tidak sekadar menjadi pengamat yang berdiri jauh dari realitas. Ia menuliskan dengan hati, mengajak siapa saja untuk memahami kebudayaan bukan hanya sebagai warisan, melainkan juga sebagai ruh kehidupan yang senantiasa bergerak, berubah, dan berjuang menghadapi tantangan zaman.
Berikut tulisan Mustofa W. Hasyim.
Rahasia Kekuatan Kreatif Seniman-Budayawan
Rahasia kekuatan dan daya kreatif seniman budayawan terletak pada tinggi rendahnya kualitas dan kapasitas kesadaran kritis dan daya kritisnya menghadapi dan ketika berhadapan dengan persoalan kemanusiaan. Dipastikan, para seniman budayawan besar memiliki kesadaran kritis yang tinggi dan daya kritis yang amat kuat dan besar.
- Serakahonomic: Rakyat Menunggu Realisasi Pidato Prabowo
- Manipulasi Beras: Pidato Prabowo Dan Skandal Beras Oplosan
- Kepastian Hukum Untuk Pertumbuhan Ekonomi
- Serakahnomics: Bayang-Bayang 80 tahun Ekonomi Indonesia
- Kado Delapanpuluh Tahun Indonesia (Merdeka)
- Serakahonomic: Retorika Di Tengah Luka Ekonomi Indonesia
Ketika kesadaran kritis dan daya kritis masyarakat dan rakyat dilemahkan dan dilumluhkan oleh sistem (termasuk sistem negara dan sistem ekonomi dominan atau kapitalis) biasanya kesadaran kritis dan daya kritis seniman budayawan tetap tinggi, kuat dan besar. Di bawah tekanan sistem yang melemahkan kesadaran kritis dan daya kritis ini mereka melawan dan bertahan dengan menciptakan karya seni budaya alternatif (tidak klise) yang segar dan relevan dengan prioritas tema yang dibutuhkan oleh masyarakat dan rakyat.
Raja Ali Haji, Ronggowarsito, Achdiat Karta Migardja, Armijn Pane, Hamka sampai Rendra, Mohammad Diponegoro, Danarto, Afandi, Kusbini, Manthous dan Kuntowijoyo serta Ki Narto Sabdo plus Basiyo misalnya adalah seniman budayawan yang selama hidupnya mempertahankan dan mengembangkan kesadaran dan daya kritisnya sehingga bisa melahirkan karya berkualitas tinggi dan fenomenal.
Kesadaran Kritis dan Daya Kritis
Kesadaran kritis dan daya kritis adalah sepasang sayap yang bisa menerbangkan burung kreativitas manusia menjelajah semesta kemungkinan seni budaya manusia itu sendiri. Kesadaran kritis terbentuk selama manusia dalam kondisi terjaga dan berjaga kesadarannya alias hidupnya tidak nglindur. Dia melewati detik-detik hidupnya dengan sadar. Selalu eling (dzikir) dan waspada (nglilir lan mikir), kata Eyang Ronggowarsito.
Dengan demikian manusia yang memiliki kesadaran kritis yang kuat tidak akan larut dan hanyut dalam arus zaman. Dengan sadar dia berdasar pertimbangan taktis kalau terpaksa ngeli pun dilakukan dengan tetap tidak keli. Sedang daya kritis terbentuk ketika manusia mengoperasikan dan mengaplikasi akal sehat untuk memilah dan memilih antara yang seharusnya dengan yang terjadi, antara yang obyektif dengan yang subyektif, antara yang benar dengan yang salah, antara yang baik dengan yang buruk, antara yang indah dengan yang indah, antara yang pantas dan patut dengan yang tidak pantas dan tidak patut, antara yang bijak dengan yang asal bijik dan seterusnya.
Dengan daya kritisnya manusia bisa menemukan dan bertemu dengan jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan hidupnya. Kesadaran kritis dan daya kritis bisa diasah lewat srawung (srawung alit bersama sesama manusia dan srawung ageng bersama Tuhan). Kesadaran kritis dan daya kritis juga bisa diperkuat lewat kegiatan literasi dalam arti sempit (tekstual) dan dalam arti luas (kontekstual) dan literasi dalam arti menyemesta (transformasi kultural dan transkultural antar budaya). Jadi kesadaran kritis dan daya kritis memiliki watak terbuka dan proaktif.
Pilihan Pembaruan dalam Seni Budaya
Saat seniman budayawan berada dalam kesadaran kritis dan daya kritisnya memuncak biasanya menginginkan pembaruan dalam berkarya seni budaya. Dia merasa wajib melakukan pembaruan agar karyanya bisa selaras dengan zaman atau bahkan mendahului zamannya. Di depan dirinya terhampar aneka pilihan langkah pembaruan itu. Pada garis besarnya pembaruan itu menyangkut tema (isi atau pesan), bentuk ungkapan (teknik dan gaya ekspresi termasuk pembaruan struktur cerita) dan kombinasi keduanya.
Ada pembaruan keempat yang lebih mendalam lagi, lebih intens dan lebih serius lagi yaitu pembaruan yang menyangkut pandangan hidup, sikap hidup, kematangan hidup dan maqom penghayatan hidupnya. Ini jelas mempengaruhi dan tampak jelas pada pembaruan karya seni budaya yang dia buat. Juga ada pembaruan jenis kelima ketika seniman budayawan bergerak melintas lintas dan menyeberangi aneka cabang seni budaya.
Biasanya pembaruan seni budaya jenis kelima ini berbareng dan berlangsung dengan pembaruan jenis keempat. Saat itu biasanya pembaruan seni budaya jenis pertama (isi), kedua (bentuk), ketiga (kombinasi pertama dan kedua) dan pembaruan seni budaya keempat (berlatar kematangan hidup) saling melengkapi. Dengan demikian setiap langkah pembaruan seni budaya memerlukan persiapan, ilmu, pengetahuan, semangat, ketepatan pilihan dipandu ketepatan intuisi dan kecerdasan budaya.
Dalam fakta sebuah pembaruan seni budaya bisa dan sering mengagetkan pada awalnya dan kurang bisa dipahami serta kurang bisa dinikmati karyanya, atau justru sebaliknya yang terjadi. Ada semacam hukum relativitas dalam setiap hadirnya karya seni pembaruan ini. Lebih asyik, lebih keren, lebih menantang, tapi bisa juga lebih memusingkan kepala. Tidak apa-apa. Langkah pembaruan seni budaya tetap perlu diteruskan. Siap?
Bahaya Terlena oleh Mitos Keadiluhungan
Keadiluhungan karya leluhur diakui banyak pihak, termasuk oleh peneliti asing. Ketika mereka menemukan hal yang menakjubkan dari karya seni budaya leluhur dan menyampaikannya ke publik, kita pun bangga dan merasa sebagai bagian dari yang adiluhung itu dan mengaguminya. Karena terlalu banyak yang adiluhung dan menyaksikan betapa tinggi kualitasnya, kita makin kagum dan kerja kita kemudian suks ngisik-isik atau menggosok-gosok karya seni budaya dengan wacana yang penuh glorifikasi.
Sampai kemudian kita terlena dalam pesta pujian dan kekaguman itu dan lupa untuk menghasilkan karya baru yang sejajar atau lebih tinggi dari karya leluhur yang adiluhung itu. Yang banyak dilakukan kemudian adalah duplikasi dan reproduksi karya seni budaya sehingga yang hadir dan yang dihadirkan di panggung seni budaya adalah semacam diorama sebuah spot atau klaster karya tiruan dari karya orisinil leluhur. Tidak ada nafas pembaruan sama sekali.
Lalu ada seniman budayawan yang menimba ilmu seni budaya barat. Mereka juga mengagumi karya seni budaya adiluhung barat baik yang klasik maupun yang kontemporer. Mereka lebih beruntung karena didukung oleh ekosistem seni budaya yang lengkap dan kokoh. Sementara adiluhung kita berbasis romantisme dan beroperasi di wilayah birokrasi dan (bukan bersama) masyarakat, membentuk ego-sistem di semua lapisan, semua sektor dan ego-sistem semua serpihan potensi seni budaya yang kondisinya subsisten (pas-pasan) dan bergerak berputar kayak draimolen sehingga seni budaya kita mengalami involusi (banyak sekali kegiatan tetapi tidak signifikan menghasilkan perubahan).

Kalau dibiarkan berlarut-larut bisa mengarah pada proses devolusi (kemunduran secara hakiki) seni budaya. Rendra lima puluh tahun lalu sudah menyindir kalau seni budaya adiluhung sudah mirip kasur tua. Meski masih empuk dibuat landasan bermimpi atau nglindur tetapi pengap dan kita hanya menjadi hamba sahaya kasur tua itu. Jadi untuk bisa melakukan perubahan seni budaya yang maksimal yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kesadaran untuk bangun dan berjaga dengan meloncat (mak penculut), membuat jarak dengan kasur tua itu.
Kedua, membangun ekosistem yang kokoh dan fungsional. Tinggalkan dan letakkan di lantai semua ego-sistem dan sektoralism. Perlu diketahui bahwa ego-sistem dan sektoralism bisa nyaman secara internal namun menggelisahkan secara eksternal.
Rindu Ditemani Kritikus
Ada enam hal yang bisa mendinamisasi seni budaya. Yaitu kesadaran kritis dan daya kritis, jaringan srawung dan literasi, daya jelajah imajinasi dan spirit yang bisa menembus tembok dan batas-batas mitos termasuk mitos adiluhung klasik, sayembara atau lomba yang temanya menantang dan tingkat kesulitan teknis ungkapnya tinggi, penghargaan atau apresiasi obyektif dan simpatik atas pencapaian kreatif tertinggi seniman budayawan yang sudah teruji oleh waktu.
Konsistensi dalam berkarya dan dedikasi seniman budayawan pada dunia seni budaya dan pada masyarakat luas menjadi instrumen paling penting dalam memberi penilaian atas kualitas seniman budayawan yang layak mendapat penghargaan. Untuk berlangsung dan suksesnya lima hal di atas maka peran kritikus sangat penting dan dominan.
Kritikus atau dewan kritikus yang sejati bisa membuat pertimbangan, mengukur bobot karya seni budaya, memposisikan karya seni budaya di tengah konstelasi seni budaya lokal, nasional dan internasional serta bisa memberi arah dan sinyal kemajuan bagi perkembangan dunia seni budaya itu sendiri. Sebagai sastrawan, seniman dan budayawan kita sesungguhnya selalu rindu akan kehadiran kritikus di tengah pergaulan kreatif ini. Tentu saja kritikus sebagai teman dialog yang produktif dan berkualitas secara nilai dan secara ilmu.
Tinggalkan Balasan