Neurolaw dan Tantangan Pembuktian Pidana di Indonesia

jogjanetwork.id 19 Agustus 2025

Di sebuah masjid kecil di Desa Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi mimpi buruk pada 19 September 2024. Saat Didik Nur Kiswanto, seorang perangkat desa, sedang mengimami salat Subuh, seorang pria bernama Suhendar tiba-tiba menikam lehernya dari belakang. Korban selamat setelah dirawat intensif, tapi pelaku? Setelah ditangkap, Suhendar didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan parah. Polisi pun melakukan observasi di RSJD dr Arif Zainuddin Surakarta, dan motifnya terungkap sebagai sakit hati yang dipicu rasa kesal. Kasus ini bukan yang pertama—dan mungkin bukan yang terakhir—di mana diagnosis kejiwaan menghentikan roda hukum, meninggalkan keluarga korban dan masyarakat bertanya-tanya: Mengapa pelaku yang tampak “normal” sehari-hari bisa lolos dari pertanggungjawaban pidana?

Baca juga: Neurosains Buktikan Sedekah Sebagai Penyembuh yang Efektif

Kasus seperti ini semakin sering muncul di Indonesia, di mana gangguan kejiwaan menjadi kunci dalam menentukan apakah seseorang bisa diadili atau tidak. Dari pembunuhan keluarga hingga kekerasan acak, neurosains—ilmu saraf—mulai diusulkan sebagai alat untuk memberikan bukti lebih ilmiah dan objektif, seperti melalui fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging), PET scan, atau EEG. Namun, di tengah perkembangan neurolaw pertanyaan besarnya: Apakah sistem hukum kita sudah siap untuk lebih adil dan manusiawi?

Kasus-Kasus yang Mengguncang: Dari Jakarta hingga Bengkulu

Maret 2019, Jakarta Timur. Lisa, seorang ibu berusia 22 tahun, menusuk anak kandungnya, SH (3 tahun), sebanyak empat kali di organ vital hingga tewas di rumah mereka di Cakung. Setelah ditangkap, Lisa menjalani pemeriksaan kejiwaan di RS Polri Kramat Jati. Hasil visum et repertum psikiatrik menyatakan ia mengalami gangguan jiwa berat. Akibatnya, Polsek Cakung menghentikan penyidikan dan proses hukum. “Pelaku sakit jiwa,” kata polisi saat itu, tapi keluarga korban—dalam hal ini, ayah SH—dan tetangga merasa bingung. Lisa dikenal pendiam, jarang bersosialisasi, tapi tak ada tanda-tanda kegilaan yang mencolok.

READ  Ironi Negeri Demokrasi: Ketika Oposisi Terancam Bui

Lima tahun sebelumnya, di Kabupaten Kaur, Bengkulu, tahun 2014, Ferdiansyah bin Sukardi membunuh ibu kandungnya, Suyanti, dalam kasus kekerasan rumah tangga yang melanggar Pasal 44 ayat (3) UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Diagnosis gangguan kejiwaan membuat proses hukum terhenti. Pada tahun yang sama, Rudini bin Wasman didakwa membunuh ayahnya sendiri, Wasman, di lokasi yang sama, dengan tuduhan serupa. Kemudian, tahun 2015, Riduan Maisa bin Andi Rifa’i menusuk Susila Nurhayati di Kaur, melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP. Dan pada 2018, di Padang, Ali Yusuf alias Kucui menganiaya orang tuanya, Syamsuar, melanggar Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU PKDRT.

Baca juga: Kajian Neurosains: Rajin Ibadah, Tapi Jiwa Masih Gelisah

Kasus-kasus ini bukan hal baru. Baru-baru ini, pada Agustus 2025, seorang remaja perempuan berinisial NR (18) di Bengkulu membunuh ibu kandungnya dan menitipkan adik-adiknya ke tetangga sebelum ditangkap. Sementara itu, Yanti, juga di Bengkulu, mengaku mendengar bisikan gaib sebelum membunuh dan memutilasi ibunya pada Mei 2025. Dalam banyak kasus, diagnosis kejiwaan datang dari pemeriksaan psikiatrik sederhana, tapi masyarakat sering skeptis: “Kok bisa disebut gila padahal sehari-hari normal?” tanya seorang netizen di media sosial pasca-kasus Suhendar.

Neurolaw: Jembatan antara Otak dan Hukum

Kondisi neurologis seperti kerusakan otak, gangguan mental, atau ketidaknormalan struktur saraf bisa memengaruhi pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana Indonesia, tanggung jawab bergantung pada mens rea (niat jahat) dan kemampuan mengendalikan tindakan, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 44 yang menyatakan orang dengan gangguan jiwa tak bisa dihukum.

Mens rea, dalam hukum pidana, merupakan elemen kunci yang menentukan tanggung jawab kriminal seseorang. Ini mencakup aspek mental seperti pengetahuan, niat, kecerobohan, atau kelalaian yang membuat tindakan menjadi pidana. Secara tradisional, mens rea dibuktikan melalui bukti tidak langsung seperti kesaksian, motif, atau perilaku pelaku. Namun, kemajuan neurosains—khususnya melalui bidang neurolaw—menawarkan pendekatan ilmiah untuk mengeksplorasi kondisi otak yang mempengaruhi kemampuan membentuk mens rea. Neurosains tidak “membuktikan” mens rea secara langsung seperti detektor kebohongan, melainkan memberikan bukti objektif tentang kelainan otak yang bisa mengurangi atau menghilangkan kemampuan mental tersebut. Bukti ilmiah itu bisa didapatkan melalui fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging), PET scan, atau EEG bisa memberikan gambaran objektif tentang kelainan otak yang mengurangi kemampuan membentuk niat atau mengontrol impuls.

READ  MK Larang Rangkap Jabatan Wamen sebagai Komisaris BUMN

Sejarah Neurolaw

Di Amerika Serikat, neurolaw sudah lebih maju. Pada 1981, John Hinckley menggunakan CT scan untuk membela diri sebagai “tidak bersalah karena kegilaan” (NGRI) atas upaya pembunuhan Presiden Reagan. Tahun 1992, dalam People v. Weinstein, PET scan mengungkap kista arachnoid yang memengaruhi kontrol diri, mengurangi tuduhan dari pembunuhan menjadi pembunuhan tidak sengaja. Studi 2012 menunjukkan bukti neurosains terlibat dalam 5% sidang pembunuhan dan 25% sidang hukuman mati. Namun, tantangannya ada: Neuroimaging tak selalu spesifik, dan ada “seductive allure” gambar otak yang bisa membias juri. Standar Daubert 1993 memudahkan penerimaan bukti ini, tapi efeknya tak konsisten.

Neurolaw lahir dari dialog medico-legal abad ke-19 di AS. Tahun 1873, Medico-Legal Society of New York membahas keadaan mental dan tanggung jawab kriminal. EEG ditemukan Hans Berger pada 1920-an di Jerman, memengaruhi hukum epilepsi. Istilah “neurolaw” diciptakan J. Sherrod Taylor pada 1991. Di Indonesia, pengaruhnya baru terasa pasca-2020, dengan fokus pada pidana anak dan kejahatan lingkungan. Hukum pidana kita, berbasis KUHP Belanda, mulai berevolusi dengan UU No. 11/2012 tentang Peradilan Anak yang mempertimbangkan aspek psikologis.

Menuju Sistem Hukum yang Lebih Adil

Neurosains bisa menciptakan hukum lebih manusiawi: Personalisasi hukuman, prediksi kekerasan, dan mengurangi bias. Ia mengakui cedera tak terlihat seperti PTSD sebagai “cedera tubuh” untuk kompensasi, atau dampak isolasi penjara pada sistem limbik. Di Indonesia, ini bisa atasi ketidakadilan sistemik, seperti efek toksin lingkungan pada otak populasi miskin. Tapi tantangan etisnya: Apakah intervensi farmakologis mengurangi residivisme melanggar otonomi?

Pada akhirnya, neurolaw bukan sekadar tren—tetapi langkah menuju keadilan berbasis bukti. Seperti kata ahli dalam buku terbaru, “Ini sinergi yang bisa reformasi hukum kita.” Bagi keluarga korban seperti di kasus Lisa, jawaban ilmiah mungkin tak hilangkan duka, tapi setidaknya beri kejelasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *