jogjanetwork.id 23 September 2025
Seorang pemuda di pinggiran Jakarta, scroll tak henti di layar ponselnya. Tak sadar, feed-nya dipenuhi iklan sepatu impor yang “harus dimiliki” karena algoritma tahu dia baru saja mencari tas murah. Tiba-tiba, dia klik beli, kartu kredit terpotong, dan esok hari, sepatu itu tiba—bukan karena ia membutuhkan sepatu, tapi karena dorongan halus dari kode-kode tak kasat mata yang memainkan emosi sarafnya. Ini bukan fiksi dystopia; ini kenyataan sehari-hari di era digital.
Baca juga: Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman
Contoh lain, hoax yang menyebar seperti virus. Hasutan yang membara di grup WhatsApp, hingga kerusuhan berdarah di akhir Agustus lalu yang menewaskan puluhan nyawa. Di tengah itu semua, muncul pertanyaan penting: Siapa yang melindungi pikiran kita dari manipulasi tak terlihat ini?
Baca juga Ironi Negeri Demokrasi: Ketika Oposisi Terancam Bui:
Di balik hiruk-pikuk demonstrasi yang berubah ricuh pada 25-30 Agustus 2025—di mana unjuk rasa damai di 173 kota bereskalasi menjadi amok, menewaskan setidaknya 10 orang, melukai ratusan, dan menghilangkan 44 jiwa sementara—ada benang merah tak terlihat: Pengaruh algoritma sosial media.
Demonstran awalnya berkumpul untuk menyuarakan keresahan sosial-ekonomi di bawah pemerintahan baru Prabowo Subianto, tapi api kerusuhan dipicu oleh undangan viral, narasi hoax tentang “pengaruh asing”, dan hasutan yang dirancang untuk memicu emosi primal. Kerusuhan itu termasuk unik dalam sejarah modern Indonesia. Bagaimana narasi-narasi singkat di platform seperti X dan TikTok mampu mengubah massa damai menjadi gelombang kekerasan. Tak heran, Komnas HAM dan KontraS kini sibuk menyelidiki. Dan pemerintah membentuk tim untuk mengkaji peran media digital dalam tragedi itu.
Baca juga: Rencana Komdigi Pembatasan Akun: Lagu Lama yang Berbahaya
Cerita di atas bukan sekadar kronik tragedi, tetapi peringatan darurat bagi negara untuk mengkaji dan menerapkan Neurorights, hak asasi manusia era saraf untuk melindungi kontrol individu atas pikirannya. Konsep ini, pertama kali diakui secara konstitusional di Chile pada 2021, bukan lagi mimpi futuristik. Ia adalah tameng esensial melawan “keterpengaruhan saraf” oleh algoritma teknologi—pengaruh halus yang meretas kesadaran kita tanpa kita sadari.
Algoritma: Pemburu Diam-diam di Balik Layar
Mari kita kupas dulu monster tak terlihat itu. Teknologi informasi, khususnya sosial media, bukan lagi sekadar alat hiburan. Mereka adalah mesin pengaruh saraf, dirancang untuk memanipulasi jalur neural kita—sistem reward di otak yang sama yang membuat kita ketagihan dopamin saat like atau scroll. Algoritma seperti yang digunakan TikTok atau Instagram belajar dari data perilaku: Berapa lama mata Anda tertahan pada video tertentu? Detak jantung Anda naik saat melihat iklan? Dari situ, mereka memengaruhi keputusan kita.
Contoh sederhana: Belanja impulsif. Studi terkini (2024) menunjukkan bahwa taktik FOMO seperti notifikasi urgency dapat meningkatkan pembelian impulsif secara signifikan di e-commerce. Pengguna tak sadar, saraf kesadarannya dibajak—otak merespons seperti sedang berburu makanan purba, tapi korbannya adalah dompet dan lingkungan.
Di Indonesia, ini berarti jutaan warga jadi “sampah produk asing“: Mengonsumsi barang impor murah yang membanjiri pasar, meninggalkan jejak karbon raksasa, dan mengikis ekonomi lokal. “Kita bukan lagi konsumen sadar, tapi pion di papan catur korporasi global,” tegas Nita A. Farahany, pakar etika neuro di Duke University, dalam bukunya The Battle for Your Brain (2019). Ia menyebut ini sebagai “kebebasan kognitif” yang direnggut: Hak untuk berpikir bebas, tanpa campur tangan eksternal yang mengubah pengalaman mental kita.
Lebih parah lagi, pengaruh ini meluas ke ranah sosial-politik. Hoax bukan sekadar berita palsu; ia adalah senjata saraf. Algoritma prioritas konten emosional—kemarahan, ketakutan—karena itu yang paling engaging. Di kerusuhan Agustus 2025, misalnya, narasi tentang “intervensi asing” menyebar liar di X, memicu paranoia massa. Ketika ada korban, dan video amatirnya diedit ulang, akan menjadi bahan bakar hasutan. Dampaknya: Ribuan ditangkap, 500 luka, dan tiga orang masih hilang hingga kini. Demo ini dipantik oleh undangan viral yang dirancang untuk terjadinya eskalasi. Pengguna tak paham: Mereka ikut bergerak karena algoritma memainkan tombol emosi, bukan karena pemahaman rasional.
Neurorights: Tameng Negara untuk Jiwa Bangsa
Di sinilah peran negara krusial. Neurorights bukan hak abstrak; memiliki empat pilar etis yang bisa diintegrasikan ke konstitusi kita: Privasi mental (lindungi data otak dari pengintaian), integritas mental (menolak manipulasi paksa), kesinambungan psikologis (menjaga identitas diri dari perubahan paksa), dan kebebasan kognitif (hak menolak atau menyetujui perubahan saraf). Farahany menekankan: “Kebebasan kognitif mencakup kebebasan berpikir dan merenung, hak untuk mengakses diri dan mengubah diri, dan untuk menyetujui atau menolak perubahan pada otak dan pengalaman mental kita.” Bukan sekadar privasi, tapi hak pilihan atas perkembangan mental—agar warga tak jadi budak algoritma.
Mengacu pada pandangan Nita A. Farahany, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang komprehensif, termasuk ruang meditasi, klinik kesehatan mental, serta regulasi ketat terhadap algoritma media sosial untuk melindungi kebebasan kognitif warganya.
Kita berharap Indonesia dapat mengikuti jejak Chile: melahirkan undang-undang yang memaksa platform sosial media melakukan transparansi soal algoritma, audit bias yang bisa memicu hasutan, dan sanksi bagi perusahaan asing yang memanipulasi saraf untuk jualan. Undang-undang tersebut akan menghindarkan warga menjadi “sampah produk asing”—korban marketing yang boros devisa—dan melindungi dari hoax yang dapat memicu kerusuhan. Di AS, tiga negara bagian seperti Colorado sudah mulai melindungi data neural sejak 2024. Indonesia, dengan 200 juta pengguna internet, tak boleh ketinggalan. Pemerintah wajib bentuk badan regulasi interdisipliner—gabungan dari Komdigi, Komnas HAM, dan ahli neuro—untuk melaksanakan neurorights.
Harapan di Ujung Terowongan Digital
Kembali ke pemuda itu di Jakarta: Besok, ia mungkin scroll lagi, tapi bayangkan jika ada “tombol neurorights” di app-nya—pilihan untuk matikan pengaruh algoritma, atau melaporkan konten manipulatif. Itu bukan utopia; itu keharusan. Seperti kata Rafael Yuste, pionir neurorights dari Columbia University, “Pikiran adalah benteng terakhir kemanusiaan. Jika jatuh, apa yang tersisa?“
Di tengah luka Agustus yang masih menganga—dengan tuntutan tim investigasi bergaung dari Jakarta hingga Papua—saatnya Indonesia membangun benteng itu. Bukan untuk membatasi kebebasan seperti rencana Komdigi, tapi untuk melindungi pikiran warga negara dari jerat tak terlihat. Karena di era algoritma, hak asasi tak lagi soal tubuh semata; ia soal jiwa yang tak tergoyahkan. Negara, saatnya bertindak—sebelum gelombang selanjutnya datang.
2 tanggapan untuk “Neurorights: Negara Wajib Lindungi Saraf Warga”