Menulis Upaya Membangun Kepercayaan Diri


Herry Mardianto

jogjanetwork.id 18 Juli 2025

Ketika membaca bukan lagi kebiasaan, maka kebodohan menjadi tradisi (Pramoedya Ananta Toer)

Menulis memerlukan motivasi yang kuat untuk terus berlatih menulis, sama halnya saat kita belajar pertama kali naik sepeda dengan keinginan cepat bisa mengendarai sepeda secara mahir. Kita jatuh bangun agar dapat naik sepeda dengan “baik dan benar”. Setelah piawai mengendarai sepeda, maka secara otomatis kita dapat mengendalikannya dengan baik, bahkan setelah berbulan-bulan tidak bersepeda. Begitu juga dengan menulis, setelah berhasil menghasilkan tulisan dan dimuat di media massa, kita akan kecanduan untuk terus menulis dan berharap dapat dipublikasikan oleh media lainnya.

Menulis pada hakikatnya berkaitan dengan upaya membangun kepercayaan diri, meskipun begitu mengapa sebagian dari kita tidak pernah benar-benar menghasilkan (berhasil) menciptakan sebuah tulisan? Apakah kita tidak punya bakat menulis, tidak mempunyai kesempatan, tidak yakin terhadap tulisan yang (akan) dihasilkan? Dalam konteks ini perlu diingat kembali pernyataan Arswendo Atmowiloto bahwa menulis itu gampang. Kenyataannya menulis bisa berangkat dari hal sederhana: apa yang kita pikirkan, rasakan, amati, dan apa yang kita alami; semua bisa menjadi bahan tulisan. Tinggal persoalannya, apakah kita mau menuliskannya atau tidak?

Menulis adalah cara untuk berpikir. Menulis adalah cara untuk belajar.
Menulis adalah cara untuk berkomunikasi. Menulis adalah cara untuk mengekspresikan diri. Menulis adalah cara untuk menjadi.

(Ernest Hemingway, Penulis Amerika Serikat)

Bagi yang kesulitan menulis terkadang mereka beralasan tidak mempunyai bakat menulis. Atau menulis sulit dilakukan karena berkaitan dengan seni, jadi orang-orang dengan jiwa senilah yang mampu menulis.

Dalam tulisan di Kompasiana di bawah judul “Darah Seni, Bakat, dan Potensi Diri”, saya sampaikan bahwa saya merasa tidak punya bakat menulis. Menulis adalah jalan sesat yang menemukan kebenaran dalam diri saya. Seandainya saya tidak menaruh dendam kepada guru bahasa Indonesia saat SMA, maka pasti tidak ada niatan membuktikan diri mampu menulis. Bisa saja saya meneruskan keinginan kuliah di Fakultas Biologi UGM, bukan di Fakultas Sastra. Sejak semula saya menyadari bahwa jalan yang ditempuh tidak akan mudah karena tidak punya bakat menulis. Ayah seorang pegawai negeri dan ibu hanya berdiam di rumah. Begitu orang tua mengetahui saya diterima di Fakultas Sastra, mereka hanya pasrah.

Karya tulis merupakan perpaduan antara gagasan, penulis, dan media ( bahasa dan sasaran pemuatan tulisan). Penulis yang baik selalu membaca “teks kehidupan”, tidak ada penulis yang berhasil tanpa aktivitas “membaca” (termasuk di dalamnya mendengar dan menyaksikan). Di samping itu, penulis dituntut mampu meningkatkan potensi diri di bidang kebahasaan, pengembangan imajinasi, dan kreativitas.

Pengorganisasian karangan akan menentukan jenis/ragam tulisan yang dihasilkan. Menulis puisi tentu berbeda dengan menulis cerita pendek. Begitu pula menulis makalah akan berbeda dengan menulis artikel populer. Perbedaan utamanya terketak pada pengorganisasian tulisan. Penulisan makalah harus memenuhi perangkat keilmuan, sedangkan penulisan artikel populer bersifat subjektif dan tidak memerlukan perangkat keilmuan, meskipun dalam penulisannya memerlukan data dan fakta. Dalam menulis artikel, meskipun kita memiliki topik yang sama, hasil penulisannya akan berbeda karena adanya “kebebasan” pengorganisasian dan setiap orang memiliki sudut pandang berbeda.
Agar pembaca tertarik terhadap tulisan yang kita hasilkan, maka usahakan tulisan kita memiliki “daya pikat” melalui judul, paragraf pembuka, dan paragraf penutup.
Secara makro, ragam karangan terbagi dalam karangan faktawi dan khayali, keduanya dibedakan berdasarkan tujuan dan bahan isi karangan—karangan faktawi bertujuan memberikan informasi dengan bahan tulisan berupa fakta; sedangkan karangan khayali bertujuan memberikan hiburan/menggerakan hati pembaca dengan bahan karangan berangkat dari imajinasi penulis. Dengan demikian, fakta lebih mengacu kepada dunia apa adanya (objektif), sehingga bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan makna referensial; di sisi lain, imajinasi bersifat subjektif, sehingga bahasa yang dimanfaatkan dapat menembus batas-batas referensial.

Proses penulisan selalu diawali dengan pertanyaan: permasalahan apa yang akan ditulis, apa tujuan yang ingin dicapai, bentuk tulisan apa yang dipilih, dan siapa pembaca sasarannya. Jika semua sudah ditetapkan maka proses menulis segera dapat dilakukan melalui empat tahapan: (1) persiapan—memerlukan suasana khusus, (2) pematangan—memperkaya referensi, (3) penulisan—penguasaan terhadap unsur-unsur kebahasaan, dan (4) verifikasi/editing—pembacaan ulang dengan kritis untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi; baik berkenaan dengan masalah kebahasaan maupun gagasan yang ingin kita sampaikan.
Masih juga sulit menulis? Segeralah menerapkan “mantra” Adiksimba (apa, dimana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana). Selamat berkarya dengan penuh semangat untuk terus menulis, menulis, dan menulis….

Foto Andrew Neel

2 tanggapan untuk “Menulis Upaya Membangun Kepercayaan Diri

  1. Matursuwun wawasan dan pencerahan ttg dunia Kepenulisan dsn Literasi
    Sehat walafiat sll ,dg penuh Ketegasan dan kesabaran…smoga dedikasi coach Hery menjadi Prasasti indah di para pemburu ilmu dan experience

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *