Negeri Miskin Imajinasi: Kekuasaan Tanpa Cahaya

Di negeri antah-berantah—tapi sayangnya nyata—sekelompok politisi yang setiap kali bercermin melihat dirinya telanjang. Bukan karena lupa pakai baju, tapi karena tahu: kekuasaan mereka itu cuma dibalut baju pinjaman dari rating survei, buzzer, dan pasal karet. Dan seperti orang telanjang yang sadar diri, mereka jadi sensitif. Sangat sensitif. Seperti luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Sedikit disentuh, langsung mengaduh. Sedikit sindiran, langsung jenggot kebakaran. Sedikit kritik saja, langsung lapor.

Baca juga: Pentas Besar Perkara Hukum

Ketelanjangan ini bikin mereka parno. Gak mau ketahuan. Apalagi dipajang di medsos. Maka setiap bentuk imajinasi yang bisa menyingkap selimut kemunafikan itu harus dibungkam. Dilabeli: makar, provokatif, merusak moral bangsa (moral yang kayak gimana juga gak jelas).

Tanpa imajinasi, politik berubah jadi urusan daftar hadir dan rencana kerja. Seni dianggap gangguan. Humor dianggap makar. Imajinasi dipersekusi, karena dianggap ancaman terhadap stabilitas. Padahal, yang takut kehilangan stabilitas itu bukan negara. Tapi ego-ego yang tak tahan kalau bayangannya sendiri dibalikkan oleh cermin publik.

Dari Lukisan Hingga Nada Sumbang

Lihatlah, bagaimana pameran seni Yos Suprapto dibatalkan. Karena lukisan-lukisan itu terlalu jujur. Karena tubuh-tubuh yang tergambar itu mengingatkan para penguasa pada tubuh mereka sendiri yang sudah keropos oleh kerakusan. Bendera bajak laut One Piece dilarang. Katanya mengganggu moral anak-anak. Padahal anak-anak kita justru lebih dewasa dari pemimpin kita, karena mereka masih bisa tertawa. Sebuah grup band dipaksa bubar karena katanya lagu-lagunya menyesatkan. Lah kalau rakyat disesatkan tiap lima tahun lewat janji kampanye, itu gak dilarang?

Belum lagi mural-mural yang penuh kritik disapu cat. Bahkan puisi dikira senjata pemusnah massal. Serius. Di negeri antah berantah itu, puisi lebih berbahaya dari korupsi. Karena puisi membangunkan kesadaran. Dan korupsi? Ah, itu mah bisa dibungkus dengan “teknis anggaran”.

READ  BAHASA

Negeri antah berantah itu bukan lagi negeri hukum. Ia berubah jadi negeri perasaan—perasaan penguasa yang terlalu mudah tersinggung.

Ilustrasi hitam-putih menampilkan figur berjubah gelap duduk di singgasana hias di tengah padang pasir kosong, dikelilingi oleh sangkar-sangkar berisi burung yang melambangkan kreativitas yang terkurung, dengan bendera-bendera terlarang berkibar di kejauhan.
Gambar ini menggambarkan negeri miskin imajinasi, di mana seorang penguasa gelap—simbol Rahwana—berkuasa di atas singgasana rapuh, dikelilingi oleh simbol-simbol penindasan terhadap seni dan kreativitas seperti sangkar burung dan bendera yang dilarang.

Darma-Adarma

Ketika imajinasi dibungkam, jiwa menjadi kering. Ketika jiwa kering, manusia kehilangan darma—kebaikan sejatinya. Dan bila manusia kehilangan darma, maka yang bertahta dalam dirinya adalah Rahwana.

Rahwana lambang manusia adarma—manusia tanpa darma. Ia punya kekuatan, tapi tak tahu untuk apa. Ia punya kecerdasan, tapi tak mengenal asal dan tujuan hidup. Ia hanya mengenal satu hal: nafsu. Nafsu menguasai. Nafsu menaklukkan. Nafsu agar dirinya disebut agung, meski kosong. Rahwana tak pernah bertanya tentang sangkan paraning dumadi—tentang dari mana ia datang dan ke mana ia akan pulang. Ia hanya tahu selama masih bisa memerintah, ia tak mau berhenti.

Inilah yang sedang terjadi di negeri miskin imajinasi itu. Para Rahwana duduk di kursi kekuasaan. Mereka berpikir menjadi raja. Padahal hanya boneka dari ketakutannya sendiri. Ketakutan itu membuat mereka menyerang siapa pun yang berbeda. Ketakutan itu membuat mereka melarang karya seni, karena seni memegang cermin.

Kalau rakyat ngeluh? Dibilang “kurang bersyukur”. Kalau seniman bicara? Dituduh “merusak tatanan”. Kalau mahasiswa demo? Dituduh “ditunggangi”.

Lah, yang ditunggangi sebenernya siapa?

Rakyat sama mimpi-mimpinya atau pejabat yang sudah lupa kapan terakhir kali mimpi karena sibuk ngejar proyek?

Soekarno Hingga Kartini

Padahal, sejarah mencatat: bangsa yang besar lahir dari imajinasi. Lihat Soekarno. Ia membayangkan Indonesia merdeka ketika Belanda masih memegang senapan. Lihat Tan Malaka. Ia menulis tentang Republik Indonesia 30 tahun sebelum republik itu lahir. Lihat WS Rendra, yang mengajak bangsa ini bercermin lewat puisinya. Lihat juga Kartini, yang menulis surat-surat harapan dalam gelap, hanya dengan lentera imajinasi.

READ  DI LUAR KOTA MASIH ADA POHON

Tapi kini, lentera itu padam. Bukan karena kehabisan minyak. Tapi karena dipadamkan dengan sengaja. Agar kita tidak bisa melihat ketelanjangan mereka.

Maka negeri antah berantah itu menjadi hening. Tak ada gelak tawa. Tak ada mural. Tak ada kritik. Tak ada mimpi. Yang tersisa hanya instruksi, surat edaran, pasal-pasal, dan sensor.

Di negeri antah berantah, humor dilarang. Tertawa bisa dianggap menghina negara. Bercanda bisa dilaporkan. Jadi, seniman lebih takut pada UU ITE daripada pada orang tua mereka sendiri.

Padahal tawa itu tanda jiwa masih hidup. Imajinasi itu tanda manusia belum menyerah. Tapi tawa dan imajinasi menjadi dua hal yang paling dibenci oleh orang-orang yang hidup dalam ketakutan. Karena mereka tahu: satu tawa jujur bisa menghancurkan seribu kebohongan.

Dan kita sekarang hidup di zaman di mana ketakutan pejabat lebih besar dari cinta mereka kepada rakyatnya. Negeri antah berantah itu lebih takut pada mural daripada mafia tambang. Lebih takut pada kartun bajak laut daripada politikus yang ngambil jatah bansos. Lebih takut pada puisi daripada pencucian uang.

Maka, jangan heran, negeri antah berantah itu makin kering. Bukan karena kemarau, tapi karena jiwanya disedot oleh kebijakan-kebijakan tanpa cinta. Tanpa mimpi. Tanpa arah.

Dan saat imajinasi mati, negeri itu cuma tinggal nama. Isinya: proyek, pasal, protokol, dan panggung pura-pura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *