Polisi Didesak Gali Aktor Intelektual Aksi 25–31 Agustus

jogjanetwork.id 4 September 2025

Jakarta dan beberapa kota lain masih menyimpan sisa bau gas air mata dan suara riuh yang memekakkan telinga. Pada 25–31 Agustus 2025, ibu kota dan sejumlah kota besar Indonesia bergetar oleh gelombang demonstrasi yang berubah jadi kerusuhan. Jalan-jalan penuh coretan, kaca-kaca gedung pecah, dan kendaraan terbakar menjadi saksi bisu betapa kemarahan publik menemukan jalannya—meski tidak selalu dengan cara yang damai.

Baca juga: Komnas HAM Ingatkan Aparat dalam Menindak Perusuh

Dari Istana Merdeka, Presiden Prabowo Subianto menatap situasi ini dengan sorot mata yang tak main-main. Dalam sebuah pernyataan pada 1 September 2025, ia menegaskan bahwa apa yang terjadi bukanlah sekadar protes spontan. “mengarah pada makar,” ujarnya lantang, menuding ada dalang besar yang sedang bekerja di balik layar. Bahkan presiden bersumpah untuk melindungi rakyat dan menghadapi para mafia-mafia itu. Kata-kata itu bergaung, menyalakan perdebatan: siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai “aktor intelektual” kerusuhan?

Jaring Penangkapan yang Dilempar Polisi

Polisi bergerak cepat. Penangkapan massal dilakukan, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai daerah. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim bersama Polda Metro Jaya menetapkan tujuh orang sebagai tersangka provokasi di media sosial. Ada pemilik akun Instagram, mahasiswa, pegawai kontrak, hingga karyawan swasta yang dituding menyebarkan hasutan lewat TikTok dan Facebook.

Namun angka itu hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan. Amnesty International Indonesia mencatat, lebih dari 3.095 orang ditangkap sepanjang gelombang demonstrasi. Di mata banyak pihak, langkah itu lebih menyerupai operasi penyapuan massal ketimbang upaya serius menggali siapa yang sebenarnya berada di balik layar.

Baca juga: Lembaga HAM Serukan Pembebasan Demonstran

“Tapi justru arahnya malah ingin menyalahkan demonstran, malah ingin menyalahkan aktivis,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam dialog di Kompas TV. Ia menyoroti arah kebijakan yang terasa lebih fokus membungkam suara publik dibanding menyingkap dalang sejati.

READ  Al Irsyad: Sampaikan Dorongan Moral untuk Presiden Prabowo

Tuduhan Berat, Nama yang Masih Kosong

Prabowo sudah menyebut kata yang berat: makar. Kata itu membawa konsekuensi besar. Makar berarti ada perencanaan, ada aktor yang mengatur, ada tujuan politik besar yang sedang dikejar. Namun sampai hari ini, belum ada satu nama pun yang resmi ditetapkan sebagai dalang.

Polda Metro Jaya sempat menuding beberapa tokoh aktivis, termasuk Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, dan sejumlah rekannya. Mereka dituduh menghasut, bahkan melibatkan anak-anak dalam aksi. Tuduhan ini menimbulkan pro-kontra. Sebagian publik percaya, sebagian lain justru melihatnya sebagai cara untuk membungkam suara kritis.

Luka yang Tertinggal

Kerusuhan tidak hanya meninggalkan retakan di dinding dan jalanan, tapi juga luka yang lebih dalam. Komnas HAM mencatat 10 orang tewas, termasuk Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Surabaya. Kematian itu menyalakan api kemarahan baru: sampai kapan pendekatan represif jadi pilihan utama?

Baca juga: Siapa Biang Kerok Amuk Massa? Aktivis HAM Bilang Begini

Di jalan-jalan, keluarga korban menuntut keadilan. Di ruang-ruang diskusi, akademisi dan aktivis memperdebatkan arah demokrasi Indonesia. Sementara aparat, dengan seragam dan tamengnya, terus berjaga seolah badai bisa datang kapan saja.

Pertarungan Narasi

Di satu sisi, pemerintah membangun narasi tentang makar, ancaman terhadap negara, dan perlunya ketegasan. Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil menyerukan pendekatan dialogis, persuasif, dan menghormati hak asasi manusia. “Kalau ada perusuh, silahkan gunakan kewenangan dengan menjunjung tinggi HAM, asas praduga tak bersalah. Jangan sampai ada orang yang sudah ditangkap tapi dipukuli,” kata Abdul Haris Semendawai, Komisioner Komnas HAM pada jogjanetwork.id.

Kepolisian, bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), juga telah memblokir 592 akun media sosial yang dianggap menyebarkan provokasi dan menghasut massa untuk bertindak anarkis. “Akun-akun tersebut mengajak masyarakat untuk melakukan tindakan melanggar hukum pada saat unjuk rasa,” kata Brigjen Himawan Bayu Aji, Dirtipidsiber Bareskrim Polri, dalam konferensi pers di Mabes Polri pada 3 September 2025. Namun, publik bertanya: benarkah langkah itu mendekatkan kita pada jawaban, atau justru menjauhkan dari siapa sebenarnya otak di balik kerusuhan?

READ  Siapa Biang Kerok Amuk Massa? Aktivis HAM Bilang Begini

Bayang-Bayang yang Masih Samar

Hingga awal September, kabut masih tebal. Polisi terus bekerja, Prabowo terus menegaskan komitmen untuk mengejar “akar-akar makar”, dan aktivis HAM terus mendesak transparansi. Di antara semua itu, publik menunggu jawaban yang jelas: siapa yang mengatur semua ini?

Apakah benar ada dalang besar yang hendak mengguncang negara, ataukah istilah “makar” hanya jadi alat untuk membungkam? Pertanyaan itu masih menggantung di udara, sama samar seperti asap sisa ban terbakar di jalanan Jakarta.

Yang jelas, luka sudah terlanjur tertoreh, dan penyembuhannya bergantung pada sejauh mana negara mampu mengungkap kebenaran—bukan sekadar menuding, tapi membuktikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *