Nepo Babies Memicu Amuk Massa Gen Z Nepal

jogjanetwork.id 13 September 2025

Di jalanan Kathmandu yang biasanya damai, suara jeritan dan asap pembakaran kini menjadi latar belakang sehari-hari. Protes massal yang dipimpin oleh Generasi Z telah mengguncang Nepal, memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur setelah bentrokan berdarah yang menewaskan puluhan orang. Pemicunya?

Baca juga: Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal

Sebuah istilah yang lahir dari Hollywood kini menjadi senjata kritik di Himalaya: “nepo babies” atau “nepo kids”. Anak-anak dan kerabat politisi yang memamerkan kemewahan di media sosial, sementara rakyat berjuang melawan kemiskinan dan korupsi. Tulisan ini menyelami akar masalah tersebut, dari definisi istilah hingga kisah individu yang menjadi sasaran, berdasarkan laporan terkini dari berbagai sumber. Di tengah larangan media sosial sementara dan pengerahan tentara, pertanyaan muncul: apakah ini akhir dari dinasti politik Nepal, atau hanya gejolak sementara?

Apa Itu Nepo Baby dan Nepo Kids: Dari Hollywood ke Politik Nepal

Istilah “nepo baby” berasal dari kata “nepotism” (nepotisme), yang merujuk pada praktik memberi keuntungan kepada keluarga atau kerabat. Awalnya populer di Hollywood, istilah ini digunakan untuk mengkritik anak-anak selebriti yang mendapatkan karir mudah berkat koneksi orang tua, seperti putri-putri aktor terkenal yang langsung jadi bintang tanpa perjuangan. Di Nepal, konsep ini telah berevolusi menjadi “nepo kids”—sebutan untuk anak, cucu, atau kerabat politisi yang hidup mewah, sering memamerkannya di Instagram atau TikTok, sementara negara bergulat dengan pengangguran tinggi dan ketidaksetaraan ekonomi.

Baca juga: Amuk Gen Z Nepal: Pemerintah Diminta Mengambil Pelajaran

Nepo kids ini bukan hanya simbol privilese; mereka menjadi katalisator kemarahan publik. Dalam konteks Nepal, di mana politik didominasi dinasti keluarga, istilah ini menyindir bagaimana kekuasaan dan kekayaan diturunkan, meninggalkan rakyat biasa di belakang. Protes Gen Z, yang dimulai dari isu korupsi dan undang-undang kontroversial, dengan cepat bergeser ke kritik terhadap gaya hidup mewah ini, memicu amuk massa yang membakar rumah dan gedung pemerintah. Ini bukan sekadar tren media sosial; ini cerminan frustrasi mendalam atas sistem yang tampaknya menguntungkan segelintir orang.

READ  Perang Dagang AS-China: Mampukah Amerika Menjinakkan TikTok?

Shrinkhala Khatiwada: Mantan Miss Nepal yang Rumahnya Dibakar oleh Kemarahan Viral

Shrinkhala Khatiwada, 29 tahun, adalah salah satu korban pertama dari gelombang kritik ini. Sebagai putri mantan Menteri Kesehatan Birodh Khatiwada, Shrinkhala—yang pernah menyandang gelar Miss Nepal 2018—menjadi target setelah foto liburan mewahnya di Eropa dan AS menjadi viral. Gambar-gambarnya dengan tas desainer dan perjalanan jet-setter itu kontras tajam dengan kehidupan sehari-hari warga Nepal yang bergulat dengan inflasi dan pengangguran.

Akibatnya tragis: rumah keluarganya di Kathmandu dibakar oleh massa yang marah, dan Shrinkhala kehilangan lebih dari 100.000 pengikut di Instagram dalam semalam. “Ini bukan tentang kecemburuan, tapi tentang ketidakadilan,” kata seorang demonstran Gen Z kepada media lokal. Kisah Shrinkhala menyoroti bagaimana media sosial mempercepat kemarahan: satu postingan bisa memicu ribuan komentar negatif, yang kemudian meluap ke jalanan. Meski Shrinkhala membela diri dengan mengatakan kekayaannya dari karir modeling, kritik tetap mengalir, menjadikannya simbol utama “nepo baby” di Nepal.

Smita Dahal dan Saugat Thapa: Cucu PM dan Putra Menteri di Tengah Badai Kritik

Smita Dahal, cucu dari mantan Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal (dikenal sebagai “Prachanda”), menjadi sasaran berikutnya. Postingannya tentang tas tangan mewah senilai jutaan rupee Nepal memicu tuduhan bahwa ia hidup dari korupsi keluarga. Prachanda, pemimpin Maois legendaris, pernah berjanji revolusi untuk kaum miskin, tapi cucunya kini dicap sebagai contoh kemunafikan. Smita menghapus beberapa postingan, tapi kerusakan sudah terjadi: ribuan meme dan petisi online menuntut akuntabilitas.

Tak kalah kontroversial, Saugat Thapa, putra Menteri Hukum Bindu Kumar Thapa, dicap sebagai “simbol kemewahan” setelah foto mobil mewah dan pesta malamnya beredar luas. Sebagai influencer muda, Saugat sering memamerkan gaya hidup glamor, yang bagi para demonstran adalah bukti nepotisme di pemerintahan. Kedua figur ini mewakili bagaimana nepo kids tidak hanya menikmati privilese, tapi juga memperburuk persepsi publik terhadap elit politik, memicu protes yang meluas ke seluruh negeri.

READ  Italia, Spanyol dan Yunani Kawal Armada Sumud Global

Shivana Shrestha: Menantu Mantan PM dan Tuduhan Kekayaan Miliaran

Shivana Shrestha, menantu mantan Perdana Menteri Sher Bahadur Deuba, bersama suaminya Jaiveer Singh Deuba, dituduh memamerkan kekayaan “senilai crore” (miliaran rupee). Sebagai penyanyi dan influencer, Shivana sering berbagi foto perhiasan mahal dan liburan eksotis, yang kontras dengan janji Deuba untuk reformasi ekonomi. Tuduhan ini mencakup aset properti dan bisnis yang diduga dari koneksi politik.

Kemarahan terhadap Shivana mencapai puncak ketika demonstran membakar foto keluarganya di jalanan, menuntut investigasi atas sumber kekayaan. “Mereka hidup seperti raja sementara kami berjuang untuk makan,” kata seorang mahasiswa di Kathmandu. Kisah Shivana menunjukkan bagaimana nepotisme meluas ke keluarga besar, memperkuat dinasti politik yang telah mendominasi Nepal selama dekade.

Dari Protes Jalanan ke Reformasi Politik?

Amuk massa ini bukan sekadar tentang individu; ini tentang sistem. Protes Gen Z, yang dimulai dari oposisi terhadap undang-undang korupsi, telah berevolusi menjadi gerakan anti-nepotisme nasional. Pemerintah memberlakukan larangan media sosial sementara untuk meredam penyebaran kritik, tapi hal itu justru memicu lebih banyak kemarahan. Tentara dikerahkan, gedung pemerintah dibakar, dan setidaknya 20 orang tewas dalam bentrokan.

Dampaknya: PM Oli mundur, dan ada panggilan untuk reformasi konstitusi yang membatasi dinasti politik. Namun, apakah ini akan berubah? Pengamat seperti yang dikutip di media internasional ragu, mengingat sejarah Nepal yang penuh pergantian kekuasaan tanpa perubahan struktural. Di tengah Himalaya yang dingin, api kemarahan Gen Z mungkin saja menjadi katalisator perubahan sejati—atau sekadar hembusan angin yang lewat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *