Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi sorotan dalam Webinar Nasional bertema “Hukum dan Kearifan Lokal: Menjamin Kepastian Hak atas Tanah Adat bagi Masyarakat Adat” yang digelar pada [tanggal webinar, misalnya 25 September 2025]. Muhamad Akhiri, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Masyarakat Adat (Lagrial), menyoroti urgensi undang-undang ini untuk melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Baca juga: Sesat Tafsir Penguasaan Negara Atas Tanah
2.500 Komunitas Adat Menanti Kepastian Hukum
Di Indonesia, terdapat sekitar 2.500 komunitas masyarakat adat yang terdata, mencakup lebih dari 20 juta individu yang hidup di wilayah adat seluas jutaan hektare, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Namun, tanpa regulasi yang jelas, mereka terus menghadapi ancaman konflik agraria dan ketidakadilan struktural. “DPR harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai wujud nyata kepedulian negara terhadap eksistensi masyarakat adat,” kata Muhamad Akhiri.
Meskipun Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat, belum ada undang-undang yang secara komprehensif melindungi hak-hak mereka atas wilayah, budaya, bahasa, dan sistem hukum adat. RUU Masyarakat Adat diharapkan menjadi payung hukum nasional yang kuat untuk menjamin pengakuan dan perlindungan ini.
Konflik Agraria: Akar Ketidakadilan
Konflik agraria menjadi salah satu dampak nyata dari ketiadaan pengakuan formal atas wilayah adat. Berdasarkan laporan AMAN tahun 2024, setidaknya 1.200 konflik agraria terjadi di Indonesia, banyak di antaranya melibatkan masyarakat adat. Tanah adat sering dialihkan untuk perkebunan sawit, pertambangan, atau proyek infrastruktur tanpa konsultasi yang memadai. “Masyarakat adat bahkan dipenjara saat mempertahankan tanah atau sumber daya alam mereka, padahal mereka bertindak atas dasar hak ulayat,” ungkap Akhiri.
Kasus seperti di Kalimantan Barat, di mana komunitas Dayak dipaksa menyerahkan lahan untuk perkebunan sawit, atau di Papua, di mana tambang emas menggusur wilayah adat, menjadi bukti nyata. UU Masyarakat Adat diharapkan mampu menghentikan praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang dan memberikan dasar hukum untuk melindungi hak ulayat.
DPR: Lambat Bertindak, Prioritas Tersesat?
RUU Masyarakat Adat telah diusulkan sejak 2009 dan berulang kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) serta Prolegnas Prioritas. Namun, hingga 2025, pembahasannya terus mandek. “Hal ini menunjukkan DPR tidak peduli dengan masyarakat adat. DPR lebih mempedulikan kepentingan investor dan politik kelompok mereka saja,” kritik Akhiri.
Sebagai perbandingan, UU Cipta Kerja disahkan dengan cepat pada 2020 meski menuai kontroversi, sementara RUU Masyarakat Adat terabaikan. Data DPR menunjukkan bahwa dari 50 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2023, hanya 20% yang relevan dengan keadilan sosial, dan RUU Masyarakat Adat bukan prioritas utama. Padahal, pengesahan RUU ini bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memperbaiki ketimpangan yang dialami masyarakat adat selama puluhan tahun.
Jalan ke Depan: Perlindungan Nyata untuk Warisan Leluhur
Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan landasan hukum yang jelas untuk melindungi identitas dan hak-hak masyarakat adat. “Sudah waktunya negara hadir untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat secara nyata, bukan hanya janji-janji semata,” tegas Akhiri. UU ini diharapkan menjadi tonggak sejarah bagi masyarakat adat sebagai penjaga warisan leluhur, memastikan mereka mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang layak.
Dengan dukungan dari organisasi seperti AMAN dan Lagrial, tekanan kepada DPR terus meningkat agar RUU ini segera disahkan. Pertanyaannya, akankah DPR menunjukkan komitmen politik untuk keadilan sosial dan keberagaman budaya Indonesia, atau tetap memprioritaskan kepentingan lain?