Rencana Komdigi Pembatasan Akun: Lagu Lama yang Berbahaya

jogjanetwork.id 22 September 2025

Aksi demonstrasi besar-besaran yang digaungkan oleh Generasi Z di Indonesia pada akhir Agustus 2025 menjadi titik balik politik yang signifikan. Gelombang protes ini, yang sayangnya menelan korban jiwa, memaksa DPR, pemerintah, dan partai politik untuk segera mengubah sikap. Penonaktifan anggota DPR yang dianggap menyinggung publik, reshuffle kabinet dalam dua gelombang oleh Presiden Prabowo, serta kebijakan pro-rakyat seperti reformasi Polri, menunjukkan respons cepat terhadap desakan masyarakat. Langkah ini mencerminkan sensitivitas pemerintah terhadap tekanan publik yang dipelopori oleh Gen Z, yang mampu memobilisasi opini melalui media sosial.

Baca juga: Paradox Gen Z : Antikemapanan Tapi Pilih Aman

Di Nepal, pola serupa terlihat pada aksi di awal September 2025. Gen Z Nepal, dengan semangat yang sama, berhasil mendorong pergantian pucuk pimpinan negara. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuatan Gen Z tidak terbatas pada satu negara, melainkan menjadi gerakan global yang didorong oleh konektivitas digital. Media sosial menjadi alat utama untuk mengoordinasikan aksi, menyebarkan narasi, dan memengaruhi jutaan orang dalam waktu singkat. Namun, keberhasilan ini juga menimbulkan tantangan baru, terutama ketika pemerintah berupaya mengendalikan ruang digital.

Baca juga: Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal

Kebijakan Komdigi: Langkah Mundur di Era Digital

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Indonesia justru menanggapi fenomena ini dengan kebijakan yang kontroversial: rencana pembatasan akun media sosial menjadi satu akun per warga untuk setiap platform. Langkah ini dianggap sebagai respons kuno yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memahami dinamika digital. Alih-alih mengatur industri media sosial secara efektif, Komdigi cenderung menekan rakyat, yang dianggap lebih mudah dikendalikan dibandingkan menghadapi raksasa teknologi global.

Kebijakan ini kontras dengan pendekatan negara lain, seperti upaya Donald Trump yang menekan TikTok untuk memastikan algoritma aplikasi populer itu akan berada di bawah kendali perusahaan-perusahaan AS, sementara mayoritas kursi dewan pengawas operasional di Amerika diisi warga AS. Uni Eropa menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR) untuk mengatur privasi data oleh perusahaan teknologi. Australia juga memiliki Online Safety Act 2021 yang mewajibkan platform media sosial bertanggung jawab atas konten berbahaya.

READ  Di Tengah Krisis Publik Kangen pada Sat-Set-nya Mahfud MD

Komdigi seharusnya mencontoh langkah-langkah regulatif ini, yang melibatkan perusahaan induk media sosial, alih-alih membatasi kebebasan individu. Kebijakan pembatasan akun ini tidak hanya menunjukkan kurangnya keberanian untuk menghadapi industri teknologi, tetapi juga mengabaikan realitas bahwa Gen Z menggunakan media sosial tidak hanya untuk ekspresi, tetapi juga untuk mencari nafkah. Banyak dari mereka mengelola beberapa akun untuk keperluan bisnis, seperti pemasaran, konten kreator, atau endorsement. Membatasi akun berarti membatasi peluang ekonomi, yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Potensi Masalah Baru

Rencana Komdigi ini berpotensi memicu masalah baru. Pertama, pembatasan akun dapat memicu gelombang protes baru dari Gen Z, yang melihat media sosial sebagai ruang kebebasan dan peluang ekonomi. Kedua, kebijakan ini dapat mendorong pengguna untuk mencari cara-cara kreatif, seperti menggunakan VPN atau platform alternatif, yang justru melemahkan efektivitas regulasi negara. Ketiga, tanpa keterlibatan perusahaan media sosial, pemerintah kehilangan kesempatan untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan teratur.

Di sisi lain, fenomena revolusi Gen Z menawarkan peluang bagi pemerintah untuk berinovasi. Alih-alih menekan, pemerintah dapat berkolaborasi dengan platform media sosial untuk menciptakan regulasi yang mendukung transparansi, keamanan data, dan literasi digital. Mengadopsi pendekatan seperti GDPR atau Online Safety Act dapat menjadi langkah progresif. Selain itu, pemerintah perlu mengakui bahwa Gen Z bukan hanya penggerak protes, tetapi juga motor ekonomi digital. Memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang, seperti melalui pelatihan keterampilan digital atau insentif untuk UMKM berbasis media sosial, dapat mengubah energi Gen Z menjadi kekuatan produktif.

Secara keseluruhan, revolusi Gen Z menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan setara dengan institusi negara. Pemerintah harus beradaptasi dengan realitas ini, bukan melawannya. Kebijakan yang bijak dan inklusif akan menentukan apakah Indonesia dapat memanfaatkan potensi Gen Z atau justru terjebak dalam konflik baru akibat langkah-langkah yang tidak tepat.

READ  Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal

4 tanggapan untuk “Rencana Komdigi Pembatasan Akun: Lagu Lama yang Berbahaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *