Reformasi Polri Dan Kesehatan Mental Anggota

Dua dekade lebih sejak pemisahan Polri dari TNI pada 2002, harapan untuk melihat wajah kepolisian yang humanis, demokratis, dan melayani masyarakat masih jauh dari kenyataan. Tindakan represif, penyalahgunaan wewenang, hingga kasus kriminal yang melibatkan anggota polisi terus mencuat, memicu kekecewaan publik. Tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat viral di media sosial menjadi cerminan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom.

Baca juga: Suparman Marzuki Sambut Baik Agenda Reformasi Polri

Namun, kini ada secercah harapan. Presiden Prabowo Subianto merespons desakan reformasi dengan rencana pembentukan tim independen untuk mereformasi Polri. Reformasi ini tidak hanya diharapkan memperbaiki struktur kelembagaan, tetapi juga memberdayakan anggota dan menangani masalah kesehatan mental polisi, yang belakangan menjadi akar dari sejumlah kasus tragis. Akankah langkah ini menjadi titik balik bagi Polri untuk menjadi polisi masyarakat yang sejati?

Langkah Awal Menuju Perubahan Sistemik

Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sinyal positif terhadap desakan reformasi Polri. Pada pertemuan dengan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kepresidenan pada 11 September 2025, ia mengungkapkan rencana pembentukan tim atau komisi reformasi kepolisian. Langkah ini direspons sebagai “gayung bersambut” oleh para tokoh masyarakat yang hadir, seperti Lukman Hakim Saifuddin, Qurays Shihab. Tim ini diharapkan bekerja secara independen, melibatkan elemen masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh berintegritas, tanpa campur tangan internal Polri yang berpotensi memicu resistensi.

Reformasi yang diusung tidak bisa sekadar berganti pimpinan atau seremonial. Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, diperlukan kemauan politik yang kuat dari Presiden untuk merevisi Undang-Undang Polri yang telah berlaku selama 23 tahun. UU ini dinilai belum mampu mewujudkan Polri yang profesional, akuntabel, dan independen. Selain itu, tim reformasi harus fokus pada tiga pilar: struktural, instrumental, dan kultural. Reformasi struktural mencakup perubahan organisasi dan kebijakan, instrumental melibatkan pembaruan prosedur operasional, sementara kultural menyasar perubahan pola pikir dan perilaku anggota Polri. Tanpa pendekatan menyeluruh, reformasi hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.

READ  Darurat MK: dari Benteng Konstitusi Jadi Boneka Politik?

Prahara Agustus 2025, di mana tindakan represif polisi dalam menangani demonstrasi menyebabkan korban jiwa, menjadi salah satu pemicu urgensi reformasi. Kasus tragis seperti kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas akibat ditabrak kendaraan taktis Brimob, menggambarkan wajah Polri yang masih jauh dari cita-cita reformasi 1998. Koalisi masyarakat sipil bahkan menuntut pencopotan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, yang dianggap gagal mengubah watak represif Polri. Dengan pembentukan tim reformasi, Presiden Prabowo diharapkan mampu menjawab tuntutan publik dengan langkah konkret, bukan sekadar gimik politik.

Pemberdayaan Anggota: Membangun Polisi yang Berintegritas

Reformasi Polri tidak akan berhasil jika hanya berfokus pada kelembagaan tanpa menyentuh sumber daya manusianya. Salah satu aspek krusial yang disoroti adalah pemberdayaan anggota Polri. Suparman Marzuki, Ketua Komisi Komisi Yudisial 2013-2015, menekankan pentingnya memperbaiki sistem pendidikan kepolisian untuk membentuk karakter polisi yang humanis dan profesional. Kurikulum pendidikan harus memasukkan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan pendekatan sipil, sehingga anggota Polri tidak lagi memandang diri sebagai “penghukum”, melainkan pelindung masyarakat.

Persyaratan masuk anggota Polri juga perlu diperketat. Aktivis HAM, Despan Heryansyah, mengusulkan agar syarat minimal pendidikan anggota Polri ditingkatkan dari lulusan SMA menjadi sarjana (S-1). Pendidikan tinggi diharapkan memberikan bekal intelektual dan etika yang lebih kuat untuk menghadapi dinamika tugas kepolisian. Selain itu, sistem rekrutmen, mutasi, dan promosi harus berbasis meritokrasi dan komitmen antikorupsi, agar Polri diisi oleh individu-individu berintegritas. Kasus seperti Ferdy Sambo atau Teddy Minahasa, yang terlibat dalam kejahatan berat, menjadi bukti bahwa sistem promosi saat ini masih bermasalah.

Penguatan pengawasan, baik internal maupun eksternal, juga menjadi kunci. Secara internal, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri harus bertindak tegas dan tanpa pandang bulu terhadap pelanggaran anggota. Eksternal, lembaga seperti Kompolnas perlu diperkuat untuk memastikan akuntabilitas. Publik juga harus dilibatkan dalam proses pengawasan untuk menciptakan transparansi. Dengan pemberdayaan anggota yang holistik, Polri diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, bukan sebagai sumber ketakutan.

READ  Tragedi MBG: Kelalaian atau Sabotase yang Disengaja?

Kesehatan Mental Polisi: Akar Masalah yang Terabaikan

Di balik tindakan represif dan pelanggaran hukum oleh anggota Polri, ada faktor yang sering terabaikan: kesehatan mental. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus kriminal yang melibatkan polisi, seperti pembunuhan, pencurian, hingga penyalahgunaan wewenang, menunjukkan adanya masalah psikologis yang serius. Tekanan kerja yang tinggi, jam kerja panjang, dan paparan situasi konflik terus-menerus dapat memicu stres berat, depresi, hingga gangguan mental lainnya. Jika tidak ditangani, kondisi ini tidak hanya merugikan anggota polisi itu sendiri, tetapi juga masyarakat yang mereka layani.

Reformasi Polri harus menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas. Program konseling rutin, pelatihan manajemen stres, dan akses ke layanan kesehatan mental perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan dan operasional Polri. Contohnya, insiden seperti penembakan siswa SMK di Semarang atau kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan menunjukkan bahwa gangguan mental dapat memicu tindakan impulsif dan destruktif. Pendekatan preventif, seperti skrining kesehatan mental berkala dan pembentukan unit khusus untuk mendukung kesejahteraan psikologis anggota, dapat mencegah kasus serupa berulang.

Selain itu, budaya kerja yang mendukung keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi juga penting. Polri perlu menciptakan lingkungan yang memungkinkan anggota untuk melaporkan masalah psikologis tanpa takut dihakimi atau dianggap lemah. Dengan memperhatikan kesehatan mental, Polri tidak hanya akan meningkatkan kinerja anggotanya, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi ini. Reformasi yang mengabaikan aspek ini hanya akan menjadi solusi parsial, yang gagal menjawab akar masalah perilaku menyimpang anggota Polri.

Menatap Masa Depan: Polisi untuk Rakyat

Reformasi Polri di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk mengubah wajah kepolisian Indonesia. Dengan pembentukan tim independen, fokus pada pemberdayaan anggota, dan perhatian terhadap kesehatan mental, Polri dapat bertransformasi menjadi institusi yang benar-benar melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

READ  Royalti dan Lagu Indonesia Raya: Nasionalisme Bayar Tunai

Namun, keberhasilan reformasi ini bergantung pada komitmen politik yang kuat, pelibatan publik yang luas, dan keberanian untuk mengatasi resistensi internal. Seperti yang dikatakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, reformasi tidak boleh berhenti pada jargon atau pembentukan tim semata. Polri harus hadir dengan wajah baru: humanis, demokratis, dan berpihak pada rakyat. Hanya dengan langkah konkret dan menyeluruh, cita-cita polisi masyarakat yang menciptakan ketertiban dan ketaatan hukum bersama rakyat dapat terwujud.

3 tanggapan untuk “Reformasi Polri Dan Kesehatan Mental Anggota

  1. Reformasi utk POLRI saat ini sifatnya Urgent (mendesak), kenapa: karena Polri sbg mana semboyan nya Mengayomi dan Pelindung Masyarakat, namun dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Meskipun ada sebagian anggota Polri yang baik dan ber-integritas tinggi namun masih jauh’ lebih banyak dari kebalikan nya, atas hal tersebut: maka Reformasi Polri adalah jawaban yg paling tepat.
    Reformasi baik diawali sejak sistem rekrutmen anggota polri sampai regulasi yang berkaitan TUPOKSI POLRI itu sendiri.
    Terima kasih
    Salam 🙏

  2. Sebaiknya segera saja.
    Karena polri pelindung utama masyarakat bagaimana menempatkan personel yg ber integritas duduk dlm institusi ini. Bukan hanya integritas ttpi jg keberanian dlm mengambil langkah cepat dan tepat dlm melayani maayakarat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *