Nadiem, dari Pionir Digital ke Jerat Korupsi Chromebook

jogjanetwork.id 4 September 2025

Di tengah hiruk-pikuk Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Kamis sore yang mendung itu, seorang pria yang pernah menjadi simbol inovasi Indonesia tampak rapuh. Nadiem Anwar Makarim, pendiri Gojek yang merevolusi transportasi online, kini berdiri sebagai tersangka korupsi.

Saat pintu mobil tahanan terbuka, suaranya bergetar menyampaikan pesan yang menyayat hati: “Untuk keluarga saya dan empat balita saya. Kuatkan diri.” Kata-kata itu merupakan seruan seorang ayah yang merasa dizalimi, sambil memegang teguh keyakinannya bahwa “Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan keluar.”

Baca juga: Korupsi Wakil Rakyat : Harga Sebuah Citra

Pesan menyentuh yang disampaikan Nadiem usai pemeriksaan ketiga di Kejagung pada 4 September 2025, menjadi titik puncak dari drama hukum yang telah membayangi mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) era Jokowi ini.

Dengan tegas, ia membantah keterlibatannya dalam dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook, program yang seharusnya mendukung digitalisasi pendidikan di masa pandemi. “Saya tidak melakukan apa pun. Bagi saya seumur hidup, integritas nomor satu, kejujuran nomor satu,” tegasnya, sambil menambahkan, “Allah akan melindungi saya, InsyaAllah.” Namun, di balik penolakan itu, pertanyaan besar mengemuka: Bagaimana seorang visioner teknologi seperti Nadiem bisa terjerat dalam pusaran korupsi yang merugikan negara hingga Rp1,98 triliun?

Jejak Awal: Dari Gojek ke Kursi Menteri, Perjalanan yang Berisiko

Nadiem Makarim bukanlah politisi biasa. Lahir dari keluarga terpandang—ayahnya Anwar Makarim pengacara terkenal —ia memilih jalan entrepreneurship. Gojek, yang ia dirikan pada 2010, bukan hanya aplikasi ride-hailing; itu adalah ekosistem yang mengangkat jutaan pengemudi ojek dari kemiskinan. Saat Jokowi memanggil Nadiem menjadi menteri pada 2019, banyak yang melihatnya sebagai angin segar: seorang milenial tech-savvy yang akan memodernisasi pendidikan Indonesia. Tapi, kritik mulai muncul. Apakah seorang pebisnis murni siap menghadapi birokrasi yang rumit dan penuh jebakan?

READ  KPK Tangkap Tangan Wamenaker Dugaan Pemerasan

Kasus Chromebook ini, menurut Kejagung, berawal dari keinginan Nadiem untuk mempercepat digitalisasi sekolah. Pada 6 Mei 2019, ia menggelar rapat tertutup via Zoom dengan pejabat Kemendikbudristek, termasuk Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Mulyatsyah, Direktur Sekolah Dasar Sri Wahyuningsih, dan staf khususnya Jurist Tan. Di sana, Nadiem menginstruksikan penggunaan sistem operasi Chrome OS dari Google, meski pengadaan alat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) belum dimulai. Pendahulunya Muhadjir Effendy konon menolak ide serupa, tapi Nadiem membuka jalan. Pertemuan dengan Google Indonesia menjadi kunci: kesepakatan yang, menurut penyidik, melanggar prosedur.

Apakah gagasan itu inovasi atau kelalaian? Di era pandemi, kebutuhan laptop untuk siswa memang mendesak, tapi mengapa harus Chromebook yang spesifik? Pengamat pendidikan sering menyoroti bahwa pilihan ini menguntungkan raksasa teknologi asing, sementara produsen lokal terpinggirkan. Nadiem, yang datang dengan kuasa hukum flamboyan Hotman Paris Hutapea, tampak tenang saat tiba di Kejagung pagi itu. “Dipanggil untuk kesaksian, terima kasih, mohon doanya,” ujarnya singkat, dan hari itu berubah menjadi mimpi buruk.

Pelanggaran yang Disorot: Tiga Ketentuan yang Diabaikan, Kerugian Fantastis

Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, perbuatan Nadiem melanggar tiga ketentuan krusial. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik Tahun Anggaran 2021—aturan yang seharusnya memastikan dana negara digunakan secara efisien. Kedua, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 (diubah dengan Perpres 12/2021) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menekankan transparansi dan kompetisi. Ketiga, Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2018 (diubah dengan Nomor 11/2021) tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Baca juga: Bukan Koruptor, Tapi Dipenjara: Hati Siapa Tak Tersayat?

Hasilnya? Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun, masih dalam audit BPKP. Nadiem disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ia menjadi tersangka kelima, setelah Mulyatsyah, Sri Wahyuningsih, Ibrahim Arief (konsultan teknologi), dan Jurist Tan. Penetapan ini berdasarkan pemeriksaan 120 saksi dan 4 ahli—bukti yang, menurut Kejagung, tak terbantahkan.

READ  BUMN yang Membara di Tengah Krisis Tata Kelola

Tapi, di sisi kritis, apakah ini adil? Kasus ini mencerminkan pola lama: menteri dari kalangan swasta sering jadi kambing hitam birokrasi korup. Nadiem mungkin terlalu naif; ia pikir bisa menerapkan model startup di pemerintahan, tapi lupa aturan birokrasi seperti belantara.

Dampak Manusiawi: Keluarga, Reputasi, dan Masa Depan

Pesan Nadiem untuk istri dan empat balitanya—semua di bawah usia lima tahun—menjadi simbol tragedi pribadi di balik skandal ini. Bayangkan: dari penthouse Gojek ke sel tahanan. Kasus ini menjadi bukti kegagalan sistemik: bagaimana program pendidikan yang mulia bisa berubah jadi ladang korupsi? Chromebook seharusnya memberdayakan siswa di pelosok, tapi malah jadi beban negara. Apakah Nadiem korban atau pelaku? Kebenaran, seperti yang ia katakan, mungkin akan keluar di pengadilan. Tapi satu hal pasti: cerita ini mengingatkan bahwa di balik setiap inovasi, ada risiko korupsi yang mengintai. Nadiem kini ditahan, tapi pesannya tetap bergema: “Kuatkan diri.” Pertanyaan bagi kita semua: Apakah sistem kita yang rusak, atau orang-orang di dalamnya?

Semoga kasus ini tidak dipenuhi dengan drama-drama seperti kasus Tom Lembong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *