Neurorights: Saat Negara Wajib Lindungi ‘Pikiran’ Warganya

Bayangkan Anda bangun pagi, scroll feed Instagram, dan tiba-tiba hati terasa hancur. Foto teman liburan ke Bali, story influencer dengan kulit sempurna, algoritma yang entah bagaimana tahu persis tombol ‘depresi’ di otak Anda. Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa remaja yang kecanduan media sosial berisiko 2,5 kali lebih tinggi mengalami gangguan makan akibat standar kecantikan toksik yang dipromosikan algoritma.

Ini bukan sekadar ‘scrolling biasa’ – ini serangan halus terhadap saraf kita, yang bisa mengubah pikiran menjadi budak konten tak berujung. Di sinilah pentingnya mengadopsi neurorights: hak baru untuk melindungi otak manusia dari manipulasi digital. Chile sudah melakukannya, mengukir sejarah dengan undang-undang konstitusional. Pertanyaannya: kapan Indonesia bangun dari mimpi buruk algoritma ini?

Baca juga: Neurorights: Negara Wajib Lindungi Saraf Warga

Seperti kabut pagi di Jakarta yang menyelimuti pikiran, neurorights adalah konsep segar yang lahir dari perpaduan neurosains dan etika hukum. Bayangkan otak Anda sebagai benteng rahasia, penuh dengan sinapsis yang menyimpan ingatan, emosi, dan kehendak bebas. Neurorights didefinisikan sebagai prinsip etis, legal, sosial, atau alami yang melindungi domain serebral dan mental seseorang dari intervensi eksternal.

Neurorights mencakup empat hak utama: privasi mental (lindungi data otak dari pembacaan tanpa izin), kehendak pribadi (bebas dari manipulasi seperti iklan yang memicu kecanduan), identitas pribadi (jaga agar AI tak ubah persepsi diri), dan kesetaraan non-diskriminatif (hindari bias algoritma yang merugikan kelompok tertentu). Konsep ini dipopulerkan oleh ilmuwan seperti Rafael Yuste dari Columbia University, yang khawatir neuroteknologi – dari EEG wearable hingga algoritma TikTok – bisa ‘meretas’ pikiran kita tanpa sadar. Bukan fiksi dystopia ala Black Mirror, tapi realitas yang sudah di depan mata: algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan waktu layar, seringkali dengan mengorbankan kesehatan mental.

READ  Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman

Chile: Pionir yang Ubah Konstitusi untuk Lindungi Otak

Jauh di ujung Amerika Selatan, Chile menjadi mercusuar harapan. Pada Oktober 2021, Senat Chile secara bulat menyetujui amandemen konstitusi untuk melindungi ‘neurorights’, menjadikannya negara pertama di dunia yang secara eksplisit masukkan hak otak ke dalam undang-undang dasar. Bayangkan: di tengah protes sosial 2019 yang menuntut hak lebih luas, legislator Chile melihat ancaman baru – bukan peluru, tapi byte. Undang-undang ini melindungi ‘integritas mental’ dan data neuro dari penyalahgunaan, termasuk larangan manipulasi algoritma yang bisa ubah keputusan pribadi.

Implementasinya tak main-main. Pada 2023, Mahkamah Agung Chile memutuskan kasus pertama terkait perlindungan aktivitas otak, menegaskan bahwa neurodata – seperti pola gelombang otak dari perangkat medis – harus dirahasiakan seperti data pribadi lainnya. Pemerintah bekerja sama dengan Neurorights Foundation untuk regulasi: perusahaan tech seperti Meta dan Google wajib transparan soal algoritma, dengan denda jutaan dolar jika terbukti manipulatif.

Di sekolah, kurikulum neurosains dasar diajarkan untuk edukasi anak muda tentang ‘keamanan otak’. Hasilnya? Survei 2024 menunjukkan penurunan 15% kasus kecemasan digital di kalangan remaja Chile, berkat kesadaran kolektif. “Kami tak ingin otak generasi muda jadi koloni data,” kata Senator Guido Girardi, arsitek undang-undang ini. Chile membuktikan: negara bisa jadi penjaga saraf warganya, bukan sekadar penonton.

Indonesia: Ancaman Algoritma yang ‘Meracuni’ Pikiran, Saatnya Bergerak

Kembali ke Nusantara, bayang-bayang algoritma semakin gelap. Indonesia, dengan 170 juta pengguna media sosial – terbesar keempat dunia – adalah ladang subur bagi ‘serangan saraf’. Penelitian 2019 dari Universitas Indonesia menemukan bahwa penggunaan media sosial berkontribusi pada penurunan kesehatan mental, dengan gejala depresi naik 30% di kalangan remaja urban.

READ  Rencana Komdigi Pembatasan Akun: Lagu Lama yang Berbahaya

Algoritma TikTok dan Instagram, yang memprioritaskan konten emosional ekstrem, tak hanya curi waktu – tapi ubah tindakan. Sebuah studi 2021 di kalangan mahasiswa menunjukkan kecanduan sosial media berkorelasi langsung dengan tingkat stres dan isolasi sosial, di mana feed yang dipersonalisasi ‘mendorong’ pola pikir negatif seperti FOMO (fear of missing out) atau body shaming. Lebih parah, di era AI-driven content, algoritma ini seperti racun lambat: remaja perempuan di Jakarta dan Surabaya melaporkan peningkatan gangguan makan karena filter kecantikan yang tak realistis, dengan prevalensi eating disorder naik 20% sejak pandemi.

Baca juga: Balita Jadi Zombie Digital, Orang Tua Malah Tertawa

Bayangkan seorang gadis remaja di Bandung, yang feed-nya dipenuhi iklan diet ekstrem karena algoritma ‘tahu’ ia pernah search ‘cara kurus’. Tanpa neurorights, negara kita hanya punya UU ITE yang lebih fokus sensor konten, bukan lindungi otak. Pentingnya Indonesia adopsi ini tak terbantahkan: dengan 60% populasi di bawah 30 tahun, generasi Z kita rentan manipulasi yang bisa picu radikalisasi, kecanduan judi online, atau bahkan konflik sosial. Seperti di Chile, kita bisa mulai dengan amandemen UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) untuk sertakan neurodata, atau kampanye nasional ‘Otak Sehat Digital’. Pakar seperti Dr. Rina A. Hamid dari UI menekankan: “Algoritma bukan musuh, tapi tanpa regulasi, ia jadi senjata yang ubah kehendak bebas warga.”

Di akhir hari, saat matahari terbenam di Cikini dan notifikasi berdering lagi, neurorights mengingatkan kita: otak bukan komoditas. Chile telah membuka jalan, menjadikan hak mental sebagai prioritas negara. Indonesia, dengan semangat gotong royong, bisa ikuti jejak itu – lindungi saraf warga dari algoritma yang haus perhatian. Bukan hanya undang-undang, tapi perjuangan untuk pikiran bebas. Karena di era ini, perdamaian dimulai dari dalam kepala.

READ  Neurorights: Negara Wajib Lindungi Saraf Warga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *