Jakarta, 22 Juli 2025 – Dalam ikhtiar menegakkan keadilan yang hakiki, kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), telah menjadi sorotan publik. Tuduhan dugaan tindak pidana korupsi dalam kebijakan importasi gula pada periode 2015–2016 menuai banyak pertanyaan, bukan hanya tentang substansi perkara, tetapi juga tentang arah dan integritas sistem peradilan kita.
Baca juga: Mata Hati untuk Keadilan: Harapan Ketua KY 2013-2015 atas Banding Tom Lembong
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. Mudzakir, angkat bicara. Beliau menyampaikan kritik yang jernih dan mendalam tentang bagaimana hukum ditegakkan, terutama dalam perkara yang menyentuh kebijakan publik dan tak menyentuh unsur kerugian negara.
Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi?
Dalam pandangan Prof. Mudzakir, perkara Tom Lembong memperlihatkan kelemahan serius dalam memahami batas antara kerugian negara dan kerugian swasta. Seperti diberitakan sebelumnya, merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015–2017, tidak ditemukan adanya kerugian keuangan negara dalam kebijakan importasi gula tersebut.
“LHP BPK sudah menyimpulkan tidak terjadi kerugian negara,” terang Ari Yusuf Amir, kuasa hukum Tom Lembong, dalam sidang.

Baca juga: Bukan Koruptor, Tapi Dipenjara: Hati Siapa yang Tak Tersayat?
Namun demikian, jaksa lebih mendasarkan tuduhan pada perhitungan BPKP dan merujuk pada tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Di sinilah Prof. Mudzakir memberikan pencerahan: bahwa yang berwenang secara konstitusional menetapkan adanya kerugian negara adalah BPK, bukan lembaga lain.
Hakim di Persimpangan: Mencari Aman atau Menjaga Keadilan?
Prof. Mudzakir juga menyampaikan keprihatinan terhadap dilema yang dihadapi para hakim. Dalam banyak perkara korupsi, hakim seakan dipaksa bukan hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga “alat pemberantasan korupsi” yang tunduk pada tekanan publik.
“Jika hakim memutus bebas, maka publik akan mencaci. Akhirnya demi menjaga reputasi dan karier, mereka memutus ‘aman’ saja: nyatakan bersalah, lalu serahkan ke proses banding,” ujar beliau.
Baca juga: Jelang Putusan Tom Lembong, Mantan Ketua Komisi Yudisial Harap Hakim Menegakkan Integritasnya
Padahal dalam perkara ini, tidak ditemukan mens rea (niat jahat), tidak ada keuntungan pribadi yang diperoleh terdakwa, dan tidak terbukti ada kerugian negara. Ini adalah perkara kebijakan publik yang semestinya dinilai dari sudut hukum administrasi, bukan dipaksakan masuk ke ranah pidana.
Sebagai ilustrasi, Prof. Mudzakir menyebutkan kasus di Surabaya di mana seorang hakim, Ronald Tanur, dijatuhi hukuman karena memutus bebas suatu perkara. Namun, jika memang tidak ada pidana yang terbukti di persidangan, maka keputusan bebas sejatinya adalah cerminan dari nurani hukum. Kalaupun kemudian ditemukan suap, maka yang harus ditelusuri adalah apakah terdapat nexus antara suap dan isi putusan tersebut—bukan semata-mata menghukum keputusan bebas.
Antara Diskresi dan Kriminalisasi Kebijakan
Satu hal yang juga sangat ditekankan Prof. Mudzakir adalah kesalahpahaman penegak hukum terhadap konsep diskresi dalam administrasi negara. Banyak pejabat publik yang pada akhirnya enggan mengambil keputusan penting karena takut dikriminalisasi.
Dalam kasus Tom Lembong, kebijakan importasi gula adalah bagian dari diskresi untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. Namun alih-alih dipahami sebagai bentuk tanggung jawab administratif, kebijakan tersebut malah dipidanakan.
“Kalau semua kebijakan yang tidak populer bisa dihukum, maka siapa yang berani menjadi pemimpin bijak? Para pejabat hanya akan menjadi pengikut prosedur, bukan pemikul amanah rakyat,” ujar Prof. Mudzakir dengan penuh keprihatinan.
Kriminalisasi kebijakan ini memunculkan efek psikologis yang sangat merugikan: para pemimpin menjadi takut untuk berpikir besar dan berani mengambil keputusan yang strategis demi kemaslahatan umat.
Proses Banding dan Tantangan Keadilan Substantif
Meskipun upaya banding diajukan, Prof. Mudzakir menegaskan bahwa itu pun bukan jaminan keadilan akan ditegakkan. “Jika hakim di tingkat banding pun memilih cari aman dan tidak berani menegakkan kebenaran substantif, maka ketidakadilan hanya akan berulang dalam bingkai hukum formal,” katanya.
Menjaga Kemurnian Hukum Pidana
Hukum pidana, dalam pandangan Prof. Mudzakir, tidak boleh digunakan sebagai instrumen untuk memuaskan dahaga opini publik. Ia harus tetap berada dalam koridor objektivitas dan pertanggungjawaban yang ketat.
“Jangan menjadikan vonis bersalah sebagai ukuran kesuksesan pemberantasan korupsi. Kalau tidak terbukti adanya niat jahat, tidak ada kerugian negara, dan tidak ada keuntungan pribadi, maka memaksakan hukuman adalah kezhaliman hukum,” tegas beliau.
Lebih jauh, beliau bahkan menyatakan bahwa jika hakim menjatuhkan putusan bersalah dalam perkara yang sedemikian lemah, maka hakim tersebut pun patut diperiksa karena telah salah memutus.
Kasus ini menjadi refleksi besar bagi semua pihak. Prof. Mudzakir mengajak seluruh elemen penegak hukum—jaksa, hakim, dan lembaga terkait—untuk memperdalam pemahaman mereka terhadap prinsip hukum administrasi dan tidak gegabah dalam membawa perkara kebijakan ke ranah pidana.
Ia juga mendorong agar setiap putusan hakim dieksaminasi secara ilmiah dan terbuka, agar tidak menjadi ladang kriminalisasi terhadap mereka yang menjalankan tugas berdasarkan nurani dan keyakinan hukum.
Kasus Tom Lembong bukan hanya tentang seseorang yang dituduh melakukan korupsi. Ia adalah cermin dari kondisi hukum kita hari ini. Apakah hukum akan terus dijadikan alat kekuasaan atau dikembalikan sebagai cahaya penuntun jalan keadilan?
Jawabannya ada pada nurani kita bersama—khususnya mereka yang diamanahi untuk menjaga marwah hukum di negeri ini.